4. Samsak Hidup
Hari-hari di dalam gua itu seperti potongan malam yang tak pernah berakhir. Bau lembab dari dinding batu bercampur amis air tergenang. Sejak dilempar ke sana, Dahana hidup di antara gelap, lapar, dan perih luka. Tubuhnya yang semula lincah kini tinggal tulang dibungkus kulit. Setiap kali ia mencoba berdiri, kakinya bergetar seperti batang pisang kena angin.
Luka-luka baru di bahu dan punggung belum kering, malah jadi gatal dan perih. Perutnya menjerit minta diisi, tapi tak ada yang bisa ia kunyah selain tetesan air dari stalaktit dan lumut tipis yang rasanya pahit. Beberapa kali ia mencoba keluar, tapi mulut gua dijaga oleh batu besar dan udara di luar seperti ditutup kabut beracun.
Pada malam kelima, ketika Dahana hampir menyerah pada rasa letih dan haus, ia mendengar langkah kaki. Bukan suara biasa—ini berat, pelan, tapi jelas seperti seseorang membawa beban. Suara itu makin dekat, disusul sinar obor yang memantul di dinding. Dari kegelapan muncul Ki Jambrong.
"Kau masih hidup, bocah?" suaranya berat, bercampur nada heran dan... sedikit kecewa.
Dahana hanya memandang, separuh sadar. Dalam pikirannya sempat muncul harapan: Akhirnya ada yang menolong.
Tapi harapannya mengabur seperti debu terkena angin. Ia mengenali lelaki itu adalah penculiknya. Ki Jambrong—begitu ia memperkenalkan diri—tidak memberi air minum, tidak pula makanan. Ia hanya mengamati seperti pedagang melihat barang di pasar. Lalu tertawa lirih.
"Hah... tubuhmu lemah, tapi tulangmu keras. Kalau aku latih, bisa berguna. Mulai hari ini, kau jadi budakku!"
Belum sempat Dahana protes, sebuah gumpalan kain lusuh dan sapu ijuk lidi lontar, dilemparkan kepadanya.
"Bersihkan gua ini dulu! Sapu semua kotoran kelelawar di sudut. Got di belakang juga. Dan rumahku di luar sana! Jangan kira aku akan memberimu makan sebelum itu selesai."
---
Sejak itu, kehidupan Dahana berubah dari tahanan menjadi budak. Ki Jambrong tidak pernah mengajaknya bicara dengan nada manusiawi. Semua perintahnya pendek, keras, dan selalu diiringi ancaman pukulan tongkat.
Pagi—kalau bisa disebut pagi, karena cahaya matahari hanya tipis masuk lewat celah batu—Dahana disuruh membersihkan got kecil yang mengalir di sisi gua. Airnya keruh, bercampur lumpur dan tulang ikan. Siang, ia menyapu ruangan utama gua yang luasnya seperti balai dusun. Sore, ia mencuci kain kumal milik Ki Jambrong di aliran sungai dingin di luar.
Kadang Ki Jambrong sengaja meletakkan batu besar di jalannya, memerintahkan Dahana mengangkatnya. Bila gagal, tongkat kayu mendarat di punggungnya. Bila berhasil, perintah berikutnya lebih berat lagi.
"Bocah, kau jadi penahan tombak hari ini!" kata Ki Jambrong suatu sore.
Ia berdiri sepuluh langkah jauhnya, memegang tombak berujung kayu bulat. Dengan cepat, ia melemparkannya ke arah dada Dahana. Refleks Dahana mengangkat tangan, menahan benturan. Rasanya seperti ditabrak kambing.
"Lagi!" Tombak berikutnya menghantam bahunya. Lalu perutnya. Lalu punggungnya. Kemudian, rontok gigi depannya kena tombak yang terpental balik ketika ia tangkis.
Hari demi hari, latihan itu diulang. Kadang bukan tombak, tapi pukulan tangan kosong Ki Jambrong yang keras seperti kayu kering.
Di lain hari, ia menjadi samsak hidup yang dipukul dan ditendang saat Ki Jambrong melatih ilmu silatnya!
Tidak hanya itu saja...
Yang tidak disadari Ki Jambrong, setiap hantaman yang dimaksudkan untuk menguji ketahanan justru memupuk kekuatan Dahana. Tubuh kurusnya mulai membentuk otot-otot kecil. Kulitnya yang dulu mudah memar kini semakin keras.
Dahana diam-diam mulai mengerti pola serangan Ki Jambrong. Saat menyapu atau mengangkat beban, ia mengatur pernapasan, mengunci pinggang, dan melatih kaki supaya tidak mudah goyah. Ketika menjadi penahan tombak, ia belajar mengendurkan tubuh tepat saat benturan, sehingga tenaga lawan terserap dan tidak mematahkan tulangnya.
Malam hari, ketika Ki Jambrong tidur, Dahana memanfaatkan sisa tenaga untuk berlatih jurus-jurus silat dasar yang pernah ia lihat di kampung—walau tanpa guru. Ia memukul udara, menendang bayangan sendiri, menirukan gerak burung yang hinggap lalu terbang. Melihat gerakan ular menyambar kodok. Melihat Elang menyambar anak ayam. Meniru gerakan monyet berloncatan di pohon sekitar gua. Tanpa disadari semua gerakan itu mengalir dan menambah kelincahan untuk mengelak, bertahan dan menyerang, walaupun asal-asalan dan tanpa guru yang membimbing.
Tubuh Dahana semakin liat dan kuat. Gerakannya gesit, lentur dan mempunyai reflek alami yang kuat.
Sebanyak itu, perkembangannya, namun secara penampilan, pakaian Dahana tetap kumal, wajahnya tertutup debu, rambutnya acak-acakan. Dari luar, ia masih terlihat seperti budak dekil tak berguna. Tapi di balik kulit itu, kekuatan perlahan tumbuh.
---
Bulan demi bulan terus berlalu. Dahana sudah tidak lagi mengeluh lapar atau sakit. Perutnya sudah terbiasa makan seadanya—kadang hanya umbi liar atau ikan kecil sisa tangkapan Ki Jambrong.
Suatu hari, Ki Jambrong memutuskan untuk menguji "barang" miliknya itu. Ia memanggil Dahana ke halaman depan gua, di mana tanahnya datar seperti arena.
"Bocah, hari ini kau akan tahu apa itu rasa sakit!" katanya sambil tertawa.
Ia memukul dada Dahana dengan telapak tangan penuh tenaga. Dulu pukulan seperti itu bisa membuat Dahana muntah darah. Kini ia hanya mundur setapak, napasnya berat, tapi tidak roboh.
"Hm... menarik." Ki Jambrong mengerling, lalu meningkatkan tenaganya. Pukulan berikutnya disusul tendangan ke paha. Kali ini Dahana mampu menahan, bahkan balas melangkah maju.
Ki Jambrong tertawa puas—tapi dalam hatinya, ia mulai waspada.
Dahana tak pernah diberi kesempatan untuk istirahat penuh. Setiap latihan, ia dijadikan sasaran pukulan, bantingan, bahkan kadang disuruh berlari membawa karung batu mengelilingi hutan di luar gua.
Namun, dari semua siksaan itu, satu hal paling berguna: kebal pukulan dan tendangan. Tubuhnya kini mampu menerima serangan langsung tanpa kehilangan keseimbangan. Tulangnya mengeras, ototnya padat, dan tenaganya berlipat.
Tapi wajahnya—tetap tersembunyi di balik debu, keringat, dan noda lumpur. Tidak ada yang tahu bahwa di balik itu, Dahana mulai tumbuh menjadi pemuda tampan dengan sorot mata tajam. Hanya satu kekurangannya, gigi depannya hilang satu dan tidak tumbuh lagi!
Ada kekurangan, ada juga kelebihannya.
Dahana mempunyai cara untuk menghibur dirinya. Dari masa kecil, remaja hingga sekarang, ia yang tidak mempunyai teman. Karena mereka lebih suka membulli, menyiksa, mengejek daripada menjadikan teman.
Meskipun di permukaan Dahana selalu tersenyum dan tertawa seolah derita bukan apa-apa, jauh di dalam hati terkadang timbul rasa lelah dan keinginan untuk menyerah menghadapi penderitaan yang tiada habisnya. Namun, justru di saat-saat seperti itu, kelakuan konyolnya memunculkan hobi dan bakat unik—menciptakan lagu-lagu kocak secara spontan, seakan tawa adalah senjata terakhirnya melawan getirnya hidup.
Pada malam itu, sambil memandangi obor kecil yang berkedip ditiup angin, Dahana mulai bersenandung. Liriknya keluar begitu saja, sesuai isi hati yang campur aduk: lelah, lapar, kesakitan, tapi tetap ingin tertawa. Nadanya aneh, setengah nyanyian setengah gumaman, namun setiap baitnya seperti cermin dari perjalanan hidupnya yang kocak tapi getir.
Dahana membuat lagu spontan judulnya "Derita Tak Ada Ujung"
"Pagi angkat air dari sumur tua
Siang cabut rumput di kebun yang tua-tua
Sore ke sungai tangan kena duri ikan
Malam lapar, cuma minum air hujan
Reff:
Derita… oh derita
Kok betah ya ikut sama aku
Senyumku palsu, tawaku bohong
Biar hati nggak meledak kayak bedug
Sandal jepit bolong, baju tinggal satu
Gigi ompong tiga, yang lain pada kabur dulu
Mau menyerah, tapi ke mana larinya
Hidup ini kayak utang… lunasnya entah kapan tiba
Reff:
Derita… oh derita
Kok betah ya ikut sama aku
Senyumku palsu, tawaku bohong
Biar hati nggak meledak kayak bedug."
Bersambung...
