Pustaka
Bahasa Indonesia

Tumbal pesugihan ibu

36.0K · Ongoing
Koko
41
Bab
378
View
9.0
Rating

Ringkasan

Kisah seorang ibu yang tega menjadikan anak-anak nya sebagai tumbal pesugihan untuk dirinya sendiri.

actionFantasipembunuhanRomansaSuspenseKeluargaIstriDewasaBaper

Bab 1

"Mas, aku hamil lagi. Bagaimana ini? Aku tidak mau anak ini, Mas!" Suara Ibu terdengar cukup keras dari dalam bilik kamarnya.

"Sudahlah, syukuri saja, mau digugurkan? Kita yang berdosa, Sania."

"Nggak, Mas. Lihat, anak kita sudah empat, masih sangat kecil dan kamu sekarang nganggur. Mau dikasih makan apa anak-anak kita, Mas?"

Ada perdebatan Ibu dan Bapak.

"Bu, Pak, ada apa?" Kuketuk pintu kamarnya dengan cukup keras, aku takut terjadi apa-apa di dalam sana.

Pintu berderit ketika dibuka dari dalam. Ibu keluar dengan ekspresi yang masam.

"Adrian, kamu ngapain? Kamu nguping?"

Aku menggeleng. "Tadi Ibu seperti ketakutan, jadi aku khawatir."

"Adrian, belajar! Jangan nguping pembicaraan orang tahu!" Tiba-tiba Bapak keluar dengan nada yang cukup kasar.

Lantas, aku berbalik badan dan berjalan menuju kamar yang juga dihuni ketiga adikku yang masih kecil. Aku anak pertama. Sekarang sudah duduk di bangku SMP, adikku yang pertama berusia 10 tahun, yang kedua 6 tahun, dan yang terakhir masih 2 tahun.

"Kenapa, Bang?" tanya adikku yang paling besar.

"Nggak pa-pa. Kamu ada PR nggak?"

Dia hanya menggeleng.

"Zaki, sini sama Abang!" Kudekatkan diriku ke adikku yang paling kecil.

"Mama, Mama, Mama."

"Mama lagi sibuk, nanti kalau nggak sibuk pasti ke sini," ucapku.

***

Malam telah tiba, kami terbiasa makan malam bersama dengan makanan seadanya.

"Ayo makan! Makan seadanya, kan, kalian tahu Bapak lagi nggak kerja." Ibu menyodorkan sepiring ikan asin dengan sambal ke atas meja.

"Ikan asin terus. Kan, bosen, Bu," timpal adikku yang paling besar.

"Asih, makan seadanya. Kalau nggak mau makan, ya, sudah. Nggak perlu!" jawab Ibu.

"Sudah makan saja, Dek. Jangan banyak merengek," bisikku padanya.

"Ini, Mas, makan seadanya. Kamu, kan, nggak kasih aku uang hari ini," ucap Ibu, Bapak hanya diam saja dengan wajah yang penuh dengan ketakutan.

Ibu menyuapi adikku yang paling bontot, kulihat dia sangat lelah mengurus kami berempat beserta Bapak. Umurnya yang masih muda, tetapi raut wajahnya terlihat sangat tua, dengan bibir alami tanpa polesan lipstik dan kulit wajah sawo matang tanpa polesan sedikit pun bedak.

"Bu, biar aku yang suapi Zaki." Asih tampak tahu kalau ibunya sedang kerepotan.

"Tidak perlu, Asih! Makan saja dan habiskan makananmu," ucap Ibu.

"Atau perlu kamu suapi saja si Raya," tambahnya.

Aku hanya diam sambil menghabiskan makanan milikku.

***

"Ibu hamil?" Tiba-tiba dengan tak sengaja mulutku menyeletuk seperti itu.

"Maksudmu apa, Adrian?" tanya Bapak.

"E-ee, anu, Pak. Cuma nanya aja," jawabku gugup.

"Iya, Ibu hamil." Tiba-tiba Ibu meletakan piringnya dengan cukup keras.

"Yey! Raya punya adik lagi!" teriak adikku.

Ibu dan Bapak hanya tersenyum kecut, aku tahu yang ada di dalam benak mereka berdua. Mereka tidak menginginkan anak yang sedang dikandung Ibu.

"Lihat adikmu, dia sangat gembira, kamu tidak gembira punya adik baru?" Ibu aneh, mengapa dia mempertanyakan hal ini? Bukankah kemarin dia menyesal telah mengandung lagi?

"Se-senang, kok, Bu," jawabku.

"Baguslah."

"Bapak, kok, cemberut?" celetuk Asih.

"Bu, pengin adik kembar!" teriak Raya.

Bapak menghela napas dengan kasar. "Sudah, jangan berisik! Ini sudah malam. Cepat cuci piring kalian masing-masing, habis itu langsung masuk kamar." Adik-adik mengangguk patah. Tatapan Ayah berpindah padaku. "Adrian, jadi contoh yang baik, awasi semua adikmu!" tambahnya.

Aku hanya mengangguk, lalu berjalan ke arah tempat cuci piring diikuti kedua adikku.

***

"Ayo tidur sekarang! Raya, sini!" Terlihat adikku sedang asyik dengan mainannya padahal jam sudah menunjukkan larut malam.

"Kenapa, Bang?"

"Tidur, sudah larut ini!"

Lantas dia naik ke ranjang yang beralas kasur lantai. Lalu, aku tidur di bawah ranjang hanya beralaskan karpet saja. Serta adikku yang paling kecil, dia tidur bersama Ibu dan Bapak.

Memang adanya seperti ini, perekonomian pas-pasan rumah pun masih mengontrak. Ayahku hanya bekerja sebagai serabutan dan sekarang tidak ada pekerjaan yang bisa dia lakukan untuk menghidupi kami semua.

***

"Bapak mau ke mana?" tanyaku yang tengah memakai sepatu karena hari ini aku akan pergi ke sekolah, ketika melihat Bapak berjalan keluar rumah dengan sedikit terburu.

"Mau bekerja, lah. Mau buat apa lagi?!" jawabnya.

"Mau bekerja ke mana, Pak?" tanyaku.

"Kamu jangan banyak tanya, Adrian. Sudah, sana berangkat!" sahutnya.

Aku baru ingat aku butuh uang untuk membayar buku LKS yang guru beri tempo hari lalu, tetapi aku belum kasih tahu ke Bapak maupun Ibu.

"Pak."

"Ada apa lagi? Mau minta uang? Kan, kamu sudah tahu Bapak belum kerja, belum punya uang," timpalnya.

Sepertinya Bapak tahu apa yang akan aku katakan, jadi lebih baik aku tidak melanjutkan permintaanku.

"Asih, ayo cepat berangkat!" teriakku.

"Sebentar, Bang!"

Aku masih berdiri di teras, serta Bapak sudah berjalan lebih dahulu. Entah ke mana Bapak akan mencari pekerjaan.

Adikku lari tergopoh-gopoh.

"Bang, minta duit!" Dia menadahkan tangannya kepadaku.

"Untuk apa, Sih? Kamu nggak dikasih uang sama Ibu?" tanyaku.

Dia hanya menggeleng.

Sementara, aku hanya memegang 3.000 rupiah, itu pun jatah untuk besok.

"Ini, 2000 buat kamu."

"Asyik. Makasih, Bang."

Aku menghela napas lalu tersenyum tipis.

***

"Adrian kamu belum bayar buku, ya?" tanya wali kelasku, Bu Maya.

Aku hanya mengangguk dengan sedikit rasa malu, karena mungkin hanya aku saja yang belum melunasi bukunya.

Kemudian, Bu Maya mendekatiku.

"Kenapa, kok, belum bayar?" tanya Bu Maya lirih.

Aku menunduk.

"Aku belum ada uang, Bu. Bapak tidak bekerja," jawabku berbisik.

"Padahal cuma 40 rIbu, lho, yang lain sudah melunasi," tambahnya.

"Maafkan aku, Bu. Tapi aku usahakan secepatnya akan membayar," sahutku.

Bu Maya mengangguk. "Baiklah, tidak apa-apa."

Kemudian, Bu Maya kembali ke mejanya, tetapi dia masih melihatku dengan tatapan lain. Mungkin karena aku kucel atau bagaimana.

***

"Adrian mau pulang dengan siapa?" tanya Faris teman sebangkuku.

"Aku pulang sendiri, Ris."

"Ayo, ikut aku. Aku dijemput ayahku. Tuh, mobilnya di sana. Ayo ikutlah!" ucapnya sambil menarik kasar tanganku.

Aku menggeleng.

"Ada apa, Faris?" tanya lelaki paruh baya berkulit putih serta memakai kemeja berwarna putih menghampiri kami.

"Ayah! Dia Adrian, temanku. Boleh tidak, dia ikut pulang bareng kita?" ucap Faris, aku hanya terdiam.

Ayah Faris menatapku sinis, sepertinya dia tak suka denganku.

"Untuk apa? Biarlah dia pulang sendiri!"

"Tapi, lihatlah, Ayah. Kasihan!"

"Sudah, ayo cepat pulang, anak kampung kayak gitu mau diajak pulang! Kamu aneh!" Ayah Faris menarik kasar tangan anaknya dan aku ditinggal sendirian.

Anak orang miskin memang selalu dianggap seperti sampah, andai ayah Faris tidak memandang dari fisikku mungkin dia akan mengajakku pulang bersamanya.

Ah, naik motor saja jarang sekali, apalagi naik mobil sebagus itu.

Aku terus berjalan di terik matahari yang cukup menyengat, hanya bermodal topi sekolah untuk menutup kepalaku dari teriknya matahari.

Kakiku melangkah, berjalan melewati restoran yang sering kuimpikan untuk bisa makan di sana bersama seluruh keluargaku.

Menikmati lezatnya ayam goreng lengkap dengan porsinya. Namun, itu hanya anganku saja, jarang sekali aku makan ayam. Sudah ada nasi saja pun aku sudah bersyukur.

Aku masih berjalan karena jarak dari sekolah menuju rumahku memang cukup jauh, andai aku punya uang lebih mungkin aku sudah naik angkot daripada harus berjalan sejauh ini.

***

Terlihat sosok anak kecil berseragam merah putih tengah mengintip sebuah toko di depan sana.

"Sepertinya, dia tidak asing bagiku," gumamku.

Aku berjalan setengah berlari, kudapati dia sedang mengendap-endap.

"Kamu ngapain?" celetukku.

Dia menoleh.

"Asih?!"

"Kamu ngapain di sini?" tambahku.

"Anu, Bang ... itu, Bang!" Asih menunjuk sebuah tas yang berada di dalam toko ini.

"Kenapa? Kamu mau tas?" tanyaku.

Dia mengangguk.

"Tas kamu, kan, masih bagus. Masih bisa dipake."

"Lihat, Bang, talinya sudah mau putus! Bagian bawah juga sudah tipis, nanti juga bolong," ucapnya cemberut.

"Nanti Abang jahit biar nggak putus," jawabku.

"Tapi, Abang jahitnya nggak rapi!"

"Sudah, ayo pulang, ngapain di sini!" Aku manarik paksa adikku yang terus berdiri di depan toko ini.

"Kan, kamu tahu Bapak nggak kerja. Ibu, kan, hamil lagi," ucapku sembari terus berjalan menggandeng tangan adikku.

"Iya, Bang."

"Ya udah, jangan minta yang aneh-aneh lagi," ucapku.