Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 2 Bos Baru

Baik, aku lanjutkan adegan malam harinya di rumah Carissa ya, dengan nuansa hangat bersama anak-anak, tapi juga ada rasa cemas yang ia sembunyikan:

Malam itu, rumah kecil Carissa dipenuhi suara tawa. Tiga bocah kembar itu—Calvin, Celine, dan Callista—berlarian di ruang tamu, memperebutkan boneka beruang yang sudah agak usang.

Carissa hanya bisa tersenyum samar, duduk di sofa sambil melipat seragam sekolah mereka. Namun sesekali, pikirannya melayang pada tatapan Darren siang tadi. Tatapan yang menusuk, seolah bisa membaca rahasia hatinya.

“Mommy, tadi siapa pria tinggi di depan gedung itu?” tanya Calvin polos sambil memeluk boneka.

Carissa tersentak kecil, lalu tersenyum menenangkan. “Ah, itu… bos Mommy di kantor baru. Kalian nggak perlu khawatir.”

“Dia kelihatan galak,” celetuk Celine sambil manyun. “Aku takut dia marahin Mommy nanti.”

Carissa terkekeh, meski dalam hatinya sama sekali tidak tenang. “Bos biasanya memang begitu. Tapi Mommy janji akan kerja keras, supaya kalian bisa terus sekolah dan makan enak.”

Callista, si bungsu, naik ke pangkuan ibunya dan memeluk erat. “Mommy jangan sedih ya. Kita selalu sama Mommy.”

Air mata Carissa hampir jatuh mendengar kalimat sederhana itu. Ia membelai rambut putrinya dengan lembut. Aku tidak boleh goyah. Tidak boleh membiarkan siapa pun tahu rahasia kita, terutama pria itu.

Di luar jendela, hujan turun perlahan. Carissa menatap tiga wajah mungil yang begitu mirip… dan dalam benaknya, terlintas kembali sorot mata Darren yang terasa terlalu serupa dengan mata mereka.

Ia menggigit bibir. Ini hanya kebetulan. Hanya kebetulan.

Tapi hatinya tak berhenti berdebar—seolah menyiapkan dirinya untuk badai yang sebentar lagi datang.

Baik, aku lanjutkan ke adegan pagi pertama Carissa resmi bekerja di kantor Darren. Nuansanya dibuat tegang, ada interaksi dingin tapi perlahan memancing rasa penasaran:

---

Pagi itu, Carissa berdiri di depan cermin kecil di rumahnya. Ia merapikan blazer sederhana yang baru saja dibelinya dari hasil tabungan. Ketiga anaknya masih terlelap, wajah polos mereka membuat Carissa terpaksa menundukkan kepala sejenak, menyelipkan kecupan di dahi mereka satu per satu.

“Mommy pergi kerja dulu, ya. Kalian harus jadi anak baik.”

Ia tersenyum samar, lalu meninggalkan rumah dengan langkah mantap meski hatinya penuh kegelisahan.

---

Di kantor Alvaro Corporation, suasana begitu sibuk. Semua karyawan berjalan cepat, membawa map, mengetik dengan wajah tegang. Carissa menarik napas panjang, mencoba menyesuaikan diri.

“Selamat pagi, Nona Carissa.” Seorang staf HR menyapanya. “Anda akan langsung melapor pada CEO. Tuan Alvaro menunggu di ruangannya.”

Jantung Carissa berdegup keras. Ia merasa napasnya hampir tercekat. Baru hari pertama, dan ia sudah harus berhadapan langsung dengan pria yang berpotensi mengguncang hidupnya.

---

Pintu ruang CEO terbuka. Darren duduk di balik meja besar, menandatangani beberapa dokumen dengan ekspresi serius. Tatapannya langsung terangkat saat Carissa masuk.

“Pagi,” ucapnya datar. “Tepat waktu. Bagus.”

Carissa menunduk hormat. “Selamat pagi, Tuan.”

Darren memperhatikan gerak-geriknya sejenak, lalu meletakkan pulpen. “Mulai hari ini kau akan berada di bawah pengawasanku langsung. Aku tidak suka kesalahan. Jangan membuatku menyesal sudah menerimamu.”

Suara dinginnya membuat Carissa menelan ludah. “Saya mengerti, Tuan. Saya akan berusaha sebaik mungkin.”

Namun yang membuat Carissa gelisah adalah tatapan pria itu—tajam, meneliti, seolah ingin menembus dinding rahasia yang ia bangun bertahun-tahun.

“Aku tidak suka orang yang menyembunyikan sesuatu dariku,” lanjut Darren tiba-tiba.

Carissa terhenyak, buru-buru menunduk. “S-saya tidak menyembunyikan apa pun, Tuan.”

Darren mengulum senyum tipis, tapi sorot matanya tetap penuh tanda tanya.

“Kita lihat saja nanti.”

Baik aku lanjutkan adegan di kantor, dengan nuansa Darren diam-diam memperhatikan Carissa, merasa ada yang berbeda darinya, tapi ia belum tahu apa.

---

Hari itu berjalan padat. Carissa sibuk mencatat agenda rapat, menyalin dokumen, hingga menyiapkan kopi untuk Darren. Ia bekerja dengan penuh hati-hati, memastikan tidak ada satu pun kesalahan di hari pertamanya.

Namun setiap kali ia lewat, Darren selalu melirik. Bukan sekadar melirik seorang karyawan baru—melainkan menatap lebih lama dari seharusnya, seolah ingin menemukan jawaban dari pertanyaan yang terus mengganggunya.

Gerak-geriknya sederhana, tapi ada sesuatu yang memikat. Carissa tidak pernah berlebihan bicara, wajahnya selalu terlihat serius, namun sesekali senyum tipis melintas saat ia fokus bekerja. Anehnya, itu membuat Darren merasa asing sekaligus… akrab.

Di sela rapat, Darren bersandar di kursinya, memperhatikan Carissa yang duduk di ujung meja dengan laptop di pangkuannya. Jemarinya cekatan mengetik, rambutnya jatuh sedikit menutupi pipi.

“Kenapa aku merasa pernah melihatnya…,” gumam Darren dalam hati.

Seorang direktur yang duduk di sampingnya menyentuh bahunya pelan, membuat Darren tersadar. “Tuan Alvaro, bagaimana keputusan soal kontrak itu?”

Darren kembali menegakkan badan, wajahnya kembali dingin. “Setujui. Tapi awasi detailnya.”

---

Sementara itu, Carissa bisa merasakan tatapan Darren sesekali mengarah padanya. Jantungnya berdegup cepat. Kenapa dia memperhatikanku seperti itu? Jangan sampai dia curiga…

Ia meremas ujung roknya di bawah meja, lalu berusaha fokus pada layar laptop. Namun bayangan sorot mata tajam pria itu membuatnya semakin gelisah.

---

Siang menjelang, Darren berdiri dan meninggalkan ruangan rapat. Saat melewati Carissa, ia berhenti sejenak, menunduk sedikit.

“Kerjamu rapi,” ucapnya singkat.

Carissa terperanjat, menoleh dengan wajah gugup. “T-terima kasih, Tuan.”

Tatapan mereka bertemu sepersekian detik. Sorot mata abu-abu Darren membuat Carissa hampir kehilangan kata.

Sampai akhirnya Darren berjalan lagi, meninggalkannya dengan dada yang bergemuruh.

Jangan bodoh, Carissa. Jangan pernah biarkan dia tahu kebenaran…

Baik, aku tuliskan adegan siang hari di kantor setelah rapat, suasananya makin intens tapi tetap belum sampai terbongkar rahasia:

---

Jam makan siang tiba, kantor perlahan sepi karena sebagian besar karyawan berhamburan keluar menuju kantin atau kafe sekitar gedung. Carissa masih duduk di mejanya, menatap bekal sederhana dalam kotak makan yang ia bawa dari rumah—nasi, tumis sayur, dan telur dadar.

Ia tidak berniat keluar. Selain menghemat, ia juga tak ingin berbaur terlalu banyak. Semakin ia dekat dengan orang, semakin besar risiko rahasianya terbongkar.

Namun suara berat itu tiba-tiba terdengar.

“Kenapa tidak keluar makan?”

Carissa tersentak. Kotak makannya hampir jatuh dari tangan. Ia mendongak—Darren berdiri di samping mejanya, jas hitamnya terlipat rapi, wajahnya tetap dingin tapi sorot matanya… penasaran.

“S-saya sudah bawa bekal, Tuan.” Carissa mencoba tersenyum sopan. “Lebih praktis.”

Darren mengamati bekal sederhana itu dengan ekspresi sulit ditebak. “Kau berbeda dari sekretaris-sekretarisku yang lain.”

Carissa menunduk cepat. “Mungkin karena saya memang orang biasa, Tuan.”

Darren menyilangkan tangan di dada. “Orang biasa… tapi entah kenapa aku rasa kau menyembunyikan sesuatu.”

Ucapan itu membuat jantung Carissa berdegup kencang. Ia buru-buru menutup kotak makannya. “Saya… saya hanya ingin bekerja dengan baik. Itu saja.”

Hening sesaat. Darren masih menatapnya dalam, lalu mendekat sedikit. “Pastikan kata-katamu benar, Nona Carissa. Aku tidak suka kejutan.”

Tanpa menunggu jawaban, ia berbalik pergi. Aroma parfum maskulinnya masih tertinggal, membuat Carissa menutup mata sesaat, menahan napas.

Ya Tuhan… jangan biarkan dia tahu…

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel