Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

2. Kemalangan Lain

Matahari baru naik semata kaki, tapi bau kotoran sapi sudah menguar dari arah kandang milik Pak Gekdo. Di situlah Dahana, anak dusun paling tidak dianggap seantero Pelinguk, tengah menggali lubang kecil sambil tersenyum-senyum.

"Apa kau senang hidup begini, Dah?" tanya sapi betina di sebelahnya. Tentu saja sapi itu tidak bicara, tapi Dahana kadang menganggap binatang lebih peduli padanya ketimbang manusia.

Dahana mengangguk sambil menyeka keringat dengan pakaian sederhana yang penuh tambalan.

"Hidup tuh, kayak tai sapi, Mbok. Bau, hangat, tapi bisa bikin tanah subur,” katanya sambil mencangkul.

Tak lama, suara anak-anak terdengar dari kejauhan.

"Eh, si Dahana lagi main tanah, tuh!"

"Main? Itu nyari sarapan dia!"

"Hati-hati, Dah, nanti cacingnya lebih pintar dari kamu!"

Tawa bergelak, dan segumpal kotoran dilempar ke arahnya.

"PLAK!"

Mendarat mulus di punggung. Dahana terdiam sejenak, lalu tertawa. “Wah, pagi ini sarapan protein! Terima kasih ya, Joko, Dodong, Gandi. Kalian perhatian.”

Mereka makin kesal karena Dahana tak marah. Tidak pernah marah. Bahkan waktu alas kakinya dicuri dan dibuang ke selokan, Dahana cuma bilang, “Mungkin kaki saya butuh liburan.”

Dusun Pelinguk berada di lembah tenang yang katanya pernah jadi tempat petapa sakti bertapa. Tapi kini, dusun itu lebih terkenal karena warga-warganya suka usil, cerewet, dan gemar membuat lelucon tentang satu orang: Dahana.

Anak yatim piatu itu tinggal di gubuk peninggalan almarhum ibunya yang wafat karena tertawa melihat Dahana jatuh dari pohon pisang dan tertusuk pelepah. Bapaknya? Tak ada yang tahu. Ada yang bilang kabur, ada yang bilang berubah jadi batu karena malu punya anak sepolos itu.

Dahana hidup dari pekerjaan serabutan. Membersihkan kandang, memancing ikan, menyapu balai desa, mengangkut air, bahkan pernah jadi patung hidup di acara nikahan—semuanya dijalani dengan senyum sabar.

Suatu sore, ia duduk di pinggir sungai kecil, menggigit potongan singkong mentah sambil menatap langit.

“Aku ingin jadi awan,” gumamnya.

“Biar melayang di angkasa?” tanya seekor katak yang lewat.

“Biar kalau ada yang mau siram tai ke aku, langsung jatuh lagi ke mereka.”

Kataknya lompat, mungkin tak paham. Tapi Dahana tertawa sendiri.

Kemalangan terbesar datang ketika ia dijebak oleh Pak Temu, ketua dusun, untuk ikut lomba makan cabe.

“Dahana, kamu dipilih jadi wakil dusun!” kata Pak Temu bangga. “Hadiah utamanya ayam betina dua ekor!”

Tentu saja, itu hanya akal-akalan. Lomba itu palsu, cuma jebakan buat mengerjai Dahana. Cabe rawit super pedas disajikan, dan Dahana—dengan semangat tak tahu apa-apa—memakannya satu per satu.

“Ini… cabe-nya… manis juga…” gumamnya sambil mulai berkeringat.

Warga tertawa sampai berguling-guling. Bahkan ada yang sempat kencing di celana karena terlalu geli melihat wajah Dahana yang memerah seperti kepiting rebus, mulut bergetar, dan lidah menjulur.

Namun, ia tetap menghabiskan semuanya.

Setelahnya, ia pingsan selama dua hari, dan bangun-bangun di kandang kambing.

“Dahana, kenapa kamu masih tahan tinggal di dusun ini?” tanya Pak Lurih, seorang duda tua yang juga dianggap aneh, satu-satunya yang sesekali bicara dengan Dahana.

“Sebab di luar dusun ini, mungkin aku lebih tak dianggap lagi,” jawab Dahana sambil menggendong ember penuh tai ayam.

---

Di malam hari, Dahana tidur di atas tikar reyot, berselimut karung goni, ditemani suara kodok dan dengkuran tikus. Tapi ia selalu bermimpi indah.

Kadang jadi pendekar sakti. Kadang jadi penjual obat di kota. Kadang jadi penjual tape singkong keliling yang dagangannya selalu habis.

Namun pagi harinya, ia tetap bangun di tempat yang sama, menguap, dan menyapa matahari.

“Selamat pagi, Matahari! Kau tak bosan melihatku gagal terus?”

Matahari tak menjawab. Tapi burung pipit yang terbang melintas buang hajat di atas kepala Dahana.

PLUK!

“Ah, rezeki pagi,” katanya sambil tersenyum.

---

Suatu hari, saat ia tengah menyapu halaman balai dusun, seorang anak kecil jatuh dari tangga bambu. Dahana segera melompat dan menangkap anak itu. Kaki kirinya terkilir.

Tapi bukannya mendapat pujian, ibunya anak itu malah berteriak, “Kau mau culik anakku, ya?! Dasar maling ayam, sekarang maling anak!”

Warga berkumpul. Dahana tak sempat membela diri. Ia hanya menunduk.

Untung Pak Lurih datang dan membela. “Dia menyelamatkan! Aku lihat sendiri!”

Orang-orang bubar dengan dengusan. Tak ada yang minta maaf.

Meninggalkan Dahana duduk di bawah pohon jambu, memegangi kakinya yang nyeri.

Ia menatap matahari yang menggelincir ke arah barat. “Tuhan, apa aku bisa minta satu permintaan saja? Bukan kekayaan, bukan kekuasaan… tapi… bolehkah aku hidup, sekali saja, tanpa dijahili?”

Langit tetap diam. Tapi angin bertiup pelan, mengelus pipinya yang lebam.

---

Kemudian di tengah sore yang mendung, saat ia baru saja menyelesaikan menyapu halaman balai dusun, sial seolah belum selesai menimpa Dahana.

Ia terpeleset karena kulit pisang—yang ia buang sendiri tadi pagi. Tubuhnya terjungkal masuk ke selokan yang baru saja digali warga, penuh lumpur dan sisa air comberan.

Tentu saja saat ia berusaha bangkit, anak-anak sudah berkumpul.

“Horeee! Dahana jadi lumpur hidup!”

“Panggil pawang got! Ada siluman bangkit!”

“Pakai busa jarak dan jeruk limun, Bang! Sekali-kali wangi dikit napa!”

Dahana bangkit sambil menahan licinnya lumpur di wajah. Ia tersenyum lebar, walau matanya pedih kena limbah yang tersisa di selokan.

“Saya memang gak ganteng, tapi hati saya harum,” katanya sambil menepuk dadanya yang berlumpur.

Tawa pecah lagi. Tapi tak satu pun yang menolongnya.

---

Malamnya, ia pulang ke gubuknya. Atap bocor, tikus berlarian, dan nasi yang ia masak ternyata basi. Ia tetap makan, meski rasanya aneh dan perutnya kembung sesudahnya.

Angin masuk dari celah-celah dinding. Ia menarik karung bekas beras sebagai selimut dan menatap langit lewat lubang atap.

“Hari ini cuma tiga kejadian buruk,” bisiknya lirih. “Berarti besok bisa lima.”

Ia tertawa kecil. Tapi kemudian menahan perutnya yang mulai bunyi-bunyi tak karuan.

“Maaf, perut. Besok kita cari ubi mentah lagi, ya…”

---

Keesokan harinya, ia bangun dengan gigi gemeretak. Sumur di belakang rumah membeku. Serius. Membeku. Airnya seperti es. Entah kutukan, entah nasib. Tapi Dahana tetap mencoba mandi. Meski badan lemas kelaparan, air yang tersisa sedikit dan masih mencari, dipakainya menyiram tubuhnya.

Akibatnya...

Ia merasakan siksaan, tubuhnya menggigil dua jam, dan rasa laparnya semakin menyiksa.

Maka, akhirnya ia memutuskan untuk mencari pekerjaan di dusun sebelah, dengan harapan ada nasib lebih baik.

Namun nasib justru menaruh titik koma di sana.

Baru lima langkah keluar dusun, sesuatu menimpa kepalanya.

Sebuah karung besar, membungkus kepala dan seluruh tubuhnya.

Gelap. Karena ujung bagian kaki diikat. Dahana mencium bau arak menyengat memenuhi lubang hidung, membuat kepalanya pusing, nafasnya sesak dan tubuh setengah pingsannya terangkat.

Ia merasakan tubuhnya di dalam karung dibawa lari menjauh dari dusun!

Bersambung ...

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel