Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Pindah

Ibu mertuaku masih menatap dengan sinis. "Tunggu apa lagi! Cepat ambil cek ini," ujarnya kepadaku.

Pintu apartemen terbuka, Kak Gilang muncul dengan wajah terkejut. "Gilang, lihat kelakuan istrimu, dia meminta uang pada mami dan ingin meninggalkanmu," ujar ibu mertua.

"I-itu tidak benar, Kak!" aku menatap Kak Gilang. Berharap Kak Gilang percaya padaku. Astaga, aku lupa tentang posisiku di sini, aku hanyalah orang asing, tidak menutup kemungkinan, Kak Gilang akan percaya pada Ibunya.

"Lain kali, kalau Risa meminta uang pada mama, jangan berikan. Risa sudah menikah, punya suami yang bertanggung jawab atas semua kebutuhannya!" Kak Gilang mengambil kertas tersebut dan merobeknya menjadi dua bagian.

Wajah ibu Kak Gilang merah padam. Sudut matanya melirikku penuh kebencian.

Kak Gilang mengangkat plastik bening yang di bawanya dari luar.

"Ma, Aku datang kemari karena ingin mengajak istriku makan. Tapi, aku hanya membawa 2 bungkus makanan. Mama makan dirumah saja, ya! Assalamualaikum, Ma," ujar Kak Gilang menatap mamanya dan pintu secara bergantian.

"Maksud kamu, kamu mengusir mama, Gilang? Ibu mertua nampak semakin kesal.

"Owh, nggak dong, Ma! Aku cuma mau ngingatin mama aja, kalau sekarang sudah saatnya makan siang," ujar Kak Gilang membuat ibunya semakin geram. Ibu mertua bangkit dari duduknya, lalu menatap tajam ke arahku.

Setelah kepergian ibunya, Kak Gilang mengajakku untuk makan bersama.

"Kak, aku sungguh nggak pernah minta uang sama ibu Kakak," ujarku

"Aku nggak peduli," Kak Gilang terus menyendokkan makanan ke dalam mulutnya.

"Besok, kamu ikut aku. Aku akan mengantarkan mu ke kelas kepribadian." Kak Gilang menatapku sesaat, lalu kembali menyelesaikan makannya.

"Kelas kepribadian bagaimana, Kak?"

"Jangan banyak tanya, ikut aja besok!"

Aku hanya terdiam, tidak membantah.

Aku akan menjemput Gio dan Dela, kamu tunggu di sini saja. Kak Gilang baru saja akan melangkah keluar apartemen, ketika ponselnya berdering.

"Hallo,"

"Kenapa menangis?"

"Bilang bundanya sibuk, nggak bisa diganggu,"

"Ngamuk bagaimana?"

"Hhhhhh, baiklah, aku pulang, bersama ibunya."

Kak Gilang menatapku sesaat. Dan berkata. "Kamu harus ikut aku pulang."

"Ke rumah kakak?"

"Iya, Amira mengamuk karena menginginkan kamu,"

Aku hanya tertegun, aku baru teringat akan Amira, bukankah kehadiranku untuk menjadi ibunya Amira.

Kami menuju rumah Kak Gilang setelah Gio dan Dela telah pulang ke Apartemen.

"Kamu jangan khawatir, aku akan mengirim pembantu untuk menemani Dela di sini. Pembantunya masih muda. Mungkin seumuran denganmu. Nanti, kamu bisa ngobrol dengannya di sini. Namanya Yesi." Kak Gilang menjelaskan panjang lebar. Aku hanya tersenyum, membuat keningnya berkerut.

"Kenapa kamu tersenyum? Ada yang aneh?" tanya nya padaku.

"Kakak sudah tidak pelit lagi," jawabku berlalu meninggalkannya yang masih bingung dengan ucapanku.

Aku pamit pada Dela dan Yesi, lalu kami bertiga pulang ke rumah Kak Gilang. Sebenarnya aku lebih nyaman tinggal di apartemen, karena tidak adanya kehadiran kedua orang tua Kak Gilang yang membuatku sakit hati.

"Bunda …."

Amira berhambur memelukku ketika aku baru saja menginjakkan kaki di lantai atas. Aku memeluk gadis mungil itu. Lalu mencium pipinya berkali-kali.

"Amira kangen bunda, kenapa bunda suka pergi-pergi?" Amira menyentuh wajahku, aku hanya tersenyum.

"Karena dia bukan ibumu, Amira!" Ibu Kak Galing muncul dengan bersidekap dada.

"Ma-maksud Oma apa?" Amira menatapku dan Omanya secara bergantian.

"Iy, Oma sudah bilang berkali-kali, kalau Ibumu itu sudah mati, dia sudah mati karena dia yang membunuh anak tertuaku, ibumu itu pembunuh!" Ibu mertua menunjuk-nunjuk wajah Amira sehingga gadis kecil itu ketakutan.

"Cukup, Ibu! Mega bukan pembunuh, kakau ada yang disalahkan atas kematian Gading, maka itu adalah Ibu," Kak Gilang merangkul Amira dan menatapa tajam ibunya.

"Aku tidak akan pernah membiarkan ibu menyakiti Amira, dan satu lagi. Risa dan Amira adakah orang yang berharga dalam hidupku, jadi aku mohon, hargai mereka." Kak Gilang menggenggam tanganku dan membawaku ke sebuah kamar yang ternyata adalah kamar Amira.

"Ayah … Amira nggak mau tinggal di rumah tanpa ayah dan bunda." Amira terisak menatap Kak Gilang dengan sendu.

"Amira mau ikut ayah dan bunda, Amira nggak mau di sini, Daddy juga jarang pulang kerumah," ujarnya lagi.

Daddy? Amira juga punya Daddy? Siapa yang dipanggilnya Daddy? Aku, pertanyaan itu hanya aku simpan di dalam hati. Karena aku menyadari, siapalah aku. Tidak pantas untuk mengetahui tentang semua hal yang terjadi di rumah ini.

"Iya, tapi tidak seharusnya mama memberitahu Amira tentang kematian kak Mega …."

Aku mendengar suara keributan di ruang keluarga. Sepertinya itu suara Gio. Gilang menatapku dan memberi isyarat agar aku tetap diam di kamar. Gilang melangkah keluar dengan tergesa-gesa.

Amira mendekapku dengan erat.

"Bunda … jangan pergi lagi …." ujar Amira memeluk leherku dan membenamkan wajahnya di dadaku.

Aku melihat Buk Asih mengusap air matanya dan memalingkan wajah. Terdengar Isak dari mulut Bik Asih.

"Non, tolong sayangi Amira …."

Buk Asih menatapku dengan wajah memohon. Lalu membelai rambut panjang Amira.

Aku menggendong Amira dan membaringkannya di tempat tidur yang di dominasi dengan warna pink.

Keributan masih terdengar di bawah sana. Aku berniat untuk bangun dan melihat kejadian di bawah sana. Namun, Bik Asih mencegahku.

"Sebaiknya Non di sini saja. Itu jauh lebih baik," ujar Buk Asih berlalu meninggalkan aku dan Amira yang mulai tertidur.

Hening.

Tidak ada lagi keributan. Aku mendengar beberapa langkah kaki menuju kamar Amira. Aku memeluk Amira dengan erat.

Pintu terbuka. Aku melihat Kak Gilang dan Gio masuk ke dalam kamar, lalu menutup dan mengunci pintu kamar. Aku bangun dan menatap wajah dua saudara tersebut yang terlihat sedang kusut.

"Gue pikir, sebaiknya Lo bawa aja Amira dari sini, Kak," ujar Gio membelai rambu Amira dengan lembut.

"Aku juga berpikir begitu," jawab Kak Gilang.

"Lo tau sendiri, kan? Kalau wanita iblis itu kembali kesini, tidak menutup kemungkinan dia juga tega membunuh Amira dengan cara yang halus." ujar Gio yang membuatku merinding.

Bunuh? Amira mau dibunuh? Siapa yang berniat membunuh Amira?. Aku kembali memandang wajah Kak Gilang dan Amira secara bergantian. Mereka saling diam.

"Apa nggak sebaiknya Lo tinggal di rumah yang dibeli Kak Gading, aja?" Gio menatap Kak Gilang dengan serius. Begitupun degan Kak Gilang, keningnya berkerut.

"Kenapa dari maren aku nggak kepikiran kesana?" Kak Gilang mendekati Gio dan tersenyum.

"Selama ini, kan, Lo membiarkan Amira tinggal di sini karena Lo nggak yakin, Amira hanya di asuh oleh Bik Asih. Sekarang, apa yang Lo cemasin, ada Kak Risa yang akan menjadi ibu untuk Amira. Iya kan, Kak?" Gio tersenyum kepadaku.

Aku bingung. Tidak tau harus menjawab apa selain menganggukkan kepalaku.

"Kamu benar, ada Risa, yang aku yakin, bisa menjadi ibu untuk Amira." Kak Gilang tersenyum menatapku.

"Kamu mau, kan! Menjadi Ibu untuk Amira?" tanya Kak Gilang padaku.

"I-iya Kak," aku menjawab dengan menganggukkan kepala.

"Oke, kemasi barang-barang Amira dan Bik Asih juga. Aku akan menghubungi Bik Ijin dan suaminya untuk membesihkan rumah tersebut." Kak Gilang memanggil Bik Asih dan merogoh ponselnya. Lalu berbicara dengan seseorang.

******

Bersambung

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel