Bab 5 - One Night Stand
"Kau disini sudah bekerja selama 2 bulan, namun sebulannya, kau nekat mengambil cuti begitu lama, bukankah kau sudah mendapatkan gaji buta di rumah sakitku," ucapnya terdengar menyakitkan sampai menusuk perasaan Riana.
Riana tersenyum hambar atas ucapan Pavlo seperti menyinggungnya, permalukan dirinya. "Tidak apa-apa tuan, jika kau ingin mengambil gajiku lagi."
Pavlo membaca seluruh identitas Riana di layar laptopnya. "Kau sangatlah cerdas dalam ekademi kedokteran. Tapi... aku tidak membutuhkan dirimu lagi, kecuali..."
Riana mengangkat alisnya menunggu.
"Be my one night stand lover, that's better," jelasnya dengan suara angkuh dan juga dingin.
Tawa Riana pecah, sampai menggema di dalam sana, namun tawanya tergantikan dengan wajah seriusnya bersamaan giginya yang saling bergesekan, terdengar ngilu di pendengaran Pavlo. Ia berkata, "I'm not a whore, sir," jelasnya tidak mau harga dirinya rusak.
"Jika begitu, silahkan pergi, saya menolak anda, bekerja dirumah sakitku," usirnya tanpa iba hati.
Riana terperangah mendengarnya. 'Bos macam apa dia, apa semua ahli medis yang bekerja disini harus dicicipi tubuhnya lebih dulu? Benar-benar aneh rumah sakit ini. Ini lebih gila dari pada rumah sakit jiwa,' gerutu Riana dalam hati.
"Baik, saya undur diri Sir!" Riana tidak berpikir dua kali lagi, dia juga tidak butuh pekerjaan paru waktunya di rumah sakit ini, katakan saja dia sengaja mengambil dua pekerjaan sekaligus sebab dia begitu boros dan juga royal merawat tubuhnya agar terlihat lebih sempurna dari pada artis-artis cantik dan para putri bangsawan, ia ingin menandangi semua wanita dijagat raya. Ia ingin terlihat sempurna, sangat cantik dan juga menawan.
Andaikan saja Simsom tidak membatasi uangnya ia tidak akan mungkin mengambil profesi tambahan sebagai dokter dinegara ini, dan tetap fokus menjalankan misi dari Negaranya. Tapi apa sekarang, skincare-nya saja seharga ratusan juta pound sterling. Tidak ada juga yang mau menikahinya sebab pria lain tidak sanggup menutupi segala kebutuhannya. Hanya satu pria yang sanggup menutupi kebutuhannya, yaitu menikahi Raja, itu masuk akal.
Yustine yang awalnya menerima Riana bekerja sama, hanya bisa menghela napas. Dia tidak mengerti, bagaimana jalan pikiran Pavlo saat ini, padahal rumah sakitnya sangat membutuhkan dokter tambahan. Tapi apa sekarang, Pavlo malah sengaja mengajak Riana untuk bercinta dengannya hanya karna propesi pekerjaan, demi menuntaskan hasratnya, ego dan ambisinya, ini sangat konyol baginya. Pavlo menginjak harga diri seorang dokter yang hebat akan medisnya.
Pavlo menatap dingin punggung Riana yang pergi tanpa berpikir dua kali padanya. Entah apakah dia sudah tahu siapa Riana sebenarnya? Atau apakah ini hanyalah feelingnya saja.
Yustine bergegas duduk di hadapan Pavlo dan bertanya padanya, "Pav... kenapa kau seperti ini?"
Pavlo menaikkan kedua kakinya keatas meja, lalu menyalakan rokoknya dengan pematik api. Ia menghisapnya dalam-dalan lalu menghembuskan asapnya ke udara.
"Kau tanya kenapa?! Pakai akal sehatmu Yustine! Kau seharusnya tidak sembarangan menerima warga asing bekerja disini. Terlebih lagi ... dia itu dari LOSS ANGELES, Kalifornia," kata Revano yang berjalan ia baru saja keluar dari ruangan tersembunyi.
"Oke, gua salah. Tapi yang masih gua bingung, kenapa Pavlo ingin menidurinya?" Tunjuk Yustine pada wajah Pavlo.
"What?!" Revano ikut heran mendengarnya, ia lalu melihat Pavlo yang tampak begitu santai. Revano bisa menduga Pavlo saat ini sedang mabuk sehingga ia sejak tadi tidak beranjak dari kursi kekuasaannya. "Pav, are you serious?" Revano menggelengkan kepala, itu tidak mungkin karena Pavlo impoten.
~~~
Sasa sedang memasak di dapur, tiba-tiba ia mendengar seseorang memencet kode apartemennya, saat ia datang untuk melihat dia kaget. "Riana..." pekiknya.
"Aku dipecat!" Riana melempar tasnya di kursi sofa, lalu menghempaskan bokongnya di sofa sambil memukul dahinya akibat sakit kepala.
Sasa duduk di sebelahnya. "Baru sehari kau bekerja, tapi kenapa bisa kau dipecat begitu saja. Apa mereka tidak memandang kehebatanmu ini?"
"Aku dipecat, sebab aku menolak ajakan hubungan sex dengan bos-ku," sahutnya tanpa rasa malu.
Sasa tertawa cekikikan mendengarnya. "CEO macam apa itu?" Sasa masih menertawakan nasib Riana yang ternyata bosnya adalah pria cabul. "Jadi, kau akan bekerja dimana?"
"Kirim beberapa email berkasku pada rumah sakit lain. Mau jauh atau dekat, itu tidak masalah."
"Oke, tenang saja."
Ponsel jadul Riana berdering. Riana membaca beberapa pesan masuk yang belum ia baca sejak tadi. Riana terdiam, entah apa yang ia pikirkan saat ini? "Sasa!"
Sasa berdiri sambil menyuapi masakan ke dalam mulutnya. "Ada apa?"
"Siapkan barangku, nanti malam akan ada pertemuan di markas."
*
*
*
Plak!
Puspa menampar mantan suaminya, tepat dihadapan suami barunya.
"Beraninya kau menugaskan anakku! Tidak cukupkah, Danya saja yang kau korbankan!" emosi Puspa meluap-luap.
Simsom tertawa mendengarnya, sambil menyentuh pipinya. Ini baru pertama kali Puspa bersikap kasar padanya. "Dia anakku. Aku punya hak untuk lakukan apa saja padanya."
Puspa mengepal tangannya. "Ini hanya ambisimu saja, kau mengorbankan segalanya demi kepentinganmu."
"Jika kau menyesal... kenapa kau mau menikah denganku. Padahal kau tahu, menikah dengan pasukan politik sepertiku, tanggung jawabnya pasti besar melindungi Negara, dan aku, anakmu yang lain, harus siap pasang badan untuk mati. Ini bukan pilihanku, ini pilihan negara sendiri," tandasnya tidak mau kalah.
Sandy membawa Puspa pergi, sebelum emosi Simsom meluap menyakiti Puspa. Sandy memang sengaja menikahi Puspa agar Puspa dan anaknya bisa keluar dari pekerjaan politik negara, namun apa yang dia pikirkan Sandy tidak sesuai dengan kenyataan, karna Danya dan juga Riana tetap memilih Simsom ketimbang Ibunya sendiri. Itu karna Danya dan juga Riana mengincar warisan kekayaan Ayahnya sendiri.
Puspa tidak berhenti menggerutuki akan sifat Simsom. Ia juga memarahi Sandy sebab Sandy tidak perna mau membelanya jika ia bertengkar dengan Simsom, Sandy malah selalu terlihat takut jika berhadapan dengan Simsom alias atasannya sendiri.
"Sudahlah Puspa, jika kau seperti ini, justru anak-anakmu bisa mati di buat olehmu sendiri. Percayakan saja sama Riana, semoga mereka kembali dengan selamat dan berkumpul lagi bersama kita disini." Sandy terus menasehati Puspa.
Puspa menghela napas. "Aku lebih senang jika Riana mengambil profesi sebagai Dokter, ketimbang jadi FBI. Kasian anak-anak itu, mereka terus tertekan akibat perintah Ayah bajingannya itu," jelasnya, memijit kepalanya yang sakit. Bisa dipastikan kesehatan Puspa tidak baik-baik saja saat ini.
Ponsel Sandy tiba-tiba berdiring saat ia mengemudi mobil.
"Ia, Lukky ada apa?"
'Aku ingin mengajak kalian makan malam.'
"Oh... oke, dimana itu."
'Nanti, ada yang datang menjemput kalian.'
"Tapi Ayah mau kerumah sakit dulu, Ibumu tidak enak badan."
'No problem. I will wait.'
"Tidak biasanya Anak itu mengajak kita berkumpul," heran Sandy melirik Puspa yang ikut heran menatap suaminya.
