Bab 3 Kecurigaan Darren
Sore itu, langit mulai memerah. Carissa berjalan cepat keluar dari gedung Alvaro Corporation, map kerjaannya digenggam erat. Ia hanya ingin segera sampai rumah, menjemput ketiga anaknya dari penitipan.
Di seberang jalan, sebuah mobil hitam mengilap berhenti. Darren duduk di dalamnya, baru saja selesai menghadiri rapat luar. Pandangannya tanpa sengaja tertuju pada sosok wanita yang keluar dari gedung—Carissa.
Alisnya sedikit terangkat. “Nona Carissa?” gumamnya pelan.
Ia berniat memalingkan wajah, tapi langkah Carissa terhenti karena tiga bocah kecil berlari menghampirinya.
“Mommy!” seru mereka kompak.
Carissa berjongkok cepat, membuka pelukan hangat untuk anak-anaknya. Tawa renyah terdengar, penuh kehangatan. Ia mengusap rambut mereka satu per satu, wajahnya berubah lembut, jauh berbeda dari ekspresi kaku di kantor.
Darren tanpa sadar mencondongkan tubuh, memperhatikan dari balik kaca mobil. Ada sesuatu yang menohok dadanya melihat pemandangan itu—wanita yang sepanjang hari terlihat menutup diri, kini tersenyum begitu tulus.
Dan anak-anak itu… tiga bocah mungil dengan mata yang—entah kenapa—mengingatkannya pada sesuatu.
Namun sebelum pikirannya terlalu jauh, supirnya membuka pintu. “Tuan, kita berangkat?”
Darren tersadar, segera kembali memasang wajah datarnya. “Ya. Jalan.”
Mobil melaju perlahan, tapi pandangan Darren masih menoleh sebentar ke belakang, menatap sosok Carissa yang menggandeng tangan ketiga anak itu.
Siapa sebenarnya wanita ini…?
Mengerti, aku tuliskan langsung adegan malam hari di rumah Darren tanpa kalimat pengantar semacam baik aku bla-bla, jadi langsung masuk ke cerita:
---
Malam itu Darren duduk di ruang kerja rumahnya. Lampu meja menyala temaram, laptop terbuka di hadapannya. Namun fokusnya terpecah. Laporan keuangan yang biasanya mudah ia telaah kini hanya deretan angka kosong di matanya.
Yang muncul justru bayangan tadi sore—Carissa berjongkok memeluk tiga bocah kecil. Senyum tulusnya, tawa anak-anak itu, dan terutama sorot mata mereka.
Mata abu-abu. Persis dirinya.
Darren menutup laptop dengan kasar. Tangannya meremas pelipis, frustrasi karena pikirannya terus berputar pada hal yang seharusnya tak penting.
“Tidak masuk akal. Dunia terlalu luas untuk kebetulan seperti itu.”
Namun semakin ia mencoba menyangkal, semakin jelas detail itu muncul. Senyum anak laki-laki yang mirip dengan senyum masa kecilnya di cermin. Gadis kecil yang matanya berkilau persis seperti ibunya dulu.
Darren berdiri, berjalan ke jendela besar, menatap langit malam kota yang penuh lampu. Rasa penasaran menggerogoti hatinya, sesuatu yang jarang ia rasakan.
“Nona Carissa… apa yang kau sembunyikan dariku?”
Pagi itu kantor Alvaro Corporation sudah sibuk. Carissa melangkah masuk dengan hati-hati, menunduk setiap kali melewati rekan kerja yang sibuk sendiri.
Belum sempat duduk, suara berat terdengar dari belakang.
“Masuk ke ruanganku.”
Carissa tersentak. Darren berdiri di ambang pintu kantornya, tatapannya datar tapi penuh tekanan. Tanpa banyak pilihan, Carissa mengikuti langkahnya.
Di dalam, Darren bersandar di kursinya, menautkan jemari di atas meja.
“Kau terlihat gugup. Ada yang kau sembunyikan?”
Carissa menahan napas. “Tidak, Tuan. Saya hanya… butuh menyesuaikan diri.”
Tatapan Darren menajam. “Aku tidak suka jawaban menggantung. Kalau kau ingin bertahan di sini, jangan pernah berbohong padaku.”
Carissa menunduk, meremas jemarinya sendiri di pangkuan. Dadanya berdegup kencang, takut setiap kata yang keluar akan membuka rahasia besar yang selama ini ia lindungi.
Keheningan panjang tercipta. Darren menyipitkan mata, menimbang-nimbang.
“Baiklah. Anggap saja aku percaya untuk sekarang. Keluar, dan siapkan jadwal rapat sore.”
Carissa buru-buru berdiri, menunduk sopan, lalu keluar dengan langkah cepat.
Begitu pintu tertutup, Darren bersandar dalam-dalam ke kursinya. Matanya tetap menatap pintu yang baru saja dilewati Carissa.
“Wanita itu… jelas menyembunyikan sesuatu.”
Carissa menunduk di mejanya, berusaha menenangkan napas. Jemarinya sibuk membuka laptop, padahal layar masih kosong. Bayangan Darren di ruangannya tadi terus menghantui. Sorot mata pria itu seperti menembus pikirannya, seakan hanya menunggu waktu sebelum semua rahasia terbongkar.
Siang menjelang, Carissa membawa map laporan ke ruang Darren. Ia mengetuk perlahan, lalu masuk setelah mendengar suara singkat, “Masuk.”
Darren duduk dengan jasnya yang rapi, pandangan tajamnya langsung tertuju pada Carissa.
“Duduk.”
Carissa terhenti sejenak, lalu duduk hati-hati di kursi seberang. Map laporan ia letakkan di atas meja.
Darren tidak segera mengambilnya. Sebaliknya, ia menyilangkan tangan, menatap Carissa tanpa berkedip.
“Kenapa aku merasa kau selalu gelisah setiap kali berada di dekatku?”
Carissa menelan ludah, jemarinya mengerat di pangkuan. “Saya hanya takut melakukan kesalahan, Tuan.”
Darren mendekat sedikit, suaranya lebih rendah.
“Bukan itu. Kau seperti sedang berusaha menutupi sesuatu.”
Carissa tercekat. Matanya buru-buru menunduk. “Saya tidak mengerti maksud Tuan.”
Keheningan merayap. Hanya terdengar detik jam dinding. Darren akhirnya mengambil map laporan, membukanya sekilas, lalu menutup kembali.
“Kerjamu bagus.” Ia berdiri, menghampiri jendela besar di belakang meja. “Tapi aku akan lebih memperhatikanmu mulai sekarang.”
Carissa tersentak, tubuhnya menegang. Kata-kata itu bukan sekadar ancaman profesional—ada sesuatu di balik tatapan Darren yang membuatnya panik.
Sementara Darren tetap menatap keluar jendela, pikirannya berputar. Bayangan senyum tiga bocah kemarin sore kembali terlintas, dan entah mengapa, ia semakin yakin Carissa bukan sekadar karyawan biasa.
Jam istirahat siang tiba, suasana kantor mulai lengang karena sebagian besar karyawan keluar menuju kafe sekitar gedung. Carissa tetap duduk di mejanya, membuka kotak bekal sederhana yang tadi pagi ia siapkan. Nasi, sayur bening, dan ayam goreng kecil—cukup untuk mengganjal perutnya sambil tetap hemat demi anak-anak di rumah.
Ia menunduk, menyendok makanan pelan-pelan, berharap tidak menarik perhatian siapa pun. Namun langkah sepatu kulit terdengar mendekat. Carissa buru-buru menutup kotaknya setengah, menoleh, dan hampir menjatuhkan sendok saat melihat Darren berdiri di dekat mejanya.
“Kau tidak keluar makan?” tanyanya datar.
Carissa menegakkan tubuh. “Saya sudah bawa bekal, Tuan.”
Tatapan Darren jatuh pada kotak makan itu. Sesaat ia terdiam, lalu mengangkat alis. “Bekal sederhana… kau selalu begini?”
Carissa menggenggam sendok erat. “Iya, Tuan. Saya terbiasa.”
Darren menunduk sedikit, menatap wajah Carissa lebih lama dari seharusnya. “Entah kenapa, aku merasa kau menyembunyikan banyak hal di balik kesederhanaanmu.”
Carissa buru-buru menunduk, menahan napas. “Saya hanya ingin bekerja dengan baik. Tidak ada yang lain.”
Hening. Tatapan Darren menusuk, tapi akhirnya ia hanya mengangguk singkat.
“Jangan sampai ketahuan kau berbohong. Aku tidak suka karyawan yang seperti itu.”
Tanpa menunggu jawaban, Darren melangkah pergi menuju lift, meninggalkan Carissa dengan dada berdebar hebat. Sendok di tangannya bergetar, dan nafsu makannya menguap begitu saja.
Di kejauhan, Darren melangkah masuk ke lift, wajahnya tetap datar. Namun dalam hatinya, kalimat yang tak terucap terus bergaung: Wanita itu… dan tiga anak yang kulihat… aku akan mencari tahu.
