Anak Ini Bukan Punyamu!
"Maaf, Tuan, kita tidak saling kenal. Catatan medisku tidak ada hubungannya denganmu. Aku sedang terburu-buru, pesawatku sudah mau take off." Aira sedikit memohon, jengkel dengan sikap mendominasi pria itu. Apa haknya menghalangi jalannya.
Belum sempat Aira bangkit mau pergi, Mark sudah memberi perintah kepada sopir di depan. "Jalan!"
"Hei, Tuan, aku beneran tidak mengenalmu. Jangan menghalangi jalanku. Aku mau keluar." Aira mencoba membuka pintu, tapi pintu itu sangat kokoh, tidak dapat dia lawan sama sekali.
Pria di depannya pun mengabaikannya dan memejamkan matanya. Dasar pria egois! Aira memaki pria didepannya ini. Dia merogoh ponselnya di dalam tasnya mau menghubungi polisi untuk menghentikan pria di depannya ini.
"Letakkan ponselmu atau aku akan mematahkan tanganmu!" Mark memberi perintah. Namun, Aira mengabaikannya, mana mungkin disaat terancam seperti itu berdiam diri saja. Jalan dia untuk selamat adalah menelepon polisi.
"Kau sangat suka menantangku! Baik!"
Setelah pria itu berkata, ponsel ditangan Aira sudah direbut oleh pria itu lalu dilemparkan keluar jendela.
"Ponselku!" Aira menjerit. Ponsel satu-satunya sudah hilang. Berbulan-bulan lamanya menabung baru bisa membeli ponsel itu, dan sekarang dibuang oleh pria di depannya ini, bagaimana dia tidak naik darah. "Kembalikan ponselku!" Aira mengulurkan tangannya ke arah Mark.
"Diam!" Aira menelan air liurnya ketika pria itu membentaknya.
Aira duduk meringkuk sangat ketakutan. Dia walau bagaimanapun masih mau hidup, terlebih ada kehidupan baru di dalam perutnya saat ini.
Anaknya ini, dia dapatkan dari pria malam itu. Wajahnya dia tidak mengingatnya lagi. Wajah pria brengsek sepertinya tidak boleh memengaruhi kehidupannya.
Aira yang tidak punya pengalaman pun tidak tahu bahwa berhubungan bisa membuat seorang bayi tumbuh di dalamnya. Apa itu obat kontrasepsi dia pun belum mengerti. Maka tumbuhlah benih kecil di dalam perutnya.
Jika mau menyalahkan orang, dialah yang harus disalahkan karena tidak mengerti dengan kehidupan orang dewasa.
Kini, dia menanggung akibatnya. Disisi lainnya dia juga merasa senang lantaran tidak hidup sebatang kara lagi. Dia berniat melahirkan bayi itu di luar negeri sekaligus melanjutkan studinya dengan bergantung kepada Kakak angkatnya untuk sementara waktu, sampai dia melahirkan. Setelah itu, Aira akan hidup mandiri bersama buah hatinya.
Aira curi-curi pandang memandang pria dingin di depannya ini.
"Kau harus bertanggungjawab dengan tiketku." Aira tidak lagi mengungkit masalah ponselnya, lagipula ponsel jelek miliknya itu sudah tidak bisa kembali. Maka dari itu, dia hanya perlu memastikan bisa terbang ke luar negeri. Dia yang miskin harus melanjutkan pendidikan jika mau hidup lebih baik. Demi anaknya dia akan berjuang sekuat tenaga.
"Apa kau tuli?!" Mark memelototi Aira karena wanita di depannya ini tidak juga diam. Aira di depan beringsut menepikan dirinya ke sudut jendela.
"Aku tidak tuli, kalau aku tuli bagaimana aku bisa menjawab pertanyaanmu itu?!" Aira mengepalkan tangannya. "Pokoknya kau harus bertanggungjawab dengan tiket penerbanganku." Aira tidak mau dirugikan 1% pun karena ulah Mark memaksanya pergi bersamanya.
"Diam atau aku akan menutup mulutmu itu!" Mark membentak Aira lagi. Dia benci dengan keributan yang dibuat oleh Aira. Dia harusnya pergi ke luar negeri mengurus bisnis. Demi mengurus masalah dengan wanita di depannya ini, barulah dia membatalkan semua pertemuan yang bernilai puluhan miliar.
"Aaaaaaaaaakh!" Aira tidak mau diam. Aira walaupun orang miskin juga tidak mau kehidupannya dimanipulasi oleh orang lain.
Mark tidak dapat menahan kesabarannya lagi. Detik berikutnya, Mark menarik tangan Aira. Aira tidak siap jatuh di atas pangkuan Mark. Diwaktu bersamaan, tangan Mark menarik dasinya lalu mengikat kedua tangan Aira di bagian belakangnya. Kemudian, menggunakan serbet di saku jasnya, Mark menutup mulut Aira.
Aira tidak bisa berkutik atau pun bersuara.
Mark mendorong Aira ke tempat semula setelah dia menutup mulut dan mengikat tangan Aira. Dia menepuk-nepuk tangannya berulang kali membersihkan tangannya seakan menganggap bahwa Aira adalah kotoran debu.
Aira mendengus kesal karena dianggap kotoran debu. Dalam keadaan terikat seperti itu, Aira tetap berusaha melepaskan diri, dia membungkukkan badannya menggunakan kakinya melepaskan serbet yang menutup mulutnya.
Pria di depannya mengepalkan tangan, memejamkan mata lalu menghela napas kasar. Dia tidak menduga wanita di depannya ini bisa melepaskan penutup mulutnya hanya dalam beberapa detik saja.
Aira sejak kecil sudah memiliki kehidupan keras, di sekolah pun dia kerap mendapatkan bulian dari anak orang kaya. Jika tidak pintar menjaga diri mungkin sekarang dia tinggal nama saja.
"Lepaskan ikatan tanganku! Aku bukan tawananmu!" Aira menendang kaki ke arah pria di depannya ini. Jarak cukup jauh membuat kakinya hanya bisa menyentuh ujung celana Mark.
Pria di depannya membuka mata. Tatapan dinginnya mengingatkannya pada tatapan pria sebulan yang lalu.
Aira menelan air liurnya lalu mengerjapkan matanya berulang kali memandang pria di depannya. "Kau-" Lidahnya terasa kelu untuk mengucapkan nama pria itu.
Mark menyeringai, sudut bibirnya terangkat ke sudut kanan atas. "Kenapa?!"
Aira menggelengkan kepalanya.
"Sekarang sudah mengingat siapa aku?!" Marak bertanya dengan wajah menyeramkan lebih menyeramkan dari malam itu. Waktu itu Aira tidak jelas melihat wajahnya, ketika melihat jelas wajahnya membuat dia bergidik negeri beberapa kali lipat.
"Anak ini bukan punyamu. Dia adalah anakku dengan pria lainnya!" Aira spontan berkata ketika tahu tujuan Mark pasti ingin mengambil anak di dalam perutnya.
Mark tidak percaya pada perkataan tanpa bukti. "Buktikan kepadaku siapa ayahnya itu. Bawa pria itu kepadaku baru aku percaya."
"Apa hakmu?! Lagipula kau bukan suamiku lagi!"
"Kata siapa?!"
"Kataku barusan! Sebulan yang lalu aku sudah tanda tangan surat perceraiannya." Aira mengingatkan Mark akan perkataan kejamnya sebulan lalu; menyuruhnya menandatangani surat perceraian.
"Apa dengan satu pihak saja sudah bisa bercerai? Kacau sekali peraturan negeri ini!" seringai Mark kian menyeramkan.
"Jadi, kau, belum tanda tangan?!" Aira membelalak mata. Dia tidak mau menjadi istri dari pria di depannya ini.
Mark diam saja, untuk apa dia menjawab pertanyaan bodoh seperti itu. Dia malah berkata dengan sangat kejam: "Sebelum kau membuktikan siapa Ayah dari anak itu, kau harus tinggal di rumahku."
"Tidak! aku harus melanjutkan pendidikanku di luar negeri." Aira langsung menolak. Dia tidak punya kewajiban mematuhi perkataannya.
"Aku anggap itu pengakuanmu bahwa itu adalah anakku." Mark langsung menyimpulkan secara sepihak. Muda baginya untuk mengetahui itu anaknya atau bukan. Selama 1 bulan ini mata-matanya terus mengawasi Aira kalau-kalau menemui Marcell di luar. Hasil laporan mata-matanya mengatakan bahwa Aira tidak pernah keluar dari panti asuhan selama sebulan ke belakang kecuali 1 kali pergi ke rumah sakit memeriksa kondisi kesehatannya. Dan dia menyadari bahwa hari itu, wanita di depannya ini melakukan tes kehamilan.
"Terserah padamu mau berkata jujur atau tidak. Aku tidak peduli! Yang paling penting aku tidak akan membiarkan benih milikku berkeliaran di luar, apalagi bersama wanita bodoh sepertimu ini."
Mark menjelaskan semua maksud dan tujuannya. Dia tidak akan membuat anaknya bersama orang lain. Apalagi bersama dengan Aira yang tidak memiliki kualifikasi untuk merawat seorang anak di sisinya. Mungkin secara hubungan psikologis dia bisa memercayainya sedikit, tapi bagaimana dengan finansial untuk menghidupi anaknya nanti. Apalagi wanita di depannya ini sudah menolak kompensasi yang dia berikan sebelumnya, membuat dia harus ekstra keras untuk mengambil anak itu darinya.
