Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

5. Dahana Sehari-hari

Sudah hampir dua tahun Dahana hidup di bawah aturan keras Ki Jambrong. Dari bocah kurus yang nyaris mati kelaparan di gua, kini tubuhnya lebih berisi, ototnya padat, dan kekuatan fisiknya jauh melampaui pemuda sebaya. Namun, pakaian tetap itu-itu saja-kumal, tambalan di mana-mana-dan wajahnya jarang kena air bersih kecuali kalau kehujanan. Atau sekalian mandi saat menangkap ikan.

Dahana setiap hari sudah memiliki daftar kerjaan seperti jadwal tetap saja!

Rutin di setiap pagi.

Saat udara masih lembap ketika kabut tipis turun dari puncak bukit. Dahana harus sudah siap menimba air untuk keperluan minum, masak dan mandi Ki Jambrong. Maka, harus bersiap di tepi sumur tua di kaki lereng, sumur yang bibirnya dilapisi lumut tebal dan dikelilingi batu-batu besar yang licin. Air di dalamnya dingin menusuk, memantulkan bayangan wajahnya yang kusam dan rambut awut-awutan. Setiap ember yang ia timba terasa seperti mengangkat beban seisi dunia. Dua tempayan besar tergeletak di tanah, siap dipikul di pundaknya yang kurus. Jalan menuju gua Ki Jambrong menanjak dan berkelok, batu-batu kecil kerap membuatnya terpeleset. Nafasnya terengah-engah, namun ia tak berani berhenti terlalu lama-setiap jeda berarti teriakan Ki Jambrong bisa melayang dari atas bukit, memerintah dengan nada yang tak kenal belas kasihan.

Tapi itu dulu, sekarang Dahana melakukan semua itu tanpa tekanan karena kemampuan dan kekuatannya bertambah, tubuhnya yang dulu kurus sekarang sudah berotot dan mengangkat beban itu dengan ringan sambil bersiul-siul atau bernyanyi.

Dahana berjalan di jalan setapak dari sumur tua menuju gubuk Ki Jambrong, bahunya miring menahan beban dua tempayan besar. Peluh menetes dari kening, namun mulutnya tetap komat-kamit, lalu mulai bersuara dengan nada seenaknya-antara nyanyian dan teriakan. Biasa, lagu spontan karangannya sendiri yang kocak.

"Air... air... air di tempayan,

jalannya miring seperti ketupat,

kalau jatuh tempayan pecahan,

Ki Jambrong bisa marah sekarat!"

Ia terkekeh sendiri, lalu melanjutkan sambil menggoyang-goyangkan bahu-yang malah membuat air dalam tempayan berguncang.

"Pagi menimba sampai pegal tangan,

siang makan cuma singkong gosong,

kalau dapat ikan di sungai nanti,

mau kusorong ke kekasih biar dia kepincut... wong!"

Suara "wong!" terakhir ia serukan keras sambil melirik pepohonan, seakan ada penonton. Tak ada siapa-siapa, hanya seekor ayam hutan yang kaget lalu kabur.

Dahana menurunkan nada nyanyiannya menjadi seperti orang berbisik konspirasi, tapi tetap dalam irama:

"Eh... eh... jangan bilang ke siapa-siapa,

air ini mau kupakai mandi...

biar giginya ompong, badannya wangi,

siapa tahu ada gadis mau senyum lagi."

Ia terkekeh, hampir tersandung akar pohon. Tempayan di pundak kiri miring sedikit, membuat airnya tumpah. Dahana menoleh ke belakang, pura-pura mengancam pohon yang menghalangi jalannya.

"Pohon nakal jangan bikin ribut,

kalau aku jatuh repot nanti,

tempayan pecah, air tumpah,

Ki Jambrong bisa nyuruh aku timba lagi!"

Sampai di dekat kebun, ia malah bersiul panjang, merasa lagunya tadi cukup "menghibur" dirinya sendiri. Beban di bahu berat, tapi hatinya ringan.

---

Menjelang siang, lain lagi.

Saat matahari sudah meninggi, cahaya panasnya memantul di daun-daun lebar yang membentang di kebun Ki Jambrong. Kebun itu luas, dipenuhi sayuran hijau, kacang panjang yang merambat, dan umbi-umbian yang akarnya mencengkeram tanah keras. Dahana jongkok, jarinya kotor oleh tanah basah saat ia mencabuti rumput liar yang tumbuh membandel di sela-sela tanaman. Kadang, rumput itu sukar dicabut karena akarnya kuat, membuatnya harus menarik dengan tenaga penuh hingga punggungnya terasa nyeri. Peluh menetes dari dahinya, bercampur debu tanah di pipinya. Sesekali ia mencium bau segar daun singkong yang tertiup angin, namun itu hanya menambah perih di perutnya yang keroncongan.

Agar tak bosan, mulut Dahana mulai bersenandung, nadanya naik-turun seperti gending campur aduk.

"Cabut rumput di bawah terik,

badan pegal, pinggang berteriak,

kalau singkong ini sudah masak,

mau kubawa buat makan siang pakai sambal ceriak!"

Ia berhenti sejenak, menggoyangkan kepala mengikuti irama yang hanya ia sendiri yang tahu, lalu melanjutkan sambil mengangkat segumpal rumput liar penuh akar.

"Rumput nakal jangan sombong,

akarmu kuat, tapi aku ompong,

jangan bikin aku tambah lapar,

nanti aku gigit daunmu sampai kopong!"

Dahana tertawa sendiri mendengar liriknya. Sambil jongkok, ia mengipas-ngipas wajah dengan daun singkong yang baru ia petik untuk mengusir panas.

"Oh... singkong muda, singkong tua,

kalau direbus baunya mempesona,

Ki Jambrong makan dapat dua porsi,

aku cuma kebagian kulitnya aja... waaah!"

Nyanyiannya yang setengah mengeluh setengah bercanda membuat waktu terasa lebih cepat. Walau tubuhnya tetap pegal, hatinya terasa sedikit terhibur.

---

Sore harinya...

Cahaya matahari mulai menguning ketika Dahana turun ke tepi sungai. Air mengalir deras, berkilau seperti kaca yang retak oleh riak-riak kecil. Terkadang ia membawa jala, dilemparkannya dengan gerakan cepat yang ia pelajari dari nelayan tua di desa sebelah. Tetapi jika jalanya robek atau tersangkut batu, ia terpaksa menangkap ikan dengan tangan kosong, meraba-raba di celah batu licin, menahan nafas di bawah air dangkal sambil merasakan gigitan ikan kecil di jemarinya. Angin sore membawa aroma segar air dan dedaunan, namun dinginnya mulai menggigit kulit. Jika beruntung, ia pulang dengan beberapa ekor ikan mungil; jika tidak, ia hanya membawa tubuh basah kuyup dan tatapan murung.

Sambil menceburkan kakinya ke air, Dahana mulai bernyanyi pelan, nadanya memantul-pantul mengikuti arus sungai.

"Air bening mengalir deras,

kaki beku, tangan terasa keras,

kalau dapat ikan sebesar telapak,

mau kupanggang... tapi jangan gosong lekas!"

Ia tertawa kecil sendiri, lalu meraba celah batu, merasakan sesuatu bergerak. Ia buru-buru menahan napas, lalu menyelam sebentar. Saat muncul kembali dengan tangan kosong, ia menyanyikan bait berikutnya sambil mendecak kesal.

"Ikan lincah jangan lari,

aku lapar dari tadi,

kalau kau kabur terus begitu,

aku pulang cuma bawa air di baju!"

Sambil mengibas air dari wajahnya, ia melempar jala sekali lagi. Kali ini jaringnya nyangkut di ranting yang tenggelam. Dahana menarik-narik sambil mendendangkan bait terakhirnya.

"Jala nyangkut, hati pun nyesek,

arus kencang bikin pinggang pegel,

kalau pulang tanpa hasil,

Ki Jambrong bisa ngomel sambil gendong cangkul!"

Ia tersenyum miris, lalu kembali mencoba. Baginya, nyanyiannya mungkin tak membuat ikan datang, tapi setidaknya membuat hati tak sepenuhnya tenggelam dalam kesal.

Lalu.. malamnya..

Langit sudah gelap pekat ketika ia kembali ke gua tempat Ki Jambrong berdiam. Api obor menyala redup di dinding, membuat bayangan memanjang di lantai batu. Dahana mengambil sapu lidi dan mulai membersihkan halaman depan rumah gua, mengusir daun-daun kering dan kotoran binatang. Setelah itu, ia masuk ke dalam, merapikan alas tidur Ki Jambrong, menyapu debu di sudut-sudut gua yang pengap. Tangannya terus bergerak meski tubuhnya lunglai, matanya terasa berat, dan kakinya nyeri. Namun ia tahu, sebelum pekerjaan selesai, ia tak boleh membiarkan keluh kesah keluar dari mulutnya. Di sudut gua, suara Ki Jambrong terkadang terdengar seperti gumaman, entah memanggilnya atau hanya berbicara sendiri.

Bersambung....

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel