Bab 4 Kebohongan Darren
Beberapa hari kemudian, suasana rumah mewah keluarga Darren jauh lebih riuh dari biasanya. Ruang tamu penuh dengan kerabat yang sengaja diundang oleh ibunya. Para tante dan sepupu sudah duduk manis sambil membicarakan kabar pernikahan yang semakin lama semakin ditunda oleh Darren.
Ibunya menatap Darren tajam sambil menyilangkan tangan di dada.
“Kau sudah cukup umur, bahkan terlalu sibuk dengan perusahaan. Sampai kapan kau berniat menunda? Kami semua sudah menyiapkan calon yang pantas.”
Darren duduk dengan wajah dingin, menyandarkan tubuhnya ke sofa. “Aku tidak butuh perjodohan. Hidupku baik-baik saja tanpa itu.”
Suasana seketika menegang. Ayahnya, yang jarang ikut campur, akhirnya angkat bicara dengan suara berat.
“Darren, ini bukan hanya tentangmu. Nama keluarga dan keberlangsungan perusahaan juga dipertaruhkan. Kau harus memikirkan garis keturunan.”
Para kerabat ikut menyetujui, beberapa mulai menyebut nama gadis dari keluarga terpandang yang sudah dikenalkan sebelumnya.
Darren mengangkat alis, senyum tipis menyungging di wajahnya, senyum yang lebih mirip ancaman. “Jadi kalian mau memaksaku menikah dengan seseorang yang bahkan tidak kucintai, hanya demi status?”
Ibunya mengetukkan jari di meja. “Ya, kalau itu perlu. Kau terlalu keras kepala. Kami tidak akan diam saja melihatmu buang-buang waktu.”
Darren berdiri, menatap semua orang dengan tatapan tajam. “Aku tidak akan menikah hanya karena paksaan. Aku akan menikah kalau aku sendiri yang memilih, dan saat itu tiba, tidak ada satu pun yang bisa menghalangi.”
Ia lalu meninggalkan ruang tamu tanpa menoleh, meninggalkan keluarganya yang terdiam antara kesal dan tak berdaya. Namun satu hal jelas—tekanan itu tidak akan berhenti sampai mereka berhasil memaksa Darren.
Di lorong menuju kamarnya, Darren mengepalkan tangan. Mereka pikir bisa menundukkan aku dengan cara itu? Tidak akan. Tapi… mengapa bayangan wanita itu, Carissa, selalu muncul saat topik pernikahan dibicarakan?
Ruang tamu masih tegang ketika Darren kembali melangkah masuk, kali ini dengan wajah tenang namun tatapan tajam. Semua mata langsung tertuju padanya. Ibunya hendak membuka suara lagi, tapi Darren mendahului.
“Aku sudah punya calon.”
Suara Darren membuat semua orang terperanjat. Ibunya membelalak. “Apa? Siapa? Kenapa kau tidak pernah bilang?”
Darren menyelipkan kedua tangannya ke saku celana, lalu dengan tenang menyebut satu nama yang membuatnya sendiri kaget setelah terucap.
“Carissa. Dia tunanganku.”
Kejutan melintas di wajah semua orang. Beberapa kerabat berbisik-bisik, mencoba mengingat siapa nama itu. Ayah Darren menyipitkan mata. “Carissa? Dari keluarga mana? Aku tidak pernah mendengar namanya.”
Darren mengangkat dagu, senyum sinis menghiasi wajahnya. “Tidak semua orang harus kalian kenal. Yang jelas, aku sudah menjatuhkan pilihan. Dia wanita yang kucintai, dan tidak ada yang bisa memaksaku menikahi orang lain.”
Ibunya hampir tercekik mendengar pengakuan itu. “Kau… kau tidak main-main, kan? Jangan mempermalukan keluarga dengan membawa perempuan sembarangan!”
Tatapan Darren mengeras. “Aku tidak pernah main-main soal ini. Jadi berhentilah mendesak. Kalau kalian ingin melihatku menikah, maka hanya dengannya.”
Suasana membeku. Para kerabat terdiam, sebagian terlihat terkejut, sebagian lagi tampak kecewa. Namun Darren sama sekali tidak mundur.
Begitu percakapan berakhir dan para tamu mulai beranjak pulang, Darren masuk ke kamarnya sendiri. Ia menutup pintu dengan keras, lalu menyandarkan tubuh ke daun pintu sambil mengusap wajah.
Carissa… apa yang baru saja aku lakukan?
Keesokan harinya, suasana kantor terasa lebih sunyi dari biasanya. Carissa sedang sibuk menata berkas di mejanya ketika pintu ruang Darren terbuka. Suara berat itu terdengar jelas.
“Masuk.”
Carissa menelan ludah, buru-buru membawa map yang ada di tangannya dan melangkah masuk. Darren duduk di kursinya, menatap layar laptop, namun begitu Carissa berdiri di depannya, ia menutup laptop itu perlahan.
“Duduk.”
Carissa menuruti, meski jantungnya berdegup kencang. Darren bersandar, menautkan jemari, tatapannya menusuk.
“Kemarin aku menyebut namamu di depan keluargaku,” ucap Darren tanpa basa-basi.
Carissa mengerutkan kening. “Menyebut nama saya?”
Darren mencondongkan tubuh sedikit. “Aku bilang pada mereka… kau tunanganku.”
Carissa langsung terbelalak. “A—Apa?! Kenapa bisa begitu, Tuan?”
Darren tersenyum tipis, dingin. “Karena itu satu-satunya cara menghentikan mereka memaksaku menikah dengan wanita yang tidak kuinginkan. Jadi mulai sekarang, kau akan ikut permainan ini.”
Carissa berdiri spontan, wajahnya pucat. “Tidak mungkin! Saya hanya karyawan di sini. Bagaimana mungkin saya—”
“Duduk.” Suara Darren tajam, membuat Carissa terdiam. “Kau hanya perlu menurut. Anggap saja ini kesepakatan. Aku membutuhkannya, dan aku tahu kau tidak ingin kehilangan pekerjaan ini.”
Carissa menggenggam jemarinya yang bergetar. Bagaimana bisa hidupku makin rumit? Anak-anak… kalau mereka tahu—
Tatapan Darren melunak sepersekian detik saat melihat wajah Carissa yang jelas panik. Tapi suaranya tetap tegas. “Persiapkan dirimu. Minggu depan aku akan membawamu makan malam bersama keluargaku. Mereka harus percaya kalau kau benar-benar calon istriku.”
Carissa nyaris tak bisa bernapas. Dunia seakan jungkir balik, dan ia hanya bisa duduk kaku di depan pria yang kini dengan seenaknya menyeretnya ke dalam kebohongan besar.
Carissa melangkah keluar dari ruangan Darren dengan wajah pucat pasi. Pintu tertutup di belakangnya, tapi gema kata-kata Darren masih terasa di telinganya: “Minggu depan aku akan membawamu makan malam bersama keluargaku.”
Tangannya bergetar saat menyentuh gagang meja kerjanya. Ia duduk perlahan, menunduk, berusaha mengatur napas. Jantungnya berdegup begitu keras seakan semua orang bisa mendengarnya.
Rekan kerja yang duduk tak jauh sempat melirik. “Kamu nggak apa-apa, Carissa? Wajahmu pucat banget.”
Carissa buru-buru menggeleng, memaksakan senyum tipis. “Aku cuma… agak pusing.”
Ia menunduk, membuka kembali laptopnya. Namun matanya tak bisa fokus membaca huruf-huruf di layar. Otaknya penuh dengan bayangan anak-anaknya di rumah. Kalau kebohongan ini terbongkar, bagaimana nasib mereka? Bagaimana kalau Darren tahu kebenaran?
Tangannya refleks menyentuh perutnya, seakan masih merasakan jejak masa lalu saat ia harus membesarkan ketiganya sendirian.
Carissa menutup mata sejenak, lalu menarik napas panjang. “Aku harus hati-hati. Aku nggak boleh sampai mereka semua tahu.”
Namun dalam diam, ketegangan semakin menggumpal di dadanya. Sesederhana apapun ia mencoba menolak, kenyataan tetap sama: Darren sudah menariknya masuk ke dalam lingkaran hidupnya, dan tak ada jalan keluar yang mudah.
Jam kerja baru lewat setengah hari ketika Carissa mengetuk pintu ruang Darren, meminta izin dengan suara hati-hati.
“Saya tidak enak badan, bolehkah saya pulang lebih awal, Tuan?”
Darren menatapnya tajam, seakan sedang membaca kebohongan di balik wajah pucat itu. Tapi ia hanya mengangguk singkat. “Pergi. Besok pastikan kau kembali bekerja.”
Carissa menunduk sopan, lalu segera keluar. Ia berjalan cepat melewati lobi, merasakan udara luar menampar wajahnya. Tak ada lagi yang lebih ia butuhkan selain melihat tiga buah hatinya.
Sesampainya di rumah, begitu pintu dibuka, suara riang langsung menyambut.
“Mamaaa!”
Tiga anak kembarnya berlari bersamaan, kaki-kaki mungil mereka menghentak lantai kayu. Carissa langsung berjongkok, merentangkan tangan, dan tubuh kecil mereka menabraknya dengan pelukan hangat.
Senyum lebar muncul di wajah Carissa, berbeda jauh dari ekspresi tegangnya di kantor. “Mama kangen banget sama kalian.”
Seorang bocah laki-laki dengan pipi chubby menatapnya penuh ingin tahu. “Mama kenapa pulang siang? Biasanya sore baru pulang.”
Carissa mengusap kepala mereka satu per satu. “Mama mau cepat-cepat ketemu kalian. Mama capek di kantor, tapi kalau lihat kalian, capeknya hilang.”
Ketiga anak itu terkikik bersamaan, lalu berebut bercerita tentang permainan mereka sejak pagi. Carissa duduk di lantai, membiarkan mereka memanjat ke pangkuannya.
Hatinya menghangat, tapi sesaat kemudian, keresahan kembali menyelinap. Bagaimana kalau kebohongan Darren terbawa sampai ke rumah? Aku tidak boleh sampai anak-anak terlibat…
Ia memeluk mereka lebih erat, seolah ingin melindungi dari badai besar yang sudah mulai mendekat.
