
Ringkasan
Dahana, remaja dusun yatim piatu, tiap hari ditipu, dihardik, dibully, dilempar, disiram, dan diledek, tapi tetap tertawa dan sabar. Dunia seolah sepakat bahwa ia tak berarti-sampai suatu hari ia... salah diculik. Para penculik kecewa karena tak ada satu orang pun yang peduli akan hilangnya Dahana. Tapi Ki Jambrong, si penculik gagal, menjadikannya budak suruhan yang tiap hari dihajar. Anehnya, Dahana malah jadi kuat dan tahan banting! Hidup Dahana berubah ketika tanpa sengaja ia menemukan satu dari Tujuh Bola Naga, pusaka maha sakti yang bisa mengabulkan permintaan jika dikumpulkan semua. Kini, dunia persilatan memburunya... dan Dahana cuma ingin satu hal: "Saya pengen hidup enak, tapi males repot." Dari salah diculik, jadi salah satu orang paling dicari di kolong langit, Dahana harus bertahan dengan akal bloonnya, fisik badaknya, dan humor tak masuk akalnya.
1. Bocah Malang
Dusun Pelinguk. Sebuah tempat kecil yang terletak di lereng barat Pegunungan Rengka. Terkenal bukan karena keindahan atau kesuburan tanahnya, melainkan karena gosip yang tak pernah berhenti berputar. Dan dalam setiap gosip itu, nama Dahana hampir selalu menjadi sasaran empuknya.
Dahana, bocah laki-laki berusia sepuluh tahun, kurus kering, rambutnya awut-awutan seperti tidak pernah disentuh sisir. Pakaian tambal-sulamnya selalu lusuh dan kotor. Anak dari seorang ibu yang katanya "gila", dan ayah yang tak pernah diketahui siapa. Ia tinggal di gubuk reyot di pinggiran dusun, dekat kandang kambing milik Kepala Dusun.
Setiap pagi, ia turun ke dusun, membawa sekeranjang daun singkong, atau kadang-kadang hanya seikat kayu bakar. Bukan untuk dijual, tapi untuk ditukar-dengan senyum, atau kadang dengan cercaan.
"Kau pikir daunmu ini emas, Dahana?" hardik Bu Jentik suatu hari, melempar kembali daun singkong yang sudah diikat rapi. "Kalau mau sedekah, jangan di rumahku!"
Dahana mengangguk, tak marah, tak menangis. Ia hanya berkata, "Maaf, Bu. Mungkin kambing Ibu nggak suka daun ini..."
Anak-anak seusianya tidak menganggap Dahana teman. Bahkan lebih sering memperlakukannya seperti hewan liar. Ada satu kejadian yang membuat semua orang tertawa-kecuali Dahana, yang tetap tersenyum.
Suatu sore, saat dusun mengadakan lomba tarik tambang antar anak, Dahana ikut menyelinap di barisan. Ia terlalu semangat dan tak sadar tambang itu sudah dilumuri getah nangka dan cabe tumbuk. Begitu lomba dimulai, tangan Dahana melepuh, matanya pedih karena mengucek wajah, dan ia jatuh terguling ke lumpur.
Semua tertawa.
"Lihat! Si anak gila menari lumpur!"
"Kayak monyet kehujanan!"
Dahana hanya mengedip-ngedipkan mata, lalu tertawa kecil sambil berkata, "Seru juga ya, lombanya..."
Penderitaan Dahana bukan hanya berasal dari anak-anak. Orang dewasa pun tidak segan mempermainkannya.
Pernah, Kepala Dusun menyuruh Dahana mengambil "surat penting" di hutan kecil di barat dusun. Anak itu berlari-lari ke sana, menyusuri jalan setapak, menembus semak berduri, hanya untuk menemukan gulungan daun pisang kosong. Ketika ia kembali, semua orang di balai dusun sudah menyiapkan tawa mereka.
"Suratnya penting ya, Dahana?"
"Isi suratnya: kamu bodoh!"
Dahana menunduk, tapi tetap tersenyum. "Kalau suratnya kosong, mungkin belum ditulis isinya, Pak..."
Yang lebih menyakitkan, mungkin adalah kenyataan bahwa ibu Dahana, Mbok Raesih, dianggap gila oleh warga. Ia sering berbicara sendiri, menari di bawah hujan, atau menyanyikan lagu lama dengan suara sendu. Tapi bagi Dahana, ibunya adalah bintang paling terang dalam hidupnya. Dialah yang mengajarkan Dahana untuk selalu tersenyum.
"Kalau kamu senyum, Dunia jadi nggak tega nyakitin kamu, Nak," kata Mbok Raesih suatu malam sambil mengelus kepala Dahana yang baru saja pulang dengan tubuh penuh lumpur dan luka gores.
"Kalau Dunia tetap nyakitin aku, Bu?"
Mbok Raesih tersenyum sambil menatap langit-langit. "Berarti Dunia lagi sedih, dan kamu harus bantu dia tertawa..."
Ada masa ketika Dahana sempat diundang ke rumah Pak Kepala Dusun karena cucu beliau kehilangan ayam jago. Semua anak lelaki di dusun dikumpulkan untuk diperiksa. Dahana tak tahu apa-apa, tapi begitu namanya disebut, semua langsung setuju.
"Pasti dia pelakunya! Mukanya aja kayak maling ayam!"
"Ibunya suka ngomong sendiri, anaknya pasti suka nyolong!"
Pak Kepala Dusun memerintahkan untuk memeriksa rumah Dahana. Mereka menemukan bulu ayam di dekat tungku. Tanpa tanya, tanpa penjelasan, Dahana langsung dihukum menyapu balai dusun selama seminggu penuh.
Ia melakukannya tanpa keluh. Dan ketika cucu Pak Kepala Dusun menemukan ayam jagonya ternyata sedang bersembunyi di kandang bawah jerami, semua orang pura-pura lupa.
Suatu hari, saat musim hujan baru tiba, Dahana membantu mengangkut karung-karung padi ke lumbung milik Pak Toyo. Ia membawa dua karung kecil, satu di pundak, satu dijinjing. Lumpur setinggi mata kaki tak menghalanginya, walau tiap tiga langkah pasti jatuh. Saat berhasil membawa karung terakhir, Pak Toyo hanya melemparkan dua butir kue rangin gosong.
"Buat kamu. Jangan berharap dapat nasi ya."
Dahana mengangguk, menatap kue gosong itu sejenak, lalu tersenyum. "Terima kasih, Pak. Ini enak buat Ibu..."
Ada pula momen di mana anak-anak dusun bermain-main menyiramkan air comberan kepada Dahana yang sedang mengambil air di sumur. Tiga ember busuk diguyurkan ke atas kepala bocah itu.
"Air suci buat si Dahana, biar tobat!"
Tubuh Dahana berbau, bajunya lembap dan lengket. Tapi ia tetap berdiri, menengadah pada langit.
"Aku belum mandi hari ini. Makasih ya..."
Ketika perayaan malam purnama datang, semua anak-anak diminta membawa lampion buatan tangan sendiri. Dahana tak punya kertas warna-warni atau getah lilin. Ia hanya membawa cangkang kelapa kering, dilubangi kecil-kecil, dan diberi sumbu kain bekas. Warnanya kusam, bentuknya mirip batok gosong.
Semua tertawa.
"Lampion dari neraka tuh!"
"Lihat! Cangkang setan ikut arak-arakan!"
Tapi malam itu, ketika angin bertiup kencang dan semua lampion kertas padam, hanya lampion Dahana yang tetap menyala.
Ia berdiri sendiri di tengah lapangan dusun, dengan cahaya kecil tapi kokoh di tangannya.
Tak ada yang memuji. Tak ada yang menyadari. Tapi Dahana menatap nyala kecil itu dan berkata lirih,
"Kamu hebat, ya. Kita berdua kuat, meski sendirian..."
Hari-hari berlalu. Dahana tetap seperti itu. Terhina, dicemooh, dituduh, dilupakan.
Tapi ia masih membawa daun singkong ke kandang-kandang. Masih mengangkut kayu bakar, menyapu halaman balai dusun, membantu siapa saja yang memanggil. Ia tertawa dengan gigi ompongnya, menyanyi lagu yang diajarkan ibunya, dan kadang duduk diam menatap air sungai mengalir.
"Kenapa kamu nggak marah, Han?" tanya seorang kakek tua yang lewat suatu siang.
Dahana menoleh. "Kalau saya marah, siapa yang senyum buat Dusun Pelinguk?"
---
Dahana memang sudah sejak kecil membawa nasib aneh. Sering jatuh bukan karena terpeleset, tapi karena terlalu yakin akan hal-hal yang tak masuk akal.
Kejadian yang tidak masuk akal inilah yang menjadi kemalangan yang paling menyedihkan.
Suatu pagi, ketika ia memanjat pohon pisang di belakang rumah. Padahal semua orang tahu, batang pisang itu lunak dan mudah patah. Tapi Dahana, dengan keberanian yang tidak bisa dibedakan dari kebodohan, berseru lantang,
“Aku akan ambil jantung pisang paling besar untuk ibu!”
Ibunya, yang sedang menjemur pakaian, menoleh dan hanya sempat berkata, “Hati-hati, Nak…”
Lalu—
"Kraaaak!"
Batang pisang patah. Dahana jatuh menelungkup, bokong duluan menghantam tanah, dan sialnya, tertusuk pelepah pisang yang keras dan runcing.
“Aduh... bokongku!!”
Tangis Dahana meraung, tapi justru itulah yang jadi awal tragedi. Sang ibu yang menyaksikan dari kejauhan, bukannya panik, malah tertawa terpingkal-pingkal melihat gaya jatuh anaknya yang konyol itu. Tawanya tak tertahan. Ia tergelak sampai terpingkal, terbatuk-batuk, lalu tersedak napasnya sendiri.
Orang-orang datang karena mendengar jeritan Dahana dan tawa ibunya yang makin sesak. Dan... dari situ, segalanya berubah. Hari itu menjadi hari terakhir sang ibu.
Sejak itu, kisah tentang “ibu yang wafat karena tertawa melihat anaknya tertusuk pelepah pisang” menjadi bahan cerita warga kampung, diceritakan dari warung ke warung, dari penjual tempe ke penggiling padi.
Dahana sendiri tak pernah bisa melupakannya.
“Aku... membuat ibu tertawa untuk terakhir kalinya,” bisiknya suatu malam, saat sendirian memandang bulan. “Dan aku juga yang membuat beliau pergi.”
Sangat malang dan menyedihkan!
Bersambung ...
