Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Aturan baru

Siang itu, Aku, Bik Asih, Amira, Gio dan Kak Gilang siap berangkat kerumah yang telah disiapkan.

Ketika kami menuruni tangga menuju luar rumah, mama dan papa Kak Gilang berdiri tepat di bawah tangga.

"Gilang, mau kamu bawa kemana Amira dan Gio?" Lelaki itu, mertuaku menatap Kak Gilang dengan sorot mata yang tajam.

"Aku hanya ingin menyelamatkan orang-orang yang aku cintai dari pembunuh berdarah dingin." Kak Gilang menggenggam tanganku.

"Apa maksudmu?" Ayah mertua maju melangkah mendekati Kak Gilang.

"Aku hanya tidak ingin, Amira dan Risa mengalami nasib yang sama seperti Mega," ujar Kak Gilang menatap tajam ke arah papanya.

"Cukup, Gilang! Itu sebuah kecelakaan!" Mama mertua tampak marah mendengar ucapan Kak Gilang.

"Aku sudah bicara baik-baik dengan mama, untuk tidak mengizinkan Allea tinggal di sini. Tapi ibu tetap ngotot, jadi, biar kami saja yang pergi dari sini." Kak Gilang tidak memperdulikan kedua orang tuanya. Kami tetap melangkah keluar rumah.

"Jika kamu keluar dari rumah ini, maka kamu akan papa hapus dari garis warisan." Papa mertua berteriak. Membuat langkah Kak Gilang terhenti.

Kak Gilang membalikkan badannya dan menatap kedua orang tuanya dengan senyum. "Aku tidak butuh harta papa, aku sudah memiliki perusahaan sendiri, itu sudah cukup membiayai hidupku dan keluargaku!" ujar Kak Gilang, lalu kembali menggenggam tanganku.

Gio membawa koper kami dan memasukkannya ke dalam bagasi mobil. Sedangkan Bik Asih menggendong Amira yang terlihat takut.

Kak Gilang duduk di kursi kemudi bersama Gio di sebelahnya, Aku dan Bik Asih duduk di kursi tengah dengan Amira ditengah-tengah kami.

"Apakah kamu mau, Dela tinggal bersama kita juga?" Kak Gilang menatapku melalui kaca spion.

"Ehm, bagaimana baiknya menurut Kakak saja," jawabku.

Aku memang tidak berani mengemukakan pendapat, aku pikir keadaan hati Kak Gilang sedang tidak baik.

Mobil terus melaju hingga berhenti dedeoan sebuah rumah yang lumayan megah, meski tidak semegah rumah orang tua Kak Gilang. Kami semua turun. Kak Gilang dan Gio menurunkan koper dan membawa masuk ke dalam rumah, Buk Asih membantu membawa barang-barang, dan Amira berada dalam gendonganku.

Sepasang suami istri menyambut kami dengan senyum terkembang.

"Selamat datang tuan muda Gilang dan tuan muda Gio, kami senang kalian mau menempati rumah ini," ujar perempuan paruh baya tersebut. Yang baru kuketahui bernama Buk Ijum.

Aku menurunkan Amira dan gendongan, dan ingin menyalami Buk Ijum. Namun, tiba-tiba Buk Ijin mundur beberapa langkah, lalu menutup mulutnya.

"Nyo-nyonya Mega?" Buk Ijum menatapku dan Kak Gilang secara bergantian.

"Ini, Risa … dia istriku," Gilang mengisyaratkan agar aku memberi hormat.

Wajah Bik Ijum berubah menjadi keruh, dan beberapa bulir bening menetes di pipinya. Aku tidak mengerti mengapa Bik Ijum memanggilku dengan sebutan Mega. Akh, Mega … aku pernah mendengar nama ini. Tapi aku lupa, dimana itu.

Kak Gilang menggandengku menuju sebuah kamar. Kamar yang tidak kalah mewah dengan kamar di rumah Kak Gilang. "Ini kamar kita," Kak Gilang menatapku dan membuka kopernya, lalu memasukkan pakaiannya ke dalam lemari.

"Biar aku saja, Kak," ujarku seraya menahan tangannya. Kak Gilang menatap tajam ke arahku.

"Aku tidak ingin, kamu menyentuh barang-barang milikku." Ujarnya membuat dadaku terasa nyeri.

Jika memang hanya pakaiannya saja tidak mau di sentuh, bagaimana dengan hatinya? Lebih tidak mungkin lagi untuk bisa ku sentuh. Seharusnya aku tidak boleh berharap lebih dari pernikahan ini. Karena aku hanyalah istri hasil dari menang pelelangan. Itu pun untuk menjadi Ibu Amira.

**********

Kami duduk di kursi tengah bersama-sama.

Aku, Gio, Amira, Bik Asih, Bik Ijum dan suaminya. Gilang menatap kami satu per satu. Tidak ada yang berani menatap, Gio sekalipun, hanya diam membisu.

"Mulai hari ini, kalian semua tinggal di rumah ini. Bik Asih, tugasmu hanya menjaga Amira, jaga dan awasi Amira 24 jam. Jangan sampai terjadi apa-apa padanya.," Kak Gilang menatap Buk Asih yang disertai anggukan oleh Bik Asih.

"Bik Ijum, tugasmu adalah memasak dan membersihkan rumah ini, kerjakan bersama teman/saudaramu seperti dulu, aku akan membayar gajimu dan temanmu yang bekerja di sini merata. Ajaklah orang yang bisa Bibik percaya untuk membantu pekerjaan Bibik," Kak Gilang menatap Buk Ijum dan Bik Ijum pun menganggukkan kepalanya.

"Pak Tarso, jaga rumah ini dengan baik. Jangan sampai ada yang masuk, sekalipun itu Mama!" Tegas Kak Gilang menatap Pak Tarso.

"Baik, Tuan Muda!" Jawab Pak Tarso.

"Gio, kamu antar dan jemput Dela dari sekolah-apartemen setiap hari. Jangan sampai Dela pulang tidak bersamamu. Pastikan semua kebutuhan Dela di apartemen tercukupi." Kak Gilang menatap Gio.

"Oke, Kak," ujar Gio seraya mengacungkan jempolnya.

"Dan kamu, Risa …."

Aku mengangkat wajahku dan menatap sorot mata tajam itu.

"Lakukan tugasmu sebagai istriku. Melayani semua kebutuhanku," ujar Kak Gilang, sorot matanya begitu tajam.

"Dan 1 lagi, temani Amira jika dia menginginkanmu." Kak Gilang memandang aku dan Amira secara bergantian. Aku mengangguk.

Setelah Kak Gilang selesai berbicara, semua meninggalkan ruangan. Kecuali Kak Gilang.

"Kak, apa aku boleh sesekali bertemu dengan Dela?" tanyaku ragu-ragu.

Kak Gilang menatapku sesaat, lalu kembali terdiam.

"Maaf!"

Hanya itu yang bisa kuucapkan. Aku tidak mengenal Kak Gilang, jadi, aku tidak tau bagaimana kesimpulannya, jika dia tidak menjawab pertanyaanku.

"Kamu hanya boleh pergi, jika diantar oleh sopir," ujar Kak Gilang. Membuat aku tersenyum dan refleks memegang tangannya.

"Makasih, Kak," ucapku. Kak Gilang memandang tanganku yang menyentuh pergelangan tangannya.

"Maaf!" Aku menarik kembali tanganku dan berlalu meninggalkannya.

"Risa …."

Bass suara itu memanggilku, membuat aku menahan langakah kaki.

"Apakah seorang istri meninggalkan suaminya duduk sendiri?"ujar Kak Gilang, sudut matanya menatapku.

Aku duduk di seberang sofa tempat duduknya.

"Apakah suami istri duduk dengan berjauhan seperti ini?" Kak Gilang mengernyitkan keningnya.

Aku menjadi kikuk.

Ck

Kak Gilang bedecak kesal. Aku menjadi salah tingkah. Aku melihat Kak Gilang menggeser posisi duduknya, apakah ini petanda kalau aku harus duduk di sebelahnya?

Aku masih terpaku.

"Risa …."

Kak Gilang kembali memanggilku dan mengisyaratkan untuk duduk di sampingnya.

Aku berdiri, dan duduk di samping Kak Gilang. Gugup, itu yang kurasakan.

"Bunda …."

Aku menoleh. Amira menghampiri, dan duduk di pangkuanku.

"Iya, Sayang," ucapku sembari mengecup pipi gadis kecil ini.

"Amira boleh minta sesuatu?" ujar Amira menatapku dan Kak Gilang bergantian.

"Mau apa, Sayang?" Tanya Kak Gilang dengan senyum manis.

"Amira mau punya Adik," ujar Amira, sontak membuat wajahku bersemu merah.

"Bukankah Bunda pernah bilang, akan memberikan aku adik?" Ujar Amira lagi.

"Ehm, itu …."

Aku tidak tau harus menjawab apa. Karena aku tidak pernah berkata seperti itu.

Namun, raut wajah Kak Gilang berubah.

"Kapan bunda bilang mau kasih Amira adik?" Tanya Kak Gilang kepada Amira.

"Sehari sebelum bunda tenggelam, dan di bawa keluar negri," ujar Amira.

Kak Gilang berdiri dan mengepalkan kedua tangannya.

******

Bersambung

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel