Kau Menganggapku Alien
"Beritahu kepala pelayan untuk menyiapkan kebutuhan wanita di dalam kamarku." Mark tidak mau mengakui Aira sebagai istrinya di depan orang lain. Hari ini dia sudah mau menyuruh asistennya untuk mengurus perceraiannya dengan Aira. Namun, karena wanita itu hamil, perceraian pun ditunda hingga dia melahirkan.
"Baik, Tuan." Pelayan langsung berjalan cepat meninggalkan Mark setelah selesai berkata. Dia takut kalau berjalan berlamaa-lama didetik berikutnya diberhentikan bekerja oleh Mark. Dia sangat membutuhkan pekerjaan ini untuk membiayai hidup keluarganya.
Sepeninggal Mark, Aira bebas di dalam kamar Mark. Pokoknya apa yang belum pernah dia lihat sebelumnya dia akan memegangnya dan melihatnya sambil memerhatikan benda itu terbuat dari apa.
Dalam sekejap, kamar rapih dan bersih langsung berantakan. Letaknya sudah bergeser semua oleh Aira. Yang tadinya ada dipojok sudah berpindah ke tengah ruangan di atas meja di depan sofa. Dia duduk di sofa melihat barang-barang yang dia sukai.
Selesai bermain, dia menelepon Kelly Armstrong, kakak angkatnya di panti asuhan menggunakan telepon rumah di dalam kamar Mark. Beruntungnya dia mencatat nomor kakaknya di buku kecil miliknya sehingga otak level pentiumnya tidak perlu repot menerka-nerka nomor kakaknya di dalam ingatannya. "Kakak Kelly, sungguh maaf, aku belum bisa keluar negeri, terjadi sesuatu padaku disini. Jangan tanya dulu masalahnya apa, pokoknya kamu tidak perlu cemas, aku baik-baik saja. Dan, tolong tutupi dulu masalah ini dari ibu panti. Aku tidak mau dia berpikir macam-macam."
Diujung sambungan telepon suara Kelly meraung meneriakinya sambil memberi nasehat. Hal ini sudah diprediksi oleh Aira pastilah kakaknya akan marah dengan kejadian ini. Dia pun tidak dapat berbuat apa-apa, hanya bisa memberitahunya setengah-setengah, yang penting kakaknya sudah diberitahu agar dikemudian hari dia tidak merasa khawatir tentangnya.
Seseorang di luar mengetuk pintu. Tentu saja suaranya sampai diujung sambungan teleponnya. Aira memanfaatkan suara ketukan pintu untuk mengakhiri panggilan teleponnya; lari sementara waktu dari desakan keinginan tahuan kakaknya mengenai masalahnya hari ini tidak jadi ke luar negeri. "Sudah dulu ya, Kak Kelly, ada yang mengetuk pintu. Aira janji akan sering menelepon Kakak Kelly sesering mungkin setelah ini. Dadah! Mmmmmmuach!" Aira memberinya salam perpisahan diakhir perkataannya. Tanpa memberi kesempatan Kelly untuk berbicara, ia langsung menutup sambungan telepon lalu menyahut orang di depan pintu. "Ya, masuk saja!"
Pelayan masuk mendorong rak pakaian dengan berbagai macam modelnya.
"Nona, Tuan, menyuruhku membawa perlengkapan untukmu. Jika ada yang kurang, kau bisa mengatakannya kepadaku."
Aira memeriksanya satu persatu. Semuanya sudah lengkap tersedia. Dia puas dengan pengaturan Mark. Tidak rugi juga dia tinggal di rumah pria itu. Setidaknya selama dia hamil, dia bisa memersiapkan diri mencari pekerjaan, untuk beasiswanya dia akan teruskan tahun mendatang. "Oke, terima kasih. Kau boleh pergi."
Pelayan menundukkan kepalanya. Dia takut mau berkata kepada Aira. "Nona..."
"Hm... Ada apa?" Aira sedang melihat-lihat pakaian di rak dorong menyahut tanpa menoleh ke arah pelayan.
"Nona, Tuan, tidak suka kamarnya berantakan." Pelayan memberitahu kebiasaan Mark.
"Baguslah kalau begitu." Aira menginginkan hal demikian. Dia ingin membuat Mark marah lalu memberinya kamar pribadi untuknya.
"Maksud, Nona?" Pelayan bingung dengan penjelasan Aira.
"Maksudku, aku memang sengaja melakukannya untuk membuatnya marah. Kamu boleh pergi... Biar aku urus sisanya."
"Tapi, Nona. Tuan akan memarahi kami." wajah pelayan terlihat sangat tertekan dengan kondisi kamar berantakan Aira. Meskipun yang berbuat salah adalah pemilik rumah, tetap saja yang akan disalahkan oleh Mark adalah semua pelayan yang bekerja di rumah itu.
"Tenang saja, ada aku yang menanggungnya. Kalau kau diberhentikan karena aku, aku akan memberikan kompensasi untukmu. Aku banyak uang, sudah pergi sana, aku sedang menikmati kehidupan seorang putri." Aira mengusir pelayan.
"Nona..."
"Kau ribut sekali!" Aira menjadi terganggu.
"Kalau aku diberhentikan, aku pasti tidak akan mendapatkan pekerjaan dimana pun. Tuan, akan mendaftarkan kami di daftar hitam bursa kerja. Nona tolong kasihanilah kami orang kecil ini."
"Ck! pria itu benar-benar sangat hitam hatinya. Nampaknya aku harus membeli cairan pemutih untuk membersihkan hati busuknya itu." Aira pun memaki Mark.
"Baiklah, kau bersihkan saja kamar ini. Aku tidak akan membuat masalah untuk kalian."
Pelayan menghembuskan napas panjang setelah Aira tidak menyusahkan pekerjaannya lagi. Dia pun segera membereskan kekacauan yang dibuat oleh Aira sebelum Mark pulang ke rumah untuk menghindari kemarahannya.
-
Aira bosan berdiam diri di kamar turun ke lantai bawah.
Baru turun dia melihat Mabelle lagi. Wanita itu melihat dia dengan tatapan sinis. Nampaknya memang mereka tidak akan pernah berdamai selama tinggal 1 atap.
"Ada apa melihatku seperti itu?" Aira langsung saja turun duduk di sofa di depan Mabelle sedang membaca majalah fashion.
Tatapan Mabelle kian pekat seperti mau memakannya.
Mabelle belum bisa memaafkan Aira. Namun, ketika mengingat bagaimana Aira menyerangnya sebelumnya, dia tidak begitu berani lagi. Dia masih merasakan sakit diwajahnya bekas cakaran Aira. Beruntung dia memiliki krim mahal untuk menyembuhkan luka itu dalam beberapa detik, sehingga goresan itu tidak begitu terlihat lagi.
Aira menaikkan kaki di atas meja berselonjoran duduk bersandar. Daripada tamu dia lebih mirip Nona rumah itu.
Desis penghinaan keluar dari mulut Mabelle. "Tidak tahu sopan santun!"
Aira tidak memeduliknya. Dia bahkan bergumam sendiri. "Enaknya menjadi orang kaya, apapun tidak perlu repot. Kamar berantakan pun tinggal suruh pelayan yang bersihkan. Di rumah tinggal bersantai sambil membaca majalah."
Ketika Aira sedang bergumam seperti itu, ada 1 pelayan lewat. Aira memanggilnya. "Kamu kemari..."
"Ya, Nona, ada apa memanggilku."
"Aku haus, boleh tunjukkan dapur ada di mana?"
Mabelle menertawakan Aira karena minta tolong ditunjukkan keberadaan dapur. Nampak perbedan orang kaya sungguhan atau orang kaya baru. Padahal dia tinggal minta diambilkan minum saja, pelayan akan mengambilkannya untuknya.
"Saya akan menunjukkan jalan, Nona boleh mengikutiku."
Aira berjalan. Dia tidak menyangka rumah itu sangat besar dan luas. Kalau berjalan sendiri dia takut nyasar kemana-mana. Jika begitu, dia akan memermalukan diri sendiri karena tidak cakap mengingat lintasan jalan di rumah itu.
Aira dari dapur kembali ke ruang keluarga di mana Mabelle sedang duduk. Dia membawa 2 gelas minuman di tangannya. "Ini untukmu." Aira meletakkan 1 gelas jus di depan Aira menunjukkan kebaikan hatinya.
Tatapan Mabelle waspada. Dia takut wanita di depannya itu memberinya racun.
Aira menyadari kekhawatiran Mabelle terhadap minuman itu. Dia meminum minumannya sedikit lalu mengambil minuman di depan Mabelle menungkan sedikit ke dalam gelasnya dan meminumnya lagi untuk membuktikan keamanan dari minuman milik Mabelle. "Tidak perlu takut, kalau aku mau membunuhmu, aku sudah mencekekmu dari tadi."
Mabelle mengendurkan kewaspadaannya terhadap Aira.
"Tidak perlu sok akrab denganku, kita tidak sedekat itu untuk berbagai minuman."
Aira menganggukan kepalanya lalu menautkan bibirnya ketika mendengar perkataan Mabelle.
"Baiklah, kalau begitu kita perlu berkenalan dulu agar kita bisa berbagi minuman." Aira menjulurkan tangannya ke arah Mabelle mencoba melupakan kejadian buruk sebelumnya. Lagipula untuk apa hidup berdampingan, tapi selalu bermusuhan seperti itu. Tidak ada yang akan diuntungkan atas pertikaian itu. Alih-alih keuntungan, yang ada mereka akan merasa terluka.
"Aku tidak terbiasa bersalaman dengan wanita dari planet lain." Mabelle menolak. Dia sangat gengsi, mana mungkin mau menerima Aira semudah membalikkan telapak tangannya. Meskipun Aira bersujud di kakinya, dia pun takut masih tidak bisa menerimanya.
"Kau menganggapku alien?!" Aira menarik tangannya yang mengambang di udara dengan menempelkan telapak tangannya yang satu lagi, seakan-akan Mabelle menyambut uluran tangannya. Dia sudah berniat baik, tapi malah diacuhkan seperti itu; membuat hati yang sudah melunak kembali bergejolak ingin berkelahi lagi dengan Mabelle.
"Ya!" Mabelle berterus terang. Penampilan buruk Aira membuatnya sakit mata. Bisa dibilang dia tidak memiliki kualifikasi untuk masuk ke dalam rumahnya. Bahkan jika dibandingkan dengan penampilan pelayan, Aira tidak ada apa-apanya. Pelayan rumahnya walaupun memakai seragam pelayan, tapi dibuat khusus oleh seorang desainer terkenal. Sementara Aira, pakaiannya sangat lusuh, warnanya sudah luntur dan berbulu.
"Lihat saja betapa buruknya penampilanmu saat ini!" Mabelle menunjuk ke arah pakaian Aira. Aira pun mengikuti arah pandangan Mabelle kepadanya lalu merutuki penampilannya sendiri.
Penampilan Aira dan Mabelle memang jauh berbeda seperti langit dan bumi. Aira bumi sementara Mabelle adalah langit yang sulit dijangkau oleh orang miskin seperti Aira.
Aira menarik air liurnya. Penampilannya saat ini memang menyakitkan mata. Pakaian yang dia gunakan saat ini adalah pakaian dia beberapa tahun yang lalu. Tinggal di panti asuhan memang begitu, tidak bisa berpenampilan bagus seperti orang lain.
Meskipun dia sering diberi pakaian oleh keluarga Marcell, dia tidak serta-merta memakainya sendiri. Dia harus memberinya pada yang lainnya agar yang lain tidak iri hati kepadanya.
