3. Salah Culik dan Derita
Ternyata, Dahana diculik dan dibawa lari ke arah hutan.
Sudah lapar, pengap di dalam karung, membuat Dahana hampir pingsan.
"Brruughh!"
Untung saja, deritanya berakhir, ketika ia merasakan tubuhnya terbanting ke atas tanah. Gantian, pantatnya terasa nyeri kesakitan.
"Adoowwww!" teriak kesaktiannya tidak bisa ditahan.
“Hei! Siapa kamu?!” bentak seseorang dari balik gelap, sambil membuka karung yang dibanting.
Muncul wajah Dahana meringis. “Aku Dahana… pantatku sakit!"
“Siapa orang tuamu?!” suara itu kini terdengar frustrasi. Wajahnya bopeng, tubuhnya kurus tinggi, sangat mengerikan. Apalagi ketika bertanya, ludahnya terpercik ke mana-mana.
“Sudah meninggal. Ibu meninggal karena tertawa, Bapak entah jadi batu atau kabur…”
Sunyi sejenak.
“Jadi… tidak ada yang akan mencarimu?” tanya si lelaki aneh itu yang rupanya seorang penculik dengan suara melemah.
Dahana berpikir. “Kayaknya enggak. Kalau aku hilang… seluruh dusun malah bisa bikin syukuran.”
Si penculik atau Ki Jombrang mengeluh. “Astaga. Diculik aja gak laku…”
Dan begitulah, dunia seolah sedang tertawa terpingkal-pingkal di atas kemalangan Dahana.
Tapi mereka belum tahu. Di balik semua itu, diam-diam semesta tengah mengatur takdir.
Untuk bocah lugu yang bahkan gagal jadi korban penculikan yang berharga…
yang kelak, justru akan jadi pusat kekacauan dan harapan dunia persilatan.
Namun hari itu?
Ia cuma ingin mandi.
Dan berharap air sumur tidak membeku lagi seperti kemarin.
Akan tetapi keinginannya yang sederhana itu tidak terkabulkan juga.
Karena, dengan penuh kekesalan tangan Ki Jambrong memukul tengkuknya, membuatnya pingsan sungguhan.
---
Bulan demi bulan berlalu. Dahana tumbuh dengan tubuh yang tetap kurus dan langkah yang luntang-lantung. Ia tinggal di bawah naungan Ki Jombrang—seorang tua bengis yang tak segan-segan memukul, membentak, bahkan menendangnya. Bekas penculik yang mendendam dan menjadikan Dahana menjadi budak suruhannya.
Ki Jombrang hanya memelihara Dahana karena rasa kasihan sesaat, dan paling utama adalah ingin memanfaatkannya. Tapi lama-lama, ia jengah.
“Bocah ini nggak bisa kerja, nggak bisa mikir, dan apesnya… terlalu cerewet!” rutuk Ki Jombrang pada suatu siang.
Dahana yang sedang menimba air justru menumpahkan ember ke dalam sumur.
“Loh, airnya jatuh ke air… jadi dobel airnya, kan, Ki?” katanya dengan wajah serius, seolah logikanya benar.
“Braaak!” Ember melayang menghantam kepala Dahana. Ki Jombrang naik pitam. “Kau pikir aku memeliharamu untuk jadi pelawak kampung, hah?!”
Puncak kemarahan itu terjadi saat Dahana tak sengaja menumpahkan kendi berisi jamu tua warisan leluhurnya. Sontak, Ki Jombrang menggebrak meja, menyambar ikat pinggang kulit ular, dan menggeret Dahana keluar rumah.
Tanpa banyak bicara, lelaki tua itu membawanya menembus semak dan hutan, menuruni bukit terjal, hingga akhirnya mereka tiba di mulut sebuah gua tua yang nyaris tertutup ilalang dan lumut. Dahana gemetar.
“Ki... kita ke sini mau... bertapa?” tanyanya polos.
“Bertapa?! Ha! Kau pikir ini padepokan suci?” Ki Jombrang mendengus. Lalu tanpa banyak upacara, ia mendorong tubuh Dahana masuk ke dalam gua. “Mulai hari ini, kau tinggal di sini. Kau akan kubentuk jadi pesuruh. Kalau tidak mati dimakan kelelawar, ya kau akan berguna untuk membersihkan kakiku nanti!”
Dahana terjerembab masuk, kepalanya membentur batu, dan tubuhnya terhantam dinding lembap.
Gelap. Dingin. Bau lembap. Dan suara-suara gemerisik dari kedalaman.
Ia hanya sempat mendengar suara terakhir Ki Jombrang sebelum mulut gua ditutup semak kembali:
“Hidup atau mati, terserah nasibmu!”
Dan sunyi pun menelan semuanya.
Dahana mengerang pelan, belum sepenuhnya mengerti bahwa hari itu, nasibnya berubah total. Bukan lagi anak yatim piatu biasa—melainkan calon budak, atau mungkin... calon sesuatu yang jauh lebih aneh dari itu.
Tapi, belum habis nasib buruknya, sebuah batu gua cukup besar lepas dari langit-langit gua dan menimpa kepalanya.
"DUKKK!"
Dahana pingsan seketika!
---
Dahana sadar dari pingsannya.
Semula ia kebingungan, menyadari keadaannya. Tapi, lambat laut kesadaran senakin pulih, meski kepala yang tertimpa batu gua lepas, masih berbekas benjol dan nyeri sekali. Sayang, ingatannya menjadi sedikit kacau!
Ia berusaha mengingat-ingat kejadian sebelumnya, tapi yang diingat sementara hanya kepalanya tertimpa batu setelah dijebloskan ke dalam gua.
Oleh siapa? Karena apa?
Sejak kapan ia ada di sini?
Pertanyaan itu, semakin membuat kepalanya kambuh sakitnya.
Lalu...
Dahana memicingkan mata, melihat ke sekeliling gua. Bebatuan di sekelilingnya berwarna hitam kehijauan, basah oleh lumut dan titik-titik air. Bau tanah bercampur amis menyusup ke rongga hidung. Dadanya terasa berat. Ia menoleh ke kiri dan kanan, mencoba berdiri, namun nyeri hebat menusuk dari kepala menjalar ke lihat dan pundaknya. Nafasnya tercekat. Tangannya meraba lantai gua yang dingin, keras dan kasar, seolah baru saja terseret masuk entah oleh siapa.
Ia tidak ingat berjalan ke sini. Tidak ingat berkelahi.
Yang terakhir ia ingat hanyalah batu jatuh menimpa kepala, lalu... gelap.
Apakah ia tertidur? Diracun? Atau dibawa masuk paksa oleh makhluk buas?
“Tidak... ini bukan tempat yang aku kenal,” desisnya pelan.
---
Hari berganti. Dahana tidak tahu sudah berapa lama ia terkurung dalam perut gua yang dingin itu. Luka-lukanya mengering dengan lambat, hanya dibasuh air tetesan dari dinding gua. Perutnya melilit hampir setiap malam, menahan lapar yang tak terperi. Kadang ia menjerit, kadang hanya bisa menggigit lidah sendiri agar tidak kehilangan akal. Telinganya nyaris tuli oleh suara gemericik air yang konstan, memukul-mukul batinnya seperti derik waktu yang tak henti.
Ia mencoba berjalan menuju cahaya samar di celah batu, tapi tubuhnya lemah. Hanya beberapa langkah, ia ambruk dan memuntahkan cairan asam dari lambungnya yang kosong.
Tidur tak pernah benar-benar tidur. Mimpi buruk datang bergantian—wajah-wajah yang tidak ia kenal, bayangan perempuan menangis, suara bisikan dalam bahasa asing. Dan setiap kali ia membuka mata, kenyataan tak lebih baik dari mimpi.
Penderitaan itu membuatnya mulai bicara sendiri. Tertawa pelan. Lalu menangis. Dinding gua menjadi pendengar setia segala umpatan, doa, hingga teriakan minta tolong yang tak pernah dijawab.
“Kalau aku mati, setidaknya kuburanku jangan di sini...”
Suaranya menggema lemah.
Namun entah karena tekad, atau karena dendam yang perlahan tumbuh dari jurang derita, Dahana mulai merangkak lagi. Dan dari celah batu itu, ia mendengar sesuatu…
---
Dahana tak tahu lagi berapa lama ia berada di gua gelap itu. Waktu tak punya makna. Hanya bau tanah lembap, suara tetesan air dari stalaktit, dan rasa lapar yang menggigit terus-menerus. Tubuhnya sudah kurus, kulitnya penuh goresan dan memar. Kuku-kukunya panjang tak terurus, rambutnya lepek, kusut seperti rumput kering.
Tangan dan kakinya terluka, sehingga tiap gerakan pun menimbulkan rasa sakit pada pergelangan. Ia hanya bisa duduk, atau meringkuk seperti bayi yang ditelantarkan.
Kadang ia menangis... tapi air matanya pun lama-lama enggan keluar. Terasa sia-sia.
--
Suatu malam-atau mungkin siang, siapa tahu-Dahana bermimpi. Dalam mimpi itu, ibunya datang membawakannya bubur kacang hijau yang hangat. Dahana tersenyum dalam tidurnya, tangannya terulur... tapi saat ia membuka mata, ia hanya menggigit ujung jarinya sendiri yang kotor.
Tangisnya pecah lagi.
"Aku mau pulang," bisiknya. "Aku mau pulang..."
Tapi siapa yang akan mendengar?
Di saat seperti itu, bahkan suara hatinya sendiri seolah memudar.
Tak ada suara langkah kaki dari atas. Tak ada cahaya lentera. Hanya diam. Kesepian yang pekat dan menyesakkan.
Perutnya perih seperti tercakar dari dalam.
Lidahnya kering. Bibirnya pecah.
Ia mulai berbicara sendiri, menyebut nama-nama orang yang bahkan tak ia kenal. Kadang ia mengaku sebagai raja, kadang sebagai semut. Kadang ia tertawa keras seperti orang gila, lalu menangis sejadi-jadinya.
Tubuhnya menggigil, padahal udara tak begitu dingin. Atau mungkin ia sedang demam. Atau mungkin tubuhnya pelan-pelan menyerah.
Dahana tak tahu bahwa di luar sana, dunia terus berjalan. Orang-orang menari, berdagang, bertarung, mencinta... sementara dirinya terkubur hidup-hidup dalam derita yang tak punya nama.
Ia mulai meragukan apakah ia sungguh pernah hidup.
Pernahkah ia bermain layang-layang di lapangan?
Pernahkah ia punya nama?
Atau semua itu hanya mimpi seorang budak rantai di gua gelap?
Ia mulai mendengar suara. Bukan suara manusia, tapi suara dari dalam batu.
"Buka... buka matamu, Dahana..."
"Derita adalah jalan, bukan akhir..."
"Siapa engkau jika tak ada yang mengenalmu?"
Dahana ingin menjerit, tapi yang keluar hanya desis lirih.
"Aku... aku siapa?"
"Engkau... bukan siapa-siapa..."
Suara itu tertawa, menggema di sekujur tulangnya.
Bersambung...
