Mengakui Diri Sendiri Adalah Pria Jahat
Mabelle menghentakkan kakinya, tidak terima dengan apa yang dia lihat. Perhatian Marcell hanya untuk Aira saja. Mabelle kira selama 1 bulan bersama Marcell, dia bisa mendapatkan sedikit simpati darinya. Bagaimanapun mereka dulu pernah terlibat dalam perasaan yang sama, tidak sulit kalau ingin menumbuhkan rasa suka diantara keduanya.
Yang tidak Mabelle ketahui; bahwa rasa cinta itu unik dan ajaib, bisa datang dan pergi kapanpun tanpa memandang siapa itu. Dan sekarang, Marcell tidak lagi punya perasaan untuknya. Sejauh apa dia memaksa, Marcell pun tidak akan goyah.
Padahal Mabelle sudah berusaha sebisa mungkin merubah apa yang tidak Marcell sukai. Tapi tetap saja, Marcell masih memandangnya sebelah mata. Ditambah ada Aira tinggal bersama mereka, membuatnya kehilangan peluang untuk mendapatkan kembali perasaan cinta yang dulu pernah ada.
Mabelle mengusap air matanya lalu pergi. Dia membanting pintu masuk ke dalam kamarnya. Dia menjatuhkan tubuhnya di atas kasur lalu menagis tersedu-sedu seperti sebelum-sebelumnya.
Mark pun ikut kesal karena Marcell tidak bisa menjaga perasaan adiknya. Mark mendorong Marcell lalu menggendong Aira.
Sebelum pergi dia berkata pada Marcell untuk memberinya peringatan. "Dia tidak perlu kamu perhatikan lagi. Istrimu adalah adikku. Ingat! Apa yang sudah kita sepakati sebelumnya."
Marcell terdorong ke atas lantai pun hanya bisa diam melihat Aira ada di gendongan Mark. Matanya mengerjap berulang kali. Rasanya dia sedang berada di tepi jurang, dihadapkan pada 2 pilihan yang membuatnya sulit. Jurang adalah Aira sementara dataran adalah Mabelle. Namun, daratan itu memiliki duri dan lumpur yang dalam, Kakserta pasir yang bisa menelan badan manusia. Dia bisa apa sekarang?!
Buk! Mark melemparkan Aira ke atas kasur miliknya ketika sampai di dalam kamar. Jatuh di atas tempat tidur empuk tidak membuatnya kesakitan. Aira berang karena tidak ada sisi kelembutan pada pria itu. Apa dia ini karung beras bisa dilempar ke mana pun dia suka?
"Jika mau jadi wanita penggoda nanti saja setelah kau melahirkan anakku. Aku tidak mau sifat anakku sama denganmu!"
Perkataan Mark sangatlah menyayat hati, membuat Aira kesal lagi mendengarnya. Semiskin apapun dia, tidak akan pernah terlintas di dalam benaknya untuk jadi wanita penggoda. Bila membunuh orang tidak masuk penjara, Aira pasti sudah membunuh pria di depannya ini.
"Aku pun sama, tidak mau anakku memiliki sifat sepertimu. Kasar dan sombong! Wajah tampan kalau macam asam jawa siapa yang suka?!" Aira lalu bangun duduk di tepi kasur menatap nanar ke arah Mark.
Konfrontasi verbal Aira memang menguasainya. Sebagai orang tidak punya kalau tidak pandai bicara bisa-bisa diinjak oleh orang lain. Dia tidak mau hidup seperti itu. Meskipun miskin dan seorang wanita, dia tidak mau orang merendahkannya karena kekurangannya itu.
Hidup boleh miskin, tapi bukan berarti bisa direndahkan orang lain.
"Apa katamu barusan?!" Mark tergelitik dengan perkataan sarkastik Aira. Selama ini tidak ada yang berani berkonfrontasi verbal dengannya secaraotomatis terang-terangan seperti itu.
"Asam jawa! Hahaha! aku lupa kau, 'kan orang kaya mana tahu apa itu asam jawa!" Aira mengeraskan suaranya beberapa oktaf agar pria menyebalkan di depan matanya ini bisa mendengar apa perkataannya sebelumnya.
"Kau-" Mark menunjuk wajah Aira, urat di lehernya sudah keluar semua.
"Kenapa? tidak percaya?! Kau bisa lihat cermin! Aku yakin di rumah orang kaya banyak cermin. Kalau tidak punya dan tidak sanggup beli aku ada cermin di dalam tasku."
Aira diam sejenak lalu melanjutkan lagi perkataannya dengan menajamkan pandangannya pada Mark. "Tapi... aku takut cerminku pecah melihat wajah masammu itu!" Aira sengaja menekankan akhir perkataannya untuk memprovokasi Mark.
"Jangan asal bicara?!" Rahang Mark bergetar ketika memberi peringatan pada Aira.
"Memangnya kenapa? aku cuma mengatakan apa yang aku lihat. Sebagai wanita baik-baik aku tidak boleh berbohong, 'kan?" Aira memiringkan kepalanya menatap sinis Mark.
Aira bukan tidak diajarkan apa itu sopan santun, dia menghadapi orang seperti Mark tidak boleh lemah. Ibu panti dulu pernah berkata padanya; jika tidak mampu membantu orang maka cukup diam saja agar orang lain tidak sakit dengan perkataanmu. Jika kamu lemah maka gunakan mulutmu sebagai senjata untuk mematikan lawanmu. Perkataan seperti itu bukan Aira tidak tahu. Ibu panti selalu menyemangatinya agar bisa bertahan tanpa bantuan orang lain. Terlebih menghadapi orang seperti Mark, dia harus punya tak-tik agar tidak direndahkan lagi.
Mark belum pernah merasakan marah sampai mau memakan orang. Seluruh wajahnya sudah menghitam. Apa yang membuat wanita ini tidak takut kepadanya.
Mark sangat penasaran!
"Kalau tidak suka tinggal buang saja aku keluar. Aku pun tidak perlu kamu bertanggungjawab. Anak ini ada di dalam perutku, sudah tentu aku akan menjaganya."
"Anak itu milikku, kalau tidak ada aku apa bisa anak itu ada di dalam perutmu?!"
"Kau berkata seperti itu seperti mengakui diri sendiri adalah pria jahat!" Aira tersenyum kecut menggejek perilaku Mark. Bagaimana kejadian malam itu, Mark tahu sendiri; Bagaimana kasar dan sadisnya dia menghina Aira, terlebih waktu di atas tempat tidur.
Sikap Aira seperti ini seperti sedang mengadili perilaku Mark terhadapnya. Tapi, Mark yang tidak pernah direndahkan orang lain tidak akan mudah diprovokasi.
Mark masih bersabar tersenyum menyeringai. "Jangan memancing batas kesabaranku!"
Aira mengabaikan peringatan Mark, melanjutkan perkatan yang belum selesai ia katakan. "Kau tidak perlu khawatir aku sudah melupakan kejadian sebelumnya, anggap saja aku digigit anjing gila! Meskipun aku miskin masih mampu menghidupi anakku!"
Tangan Mark terkepal. Dia meremas jari jemarinya berulang kali. Bola matanya pun sudah menajam dan giginya bergemerutuk mau menerkam mangsanya.
Di atas nakas ada porselen antik, Mark meraihnya lalu melemparkannya ke arah dinding.
Suara ribut pecahan porselen memenuhi seisi ruangan. Aira mau tertawa, dia kira pria itu memiliki pengendalian diri yang tinggi. Tidak tahunya baru dipancing sedikit saja sudah murka seperti itu. "Aku menganggap itu pengakuanmu bahwa perkataanku sebelumnya benar." Aira punya kesempatan membalikkan perkataan Mark sebelumnya; yang mengatakan bahwa anak di dalam perutnya adalah anak Mark.
Aira tidak butuh bantuan dari Mark. Dia percaya semua nyawa itu sudah dijamin kehidupannya oleh sang pencipta sendiri. Betapa pun sulitnya, dia yakin masih mampu kalau hanya untuk bertahan hidup. Untuk pendidikan anaknya, dia akan menabung sedikit demi sedikit sampai umur anaknya cukup pergi ke sekolah.
Kekayaan bukan segalanya, banyak orang kaya tapi hidupnya tidak bahagia. Miskin bukan berarti hidupnya harus menderita.
Miskin harta boleh tapi miskin akhlak jangan.
"Apa kau mencoba mengajariku?!" Mark menghampiri Aira sepersekian detik sampai-sampai angin berhembus dikalahkan olehnya. Dia sambil berkata mencubit kedua sisi dagu Aira hingga mendongak menatapnya.
Aira pun mendekatkan wajahnya memelototi Mark, memberitahunya bahwa dia tidak takut sama sekali.
