
Ringkasan
Risa Anandita dilelang oleh Tantenya di internet dan dibeli oleh seorang CEO kaya untuk membalas dendam atas kematian kekasihnya dan menjadi ibu untuk Amira. Seorang anak perempuan berumur lima tahun. Risa jatuh cinta pada suaminya, Sang CEO ketika pertama kali merasa genggaman tangannya. Namun, sang suami tidak membuka hatinya karena sudah memiliki seorang perempuan di dalam hatinya. Risa selalu berharap agar sang suami membuka hati dan menerima kehadirannya sebagai istri yang sempurna. Mampukah Risa meraih hati sang suami dan menjalani kehidupan rumah tangga seperti pasangan pada umumnya?
Dilelang
Dilelang!
Nama : Risa Anandita
Status : perawan murni
Umur : 23 tahun
Dibuka dengan harga 70 juta. Mahar tertinggi silahkan angkut.
Aku membelakkan mata ketika melihat caption yang ditulis Tante Tika, bibiku, istri dari pamanku yang merawatku sejak kecil. Caption tersebut ditulisnya di bawah potoku, yang entah kapan diambilnya.
Sehina itukah aku di matanya? Tidakkah dia membayangkan, jika Dela, putrinya yang dilelang oleh orang seperti itu.
"Tante, apa maksud Tante melelang aku dengan cara seperti ini?" tanyaku pada Tante Tika ketika aku sudah sampai rumah.
"Kenapa? Kamu keberatan? Anggap aja kamu sedang beramal. Kamu menyumbangkan uang untuk biaya pengobatan pamanmu yang sedang sakit parah," ujar Tante Tika bersidekap dada di hadapanku.
"Tapi, Tante … bukan dengan cara melelangku seperti ini!" Aku menatap Tante Atika dengan geram.
"Sudah, sudah, tidak ada penolakan," ujar Tante Tika melempar Selembar kebaya berwarna putih beserta kainnya
"Hapus air matamu, jangan sampai suamimu jijik melihat wajahmu jelek seperti itu!" Tante Tika menatap sinis ke arah ku.
Aku tidak kuasa menahan tangisku. Ketika aku digiring Tante Tika menuju tempat akad nikah, aku hanya terus menundukkan kepala.
SAH … Alhamdulillah
Aku merasa kesedihan semakin menghimpit jiwaku.
"Nak Risa, silahkan cium tangan suami anda," ujar pak penghulu kepadaku.
Aku melihat tangan mengulur kedepan wajahku, tangan yang besar, putih, dan mulus. Aku meraih tangan tersebut dan menyalaminya. Lalu pria itu memasangkan cincin di jari manisku. Aku mendongakkan wajah dan melihat seraut wajah yang memasangkan cincin di jari manisku. Aku terkejut karena ternyata, pria yang menikahi bukanlah pria tua yang gemuk dan berjenggot seperti dalam novel yang pernah kubaca. Pria yang menikahiku adalah pria yang memiliki wajah tampan, dan rupawan, namun … sorot matanya sangat tajam, dingin, dan angkuh.
"Cepat, kemasi barangmu!" Suara seraknya membuat aku terkejut.
"A-aku masih ingin bertemu Dela, sepupuku," ujarku.
"Nggak ada waktu, Risa. Jangan sampai suamimu lama menunggu." Tante Tika menjejalkan beberapa lembar pakaianku ke dalam tas ransel yang sudah usang dan robek di beberapa bagian.
"Tante, Risa mau pamit pada Dela." ujarku. Namun tidak di gubris. Tante Tika melempar ransel yang berisi pakaianku ke hadapan suamiku, langsung ditangkap olehnya.
Tangan besarnya menggenggam tangan mungilku dan menggandeng masuk ke dalam mobil.
"Dimana sekolah sepupumu?" Tanya lelaki itu.
"Hah?" Aku kaget mendengar pertanyaannya.
"Sepupumu, di mana dia sekolah? Aku akan mengantarkanmu menemuinya." Pria yang ku ketahui bernama Gilang itu bertanya dengan nada dingin.
"Di SMA Bina Bakti," ujarku.
"Adikku juga sekolah di sana, tapi hari ini dia tidak masuk," ujar kak Gilang sembari terus fokus mengemudi. Hingga kendaraannya berhenti di depan gerbang sekolah Dela.
Aku mengedarkan pandangan ke sekitar. Melihat sosok Dela. Lalu, dari kejauhan, aku melihat Dela berjalan menghampiriku.
"Kak, kenapa kakak kesini?" Dela bertanya dengan wajah gusar.
"Kakak mau pamit, Del. Kakak sudah menikah dengan lelaki yang sudah membeli kakak di pelelangan itu," sahutku memeluknya.
"Maafkan Ibu, ya Kak … ibu benar-benar keterlaluan. Dela nggak nyangka, ibu sekejam itu sama kakak," Dela menangis memelukku.
Dela adalah adik sepupuku. Anak dari Om Herman dan Tante Tika. Sejak kecil, aku dibesarkan oleh keluarga Om Herman dikarenakan, ayah, ibu, dan adik kandungku mengalami kecelakaan pesawat ketika akan pergi ke luar negeri. Semenjak itu, aku tinggal bersama Om Herman, satu-satunya saudara ayahku. Aku sangat menyayangi Dela, karena Dela seumuran dengan adikku yang telah meninggal dunia bersama ayah dan ibu.
"Turun," suara serak itu kembali mengagetkanku. Aku memandang sebuah rumah yang berada di hadapanku. Rumah yang lebih tepatnya disebut Istana. Megah, dan mewah. Tangan besar itu kembali menggenggam erat tanganku. Seolah tidak ingin melepaskan.
"Gilang! Gilang!" Seorang perempuan dengan penampilan mewah memanggil kak Gilang dengan suara yang menggelegar.
"Apa yang kamu lakukan, hah?" Perempuan itu menghampiri kami, lalu menatapku dari ujung kaki hingga kepala.
Kak Gilang hanya terdiam dan menatap sekilas, lalu kembali menggandeng tanganku.
"Gilang!"
Kali ini suara seorang lelaki memanggil nama suamiku.
"Jangan pernah bermimpi kami akan merestui pernikahanmu." Laki-laki itu menatap tajam ke arahku.
"Aku tidak butuh restu dari kalian, setuju atau tidak, aku telah menikah dengan Risa. Dia akan menjadi Ibu untuk Amira. Dan kalau kalian masih bersikukuh untuk melarangku, aku akan membawa Risa dan Amira pergi dari sini!" Kak Gilang hanya menatap kedua orang tuanya sesaat, setelah itu langsung kembali menggandengku ke lantai atas.
Ketika baru saja menginjakkan kaki di lantai atas, seorang anak perempuan berhambur memelukku.
"Bunda … Amira kangen. Bunda kemana saja?" Gadis kecil itu memelukku dengan erat.
"Amira Sayang, bunda lelah, bunda baru saja pulang dari luar negri," ucap kak Gilang mengelus rambut Gadis tersebut.
"Ayah, Amira mau tidur sama bunda," rengeknya.
"Iya, tapi bunda istirahat dulu ya, Sayang!" Kak Gilang lalu mengambil gadis kecil itu dari pelukanku.
"Asih," kak Gilang memanggil seorang babby sitter yang berdiri didekat kami.
"Iya, Tuan," bik Asih membawa Amira kembali ke kamarnya.
Kak Gilang kembali menggenggam tanganku, membawaku masuk ke dalam kamar.
"Tidak ada drama pembagian tempat tidur seperti dalam drama Korea," ujar kak Gilang, membuatku sedikit bergidik ngeri. membayangkan malam pengantin.
Kak Gilang membuka lemari pakaian, lalu menatap ke arahku. "Taruh dan susun pakaianmu dalam lemari ini." Ujar kak Gilang.
"Dan satu lagi, penuhi apapun yang diminta Amira, karena mulai hari ini, kamu bukan hanya menjadi istriku, tapi juga ibunya Amira." Kak Gilang lalu masuk sebuah ruangan yang aku rasa adalah kamar mandi.
Aku memandangi kamar ini. Mewah dan elegan. Aku merasa seperti berada dalam kisah Cinderella dalam negeri dongeng.
Hhhh tapi tidak, Cinderella bernasib lebih baik. Dinikahi pangeran karena memang saling mencintai. Sedangkan aku, aku dinikahi pangeran karena hasil menang pelelangan.
"Bunda …."
Aku menoleh, ternyata Amira muncul dari balik pintu.
"Iya, Sayang," ucapku refleks. Lalu membimbing gadis kecil itu untuk duduk di pinggir ranjang yang berukuran king size.
"Bunda kemana saja?" Amira memegang wajahku dan mencium pipiku berkali-kali.
"Bunda …" tenggorokanku terasa tercekat. Aku tidak tau harus menjawab apa.
"Ayah bilang, Bunda pergi keluar negri, tapi mengapa lama sekali?" Amira menundukkan kepalanya. Tubuhnya bergetar, aku rasa, Amira menangis.
Aku merangkul Amira dalam pelukanku, Amira terisak
"Amira takut, semenjak bunda nggak ada, Oma selalu memarahi Amira, Oma bilang, Bunda sudah mati!" Tangisan Amira pecah. Aku berusaha membujuknya dan membuatnya nyaman dengan mendekap erat tubuhnya.
"Amira …."
Kak Gilang muncul dengan hanya memakai handuk. Aku menutup mataku dengan kedua telapak tangan. Aku merasa malu. Karena tidak pernah melihat pemandangan seperti ini, sebelumnya.
"Ayah … maaf," ujar Amira berlalu meninggalkan kamar.
"Jangan ajak Amira masuk ke sini, aku tidak suka. Aku tidak selalu berpakaian tertutup. Tidak baik dilihat Amira!" Kak Gilang membuka lemari dan mengambil pakaiannya, lalu kembali ke kamar mandi.
Kak Gilang tidak mengizinkan Amira masuk kedalam kamarnya, benar- benar hubungan anak dan ayah yang aneh menurutku.
"Kamu belum mandi?" Kak Gilang keluar dari kamar mandi, dan duduk di sisi ranjang. Aku membuka lemari dan mengambil handuk. Lalu masuk kamar mandi. Aku melihat kamar mandi ini sangat mewah. Inikah yang dinamakan walk in close? Kamar mandi ini di desain seperti kamar mandi hotel mewah. Sesuai dengan kamar kak Gilang yang sangat mewah.
Mewah, hanya saja, tidak ada satu pun terpampang poto. baik itu Poto kak Gilang, ataupun anggota keluarga lainnya.
Setelah rapi, Kak Gilang mengajakku turun untuk makan bersama anggota keluarga.
"Mama tidak sudi, duduk satu meja dengan perempuan miskin seperti dia," ujar Mamanya kak Gilang menunjuk wajahku.
"Kalau kalian tidak sudi satu meja dengan istriku, maka aku juga tidak akan makan satu meja dengan kalian!" Kak Gilang meraih tanganku, menggenggam dengan erat.
"Ehm, lagipula, Risa terlalu baik untuk kalian," lanjut Kak Gilang. Lalu kami pergi meninggalkan rumah bak istana tersebut dengan berjalan kaki.
*****
Bersambung
