Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 6

“Nggak pa-pa, biarin saja. Jangan takut, di sini ada Bapak. Bapak akan nemenin kamu sampai Asih keluar dari rumah sakit,” ucapnya menenangkan diriku.

Kemudian, Pak Haji membawaku ke ruang tempat Asih

dirawat. Aku hanya melihat dari kaca transparan, kepala Asih tampak diperban dan berbaring dengan beberap selang yang ada di tubuhnya.

“Pak Haji! Kasihan Asih, dia masih sangat kecil untuk

merasakan sakit itu.” Mataku terus berlinang menatap raut wajah Pak Haji.

“Adrian, ayo duduk dulu.” Ia menggandengku untuk duduk bersamanya.

“Pak Haji, tolong ceritakan, bagaimana bisa Asih tertabrak mobil?” tanyaku penuh dengan rasa ingin tahu.

“Bapak sebenarnya tidak tahu bagaimana Asih bisa mengalami kecelakaan, tapi pihak dari si penabrak akan

menebus semua biaya perawatan Asih. Jadi, kamu jangan

khawatir untuk masalah biaya,” ucapnya.

“Kalau masalah biaya, aku tidak khawatir, Pak Haji. Yang aku khawatirkan nyawa Asih. Untuk biaya, aku bisa mencarinya,” ucapku.

“Anak sekecil kamu tidak mungkin bisa mencari uang sebanyak itu, Adrian. Sudah, jangan terlalu berpikir buruk untuk ke depannya.” Beliau menepuk pundakku pelan. “Asih baik-baik saja, dia anak yang baik, kamu juga anak yang baik dan Allah selalu bersama orang-orang yang baik,” tambahnya lagi. Aku berusaha menguatkan diriku untuk menerima kenyataan ini. Asih mengalami rasa sakit harusnya aku pun

merasakannya.

“Bapak kamu di mana, Adrian?”

“Bapak pergi ke Kalimantan untuk bekerja, Pak Haji,”

ucapku.

“Bagus kalau begitu, jadi dia tidak meresahkan orang lain karena perbuatan judinya,” timpalnya.

Aku menghela napas kasar. Dengan mata yang terus berlinang air mata. Rasanya sangat lemas.

“Adrian!” teriak seorang wanita, yang tak lain Ibu, ia membawa Zaki serta Raya.

“Pak Haji?”

“Asih kenapa, Adrian?” tanyanya padaku.

“Asih kecelakaan, Bu. Silakan kalau mau lihat, di sana

ruangannya. Tapi, hanya bisa melihat dari luar saja.” Pak Haji menunjukkan sebuah ruangan tempat Asih dirawat.Ibu kemudian mengintip dari kaca transparan. Raya menghampiriku dan memelukku.

“Bang?”

“Kenapa, Raya?”

“Kak Asih mau ninggalin kita, lho.”

Maksudnya apa anak sekecil raya berkata seperti ini?

“Kak Asih nggak ninggalin kita, nanti kita bakal pulang

dari sini bareng-bareng kok.”

“Nggak! Kak Asih pulang duluan, nggak ngajak kita,

Bang.”

Alisku berkerut menatap heran.

“Kamu bicara apa, Raya? Sini, Pak Haji pangku.” Pak

Haji mengambil Raya di pelukanku lalu memangkunya.

Ibu berbalik dan mendekatiku, tak ada raut wajah sedih

yang terpancar, tidak seperti diriku, wajahku sudah memerah karena tangisan tadi.

“Bu.”

“Kenapa?!”

“Kok, Ibu nggak sedih?” tanyaku.

“Kata siapa? Ibu sedih, tapi dalam hati, kamu mana bisa

merasakan seorang Ibu melihat anaknya terbaring seperti itu!”

ucapnya sedikit sesumbar padaku.

“Sabar, Mbak Sania, doakan saja untuk kesembuhan

Asih,” sahut Pak Haji.

“Kita harus menunggu berapa lama lagi, Pak Haji,” tanya Ibu yang terus berjalan mondar-mandir.

“Sabar, Mbak Sania,” ucap Pak Haji.Tampaknya Ibu sudah sangat kesal.

“Kenapa, Mbak Sania? Kalau memang tidak ingin menunggu, silakan pulang saja, saya bisa menunggunya sampai benar-benar bisa pulang,” tambah Pak Haji.

“Anda siapa, Pak Haji? Harusnya Anda yang pulang.”

“Bu, jangan kasar begitu.”

“Apa kamu, Adrian?! Ngatur-ngatur Ibu!” ucapnya

dengan nada yang cukup kasar.

“Jangan kasar ke anak kecil, Mbak, nggak baik!” Ibu lalu terdiam dan duduk bersebelahan denganku.

“Nanti Ibu akan bawa paksa Asih untuk pulang,” bisiknya padaku.

Alisku mengerut, tidak paham apa yang dikatakan Ibu

tadi.

“Maksud Ibu apa? Biarlah di sini, sampai Asih benarbenar pulih,” bisikku lagi.

“Ssttt.” Dia mengisyaratkan jarinya agar aku diam.

“Mbak Sania, baru saja saya dapat pesan katanya sudah

ditransfer uang buat menebus biaya Asih di rekening saya. Saya ambil dulu, ya, Mbak,” ucap Pak Haji, kulihat Ibu tampak sangat berbinar-binar.

“Akhirnya,” gumam Ibu.

“Akhirnya apa, Bu?” Aku menatapnya dengan penuh

keheranan.

“Akhirnya ada biaya buat Asih,” ucapnya singkat.

Tiba-tiba selang beberapa menit ada salah satu dokter

yang akan memeriksa keadaan Asih.

Ibu mencegatnya. “Pak Dokter, boleh tidak hari ini

anak saya dipulangkan saja.”

“Ini Ibu dari Asih?”

Ibu hanya mengangguk.

“Tidak bisa, Bu, karena kondisi Asih belum pulih,” ucap dokter tadi.

Ibu hanya menghela napas kasar sembari duduk dan memijit kedua pelipisnya.

“Sudah, Bu, yang sabar aja.”

“Ibu nggak bisa sabar! Asih harus pulang hari ini juga!” Ya ampun, Ibu aneh sekali, apa karena perekonomian

keluarga dia sampai depresi seperti ini?

Aku menghela napas, lalu duduk sembari memangku

adikku, Raya.

•••

Dari dalam ruangan terdengar suara jeritan Asih, aku berlari untuk melihat kondisinya.

“Ibu, Asih, Bu!”

“Kenapa?!”

Aku mengetuk-ngetuk pintu ruangan ini, berharap

dokter membukanya.

“Asih kenapa, Bu?!”

Kali ini Ibu tampak sangat cemas dan takut. Degup

jantungku tak karuan melihat dokter menggunakan alat pacu jantung pada Asih.

“Ibu.” Tiba-tiba Raya yang tengah anteng menangis

dengan keras.

“Jangan nangis, ayo duduk dulu,” ucap Ibu.

Aku masih berada dalam posisiku dengan tangisan sesenggukan.

“Ibu! Telepon Bapak, Bu! Cepat!”

Ibu yang mulai takut dan gelisah merogoh tas kecilnya

dan mulai menekan ponselnya.

Beberapa menit menghubungi Bapak, ternyata tidak diangkat juga.

“Bapak mungkin masih di jalan,” ucap Ibu.

“Lho, ini pada kenapa?” Pak Haji Kasim datang kembali.

“Ini uangnya, Mbak Sania,” imbuhnya.

Namun Ibu tak menjawab apa pun, dia tampak sedih

tak seperti sebelumnya.

“Adrian, ini ada apa? Ada dengan Asih?” tanyanya padaku.

Aku berusaha menjawab dengan sangat terbata-bata.

“Dokter menggunakan alat pacu jantung. Aku takut Asih tidak

selamat, Pak Haji.” Tak sengaja aku memeluk tubuhnya dengan erat.

Mataku terbelalak melihat Ibu yang tiba-tiba tertawa.

“Mbak Sania kenapa?” Aku dan Pak Haji menghampiri

Ibu yang terus tertawa tanpa sebab.

“Mbak Sania sadar, Mbak! Istigfar, Mbak!”

Alih-alih menjawab saran dari Pak Haji, Ibu malah

mengusirnya.

“Pergi kamu. Aku tidak butuh kamu!”

Ibu mendorong tubuh Pak Haji dengan cukup keras

hingga terjatuh.

“Pak Haji! Ya ampun, Bu!” Aku membantu Pak Haji

berdiri.

“Adrian! Sini kamu!”

“Bu! Ini di rumah sakit, jangan teriak-teriak!” bisikku

padanya.

“Usir orang tua ini, Adrian!” ucapnya setengah berbisik

padaku.

Alisku mengerut, mengapa sikap Ibu seperti kerasukan

jin?

“Ya sudah, Bapak pulang saja Adrian, mungkin Ibumu

butuh ketenangan. Tapi, Bapak akan doakan Asih dari rumah,” ucap Pak Haji.

“Pak, aku minta maaf. Maafkan Ibu, Pak!” timpalku.

“Iya, tidak apa-apa. Bapak pamit, assalamu’alaikum.”

“Wa’alaikumsalam, Pak.”

“Ibu kenapa begitu?

Ibu hanya terdiam sambil menggendong Zaki.

“Bang, aku takut!” ucap Raya. Aku mendekap adikku ini.

Pintu ruang rawat Asih dibuka dari dalam. Sesosok

dokter keluar dari ruangan Asih dan menghampiri kami yang tengah duduk.

“Maafkan saya, Asih tidak bisa diselamatkan,” ucapnya

yang membuat jantungku serasa berhenti berdetak dan air mata keluar dengan derasnya.

Dan Ibu pun sama, menangis sejadi-jadinya.

“Adek sama Ibu yang sabar, tapi nanti tolong urus

administrasinya, Bu. Pihak rumah sakit akan mengantarkan

sampai rumah,” imbuhnya lagi.

Kami sontak memeriksa ke dalam ruangan Asih. Asih

terbujur kaku dengan darah di atas kepala yang masih tampak segar.

“Bu! Ini mimpi, kan?”

“Biar kami urus jenazahnya, Bu, Dek!” ucap salah satu

suster.

Aku pun mengangguk lesu.

•••

“Ini uangnya.” Ibu memberikan lembaran uang kepada

salah satu petugas admistrasi di rumah sakit ini.

Kami berniat ikut dengan mobil ambulans untuk pulang.

Sebentar lagi kami akan sampai rumah, sirine ambulans

dinyalakan dengan kerasnya. Sampai-sampai warga sekitar keluar dari rumah mereka.

Kami keluar dan petugas membawa jenazah Asih ke

dalam, semua orang berbondong-bondong ingin tahu siapa yang meninggal.

“Adrian, siapa yang meninggal?” tanya salah satu warga.

“Asih, Bu.” Tanpa basa-basi, aku masuk meninggalkan kerumunan warga.

Pak Haji Karim ternyata mendengar sirine tadi, dia

bergegas masuk rumahku.

“Ada apa ini, Adrian? Asih meninggal?” tanyanya padaku yang tengah duduk tepat di samping jenazah Asih.

“Innalilahi wa inna ilaihi roji’un.” Pak Haji memeluk

erat tubuhku.

“Ayo, warga kita persiapkan untuk memakamkan Asih,”

ucap Pak Haji kepada semua warga.

“Saya tidak akan memakamkan Asih di sini!” Ibu datang

dengan keputusannya yang mengejutkan semua warga

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel