Bab 6 - Agent
*
*
*
Rumah tua tidak berpenghuni yang terletak di tengah hutan, terdapat 10 Agen federal FBI, pria berseragam hitam, bersenjata amunisi menunggu seseorang datang. Mereka sudah membuat janji pertemuan di area itu. Rumah yang telah di tinggalkan penghuninya sejak lama sudah menjadi markas mereka, itu adalah tempat terbaik bagi mereka yang sedang melaksanakan rapat, untuk mencari buronan yang kabur dari Amerika Serikat.
Riana dan Sasa menyusuri hutan menggunakan motor kawasi ninja berwarna hitam agar cepat sampai di tempat tujuan. Setibanya di area itu Riana langsung memarkir motornya ditepi sungai yang kecil, ia membuka helemnya lalu mengikat rambutnya, lalu merapikan baju seragam FBI-nya.
Sasa sendiri sebagai perwira tinggi hanya bisa mengekori Riana dari belakang, sesuai status pangkatnya. Riana bergegas jalan saat melihat kawannya mengarahkan lampu laser merah ke arah mereka, sebab tempat itu sangat gelap, dan juga gerimis.
Mereka memberikan hormat, saat Riana duduk di kursi kayu yang begitu kotor, usang, dan juga berdebu.
Mereka berdiri mengitari Riana yang duduk di tengah mereka, yang mana Riana sudah menyalakan lampu senter sebagai penerang disana.
"Lapor Letnan! Salah satu Intel kami perna melihat Kolonel Danya berada di pasar gelap pada saat itu."
Riana mengerutkan alisnya. "Itu berarti dia masih hidup?" Riana menatap mereka satu-persatu.
"Betul Letnan. Hanya saja, kami belum tahu apa yang dilakukan Danya disana," sahut Agen lain.
"Kolonel bersama sekelompok Pria bertato dan mereka semua bersenjata api," kata yang lain menambahkan.
"Mereka yang berjualan disana memiliki senjatanya masing-masing. Tidak sembarangan orang lain masuk atau berada ditempat itu. Polisi juga tidak dapat membubarkan pasar itu. Jika itu terjadi ... maka mereka harus siap bertempur melawan Rakyat sipil, bagaikan peperangan besar pada umumnya letnan."
Sasa mengangguk paham. "Aku merasa Danya menyamar diantara mereka."
"Tidak!" bantah Riana pada mereka.
Yang lain bingung, kenapa Riana bisa menyimpulkan itu.
"Riana..." Sasa minta penjelasan.
"Jika Danya menyamar diantara mereka, pastinya dari dulu Danya akan konfirmasikan itu pada kita, dia pasti akan memberikan laporannya. Tapi ini, sudah berapa tahun," jelas Riana beritahukan pendapatnya.
Mereka mengangguk sejutu.
Riana melanjutkan perkataannya, "Yang harus kita lakukan disini, kita harus temukan Danya secepatnya, lalu bertanya padanya. Aku akan menyamar sebagai salah satu pembeli disana." Riana akan menjadi mata-mata di pasar ilegal, yang mana dia sendiri tidak tahu apa saja yang ada dijual disana.
"Baik letnan," kata mereka bersama.
*
*
*
Satu bulan berlalu di desa terpencil.
Pavlo, Brian, dan beberapa anak buah lainnya datang disebuah desa pukul 2 subuh, yang mana desa itu tidak terdaftar di Google Map. Belum ada listrik di tempat itu, penduduknya sangat sedikit dan juga miskin, mereka hanya bisa bertani dan beternak untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Brian yang sebagai asisten langsung mengetuk pintu rumah itu berulang kali, terdengar nyaring sampai tetangga bisa bangun mendengarnya. Pria tua yang mabuk memegang botol kaca membuka pintu, namun saat pintu itu terbuka, ia malah di dorong dan todong senjata laras untuk mundur. Mereka masuk dan menutup pintu kembali.
Pria tua itu tersadar siapa mereka dan berkata dengan suara gemetar, "Tu... an." Botol minuman pria itu terjatuh dari tangannya melihat Pavlo menatapnya bengis. "Tuan, tolong jangan bunuh saya," mohonnya dengan kedua telapak tangannya menyatuh di depan wajahnya sendiri.
Pavlo tertawa mendengarnya. "Beraninya kau menipu, dan mempermalukan diriku di Casino waktu itu. Kau sangat pintar bersembunyi di tempat ini, dan tidak mencari kemana anak gadismu berada."
Mata Pria itu membulat mendengar putrinya disebutkan, sebab waktu itu dia sudah membayar orang lain untuk menemukan putrinya yang hilang entah kemana. Tapi jika mendengar penyataan Pavlo sekarang, apakah putrinya sudah dibunuh olehnya?
"Tu, tuan, dimana anak saya."
Brian tertawa mendengarnya. "Dia sudah mati," sahutnya.
Pria tua itu meneteskan air matanya. Dia baru merasakan kehilang yang amat dalam sekarang, padahal dulunya dia selalu mengabaikannya, dan tidak peduli padanya. Dia Ayah yang tidak baik, karna ia menyuruh anak menjadi pelacur agar ia bisa mabuk-mabukan setiap malam.
Dia yang bisa berfoya-foya, berjudi di kasino hasil pelacuran anaknya sendiri. Namun sekarang dia menyesal, dia membuat kesalahan yang tidak terpikirkan olehnya, dia berani menipu Pavlo agar ia bisa membayar seluruh utangnya pada penjahat lain yang lebih dulu mengancam nyawanya.
"Tuan, tolong maafkan saya, saya pasti akan berusaha mengembalikan seluruh uang dan juga rumahmu yang aku jual waktu itu."
Pavlo menarik kasar kera baju pria itu sampai tubuhnya terangkat, sebab Pavlo sangat begitu kuat, ia yang memakai baju kaos lengan pendek jelas sekali tubuh kekarnya terlihat, dan tatto di lengan tangannya sangat mengerikan dipandang.
"Aku tidak masalah jika kau menipu diriku, tapi ini masalah harga diriku, apa kau tidak tahu, siapa aku sebenarnya?"
Wajah pria itu membiru, Pavlo justru mencekiknya, dan itu membuatnya menderita sebab napasnya tercekak.
Door! Door!
Pavlo menembak kepala pria tua itu, lalu menjatuhkannya di lantai.
"Mayatnya bisa menguntungkan buat peraktek bedah besok lusa," kata Revano.
Brian juga memikirkan hal itu, itu karna besok ada siswa siswi baru yang akan belajar peraktek operasi di rumah sakit Empire. Menjual badan manusia lebih baik, dari pada mereka harus berusaha payah membuat tubuh manusia Palsu. Hitung-hitung mayat pria tua itu tidak disia-siakan juga nantinya.
Pavlo dan anak buahnya yang lain meninggalkan tempat itu. Warga yang mendengar suara tembakan tidak berani keluar rumah, mereka hanya bisa mengintip di celah jendela untuk melihat banyaknya kumpulan mobil Jeep yang harganya sangat mahal. Mereka sangat takut perlihatkan diri, sebab jika mereka menolong tetangga mereka bisa saja mereka berakhir mengenaskan seperti tetangga mereka yang di bunuh entah apa motifnya. Bisa dipastikan orang-orang itu adalah penjahat kelas atas.
"Bagaimana nona itu?" tanya Pavlo pada Brian, yang sedang mengemudi mobil dijalan berlumpur dan licin.
"Entahlah. Tidak ada rumah sakit yang mau menerimanya."
Pavlo tersenyum smirk menunduk membuka sarung tangan hitamnya yang kotor akibat bercak darah. "Kita lihat sampai kapan dia menolakku."
Brian hanya mengangguk, Brian sudah berusaha melacak asal usul wanita tersebut, mereka sulit melacak indentitas aslinya. Dan anehnya lagi, wanita itu jarang berada di apartemennya.
Pavlo sudah sering keluar masuk kedalam apartemen wanita itu, namun sepertinya tidak ada yang harus dicurigakan, dan tidak ada bukti apa-apa disana. Hanya saja siapa nama keluarga wanita itu, itu saja yang membuat mereka bingung sampai sekarang.
Pavlo memutar-mutar ponselnya sebagai mainannya dan bertanya, "Menurutmu, apakah dia akan memberikan tubuh seksinya itu padaku?"
Brian terbatuk mendengarnya. Dipikirannya saat ini bagaimana cara Pavlo bercinta, sedangkan miliknya saja susah ereksi. "Tentu saja Tuan bisa," bohong Brian, tersenyum hambar tetap masih fokus mengemudi.
