6. Cinta Monyet
Untuk melawan kantuk, Dahana mulai bersenandung pelan, suaranya bergetar karena lelah namun tetap mengandung nada nakal.
"Sapu lidi, sapu lantai,
sapu daun, sapu kotoran kelelawar,
meski mata rasanya mau copot,
besok pagi pasti disuruh nyapu lagi, sabar… sabar…"
Ia menghela napas panjang, lalu sambil mengibaskan sapu ke tumpukan debu, ia melanjutkan nyanyiannya.
"Debu di sudut jangan sembunyi,
aku cari sampai ke celah batu,
biar Ki Jambrong tidur nyenyak,
aku besok bangun dengan punggung kaku…"
Bayangan obor menari di dinding, membuatnya merasa seakan sedang punya penonton yang diam. Ia tersenyum tipis, lalu menyapu lebih pelan sambil mendendangkan bait terakhir.
"Gua gelap, obor redup,
angin malam bawa suara seram,
kalau aku takut dan kabur sekarang,
besok Ki Jambrong kirim aku nyapu di jurang!"
Suaranya merendah menjadi gumaman lagi, lalu hilang tertelan bunyi sapu lidi yang menggesek lantai batu.
---
Di akhir hari, Dahana terbaring di sudut, hanya beralaskan tikar tipis. Di luar, suara jangkrik bersahut-sahutan. Di dalam, matanya memandang remang api obor yang hampir padam. Ia menarik napas panjang, mencoba mengumpulkan tenaga untuk esok, yang pastinya akan sama beratnya—atau bahkan lebih.
Begitulah, keseharian Dahana hampir mirip yang dilakukan, semua dengan sabar dan ikhlas dikerjakannya, sesekali jika perasaan gundah atau ingin meluapkan isi di dalam hatinya, ia memilih bernyanyi dengan lagi spontan karangannya sendiri untuk menghibur dan membesarkan hatinya.
Lain halnya jika Ki Jambrong sedang “baik hati” yang artinya, hanya memar sedikit hari itu karena "siksaan"nya, dia akan menyuruh Dahana belanja ke pasar di desa kaki bukit.
Ini adalah satu-satunya kesempatan Dahana melihat dunia luar selain pepohonan, sungai, dan batu-batu gua. Ia bisa kembali lagi berinteraksi dengan orang lain, meski resikonya ia akan dibully, atau dihina seperti dulu.
---
Suatu pagi, Ki Jambrong menggebrak meja batu.
"Bocah! Cabai di dapur habis, garam tinggal secubit, dan tembakauku kering. Pergi ke pasar! Tapi ingat—jangan lama-lama. Kalau sampai matahari condong ke barat kau belum pulang, aku akan jadikan kepalamu penyangga periuk!"
"Praakk!"
Kantong uang dibanting di atas meja.
Dahana sudah kebal ancaman seperti itu. Maka, tanpa ba-bi-bu lagi, Dahana segera menyambar kantong koin yang ada di atas meja, ia mengangguk sambil memasukkan kantong koin ke balik pakaiannya. Pakaian yang ia kenakan? Tetap setia: baju lusuh warna tak jelas, celana longgar penuh tambalan, dan caping bambu yang sudah miring sebelah.
Secepatnya ia melesat lari, menghindari Ki Jambrong menambah omelannya seperti nenek makan petasan. Merepet!
---
Di pasar, hiruk-pikuk suara pedagang dan pembeli membuat Dahana merasa seperti masuk dunia lain. Bau bumbu, bau khas barang dagangan, teriak pedangan menawarkan dagangannya, suara ayam berkokok, tawa anak-anak berlarian, suara tawar menawar, suara perselisihan kecil—semua terasa asing tapi hangat.
Saat-saat seperti inilah, membuat Dahana terasa lebih hidup.
---
Dahana berhenti di depan lapak sederhana yang menjual kebutuhan sehari-hari: garam, gula, beras, tembakau, dan sedikit bumbu dapur. Di balik meja kayu, seorang gadis sekitar seusianya sibuk menimbang beras. Rambutnya hitam panjang, matanya bening, kulitnya bersih. Namanya Ningsih—begitu ia dengar dari seorang ibu pembeli yang memanggilnya.
Dahana menunggu giliran sambil memegang kantong koin. Saat Ningsih menoleh padanya, ia tersenyum... yang sayangnya memperlihatkan gigi ompong di depan akibat sebuah “latihan” tombak Ki Jambrong yang dulu meleset.
"Eh... kamu mau beli apa?" tanya Ningsih, suaranya agak ragu sambil melirik dari ujung mata.
"Garam... cabai... tembakau... sama senyummu," jawab Dahana santai.
Ningsih mematung sejenak. Seorang ibu di dekatnya menahan tawa.
"Senyum nggak dijual," jawab Ningsih cepat, pipinya sedikit merah tapi matanya tetap awas.
"Kalau dijual, pasti mahal," balas Dahana, mencoba bergaya, meski baju kumalnya membuat gaya itu terasa seperti kucing kampung menantang singa.
---
Setelah selesai menimbang garam dan membungkus cabai, Ningsih mengulurkan barang belanjaan itu tanpa menatap langsung.
"Ini semua dua belas koin tembaga. Jangan lupa kembalianmu."
Dahana menerima koin, lalu mencoba manuver terakhir:
"Ningsih, kalau aku sering belanja ke sini, boleh kan... kita jalan bareng?"
Ningsih menoleh, kali ini dengan senyum tipis yang penuh arti.
"Kalau kamu sudah mandi, ganti baju, dan tumbuh gigi lagi, baru kita ngomong."
Para pembeli di sekitar mereka tertawa. Bahkan tukang ayam di sebelah sampai salah memotong ayamnya.
Dahana nyengir lebar, memperlihatkan ompongnya lebih jelas. "Oh... kalau begitu, berarti aku punya tiga pekerjaan rumah besar: mandi, beli baju, dan cari gigi cadangan."
Maka... Pecahlah suara ketawa di dekat lapak Ningsih, tawa dari para penjual dan pembeli yang membuat Ningsih malu dan salah tingkah. Tidak bisa marah hanya sedikit gemas, karena mendapati Dahana tahan semua sindiran dan penolakannya.
Bagi kebanyakan pemuda, penolakan seperti itu mungkin memalukan. Tapi Dahana sudah lama kebal terhadap sakit hati—karena setiap hari ia sudah ditempa pukulan, tendangan, bahkan lemparan batu dari Ki Jambrong. Belum lagi pengalaman masa kecil dan remajanya di Desa Pelinguk, selalu dihina, dicemooh, dibulli, dikerjai orang-orang dusun segala usia.
Ucapan Ningsih malah membuatnya merasa tertantang.
Dalam hati, ia berkata: Baiklah, Ningsih. Suatu hari nanti aku akan datang ke pasar ini dengan baju bersih, gigi lengkap, dan tampang yang bikin kau salah lihat.
Tapi untuk saat ini, ia hanya melangkah pulang sambil mengingat senyum tipis Ningsih—senyum yang entah kenapa terasa lebih hangat dari sinar matahari.
---
Sore harinya, Dahana malah tersenyum-senyum sendiri. Ia ingat ucapan Ningsih :
"Kalau kamu sudah mandi, ganti baju, dan tumbuh gigi lagi, baru kita ngomong."
Penolakan Ningsih baginya bukan masalah—justru seperti tantangan.
Kata itu bisa diartikan sebagai ia sekarang, “kumal, lusuh, ompong” ia anggap seperti daftar belanja untuk menjadi lelaki idaman. Saat ia mengisi tempayan untuk mandi, mulutnya sudah mengalun lagu kocak.
"Ningsih bilang aku harus mandi,
biar wangi kayak bunga pagi,
suruh beli baju, suruh beli gigi,
wah… ini tandanya dia mulai peduli!"
Sambil mengguyur kepalanya dengan air dingin, ia terus bernyanyi, matanya menyipit karena air masuk ke telinga, tapi suaranya tetap lepas.
"Kalau baju baru, aku jadi gagah,
kalau gigi baru, senyumku cerah,
nanti lewat depan rumahnya Ningsih,
dia pasti salah sangka aku bangsawan tanah seberah."
Usai mandi, ia mengibas rambutnya seperti pendekar dalam cerita rakyat, lalu bercermin di genangan air. Senyumnya lebar walau masih ompong.
"Badan wangi, baju keren, gigi kinclong,
langkahku ringan kayak maling bedong,
siap nyapa Ningsih dengan salam manis,
walau dalam hati… cuma mau numpang makan singkong!"
Ia tertawa puas, lalu bersiul sambil membayangkan momen pamer dirinya yang “versi baru” nanti.
Disambung dengan lagu baru ketika teringat senyum manis si Ningsih:
Lagu Dahana – "Gigi, Baju, dan Mandi"
"Ada sumur tua di kaki bukit
Dua tempayan berat ku angkut
Kaki gemetar, bahu berdenyut
Tapi tetap nyanyi biar hati nggak buntut
Reff:
Mandi dulu… biar wangi
Beli baju… biar rapi
Beli gigi… biar Ningsih mau senyum lagi
Aduh hidup, jangan galak-galak ke sini
Ikan di sungai susah ditangkap
Jala robek, tangan malah terjepit kepiting
Tapi ku nyanyi, biar nasib nggak terasa mampet
Kalau ketawa, lapar pun jadi kering
Reff:
Mandi dulu… biar wangi
Beli baju… biar rapi
Beli gigi… biar Ningsih mau senyum lagi
Aduh hidup, jangan galak-galak ke sini
Bersambung....
