Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

POV Gilang

POV Gilang

Mataku terbelalak ketika melihat postingan akun seorang perempuan bernama TIKA.

Akun tersebut melelang seorang perempuan yang wajahnya … mirip sekali dengan Mega. Perempuan yang aku cintai sejak lama, namun, pada akhirnya menjadi Kakak Iparku. Wajahnya mirip, bahkan teramat sangat mirip.

Aku memandang Poto gadis tersebut, dia dilelang oleh akun tersebut dengan pembukaan tujuh puluh juta. Aku memantau komentar orang-orang yang ingin membeli gadis bernama Risa tersebut. Sehingga ada yang menjatuhkan harga seratus juta, ketika mentok di angka seratus lima puluh juta, aku mengacungkan jempol dengan caption. 'Mahar dua ratus juta'. Aku pun memenangkan lelang tersebut.

Akun tersebut, Tante Tika lalu menghubungiku, dan memintaku untuk segera menikahi keponakanannya. Aku mengurus segala surat menyurat untuk pernikahan mendadak ini, lalu mengantarkannya pada Tante Tika. Dan siang ini, pernikahan kami akan dilangsungkan.

Aku memberitahu mama, papa, dan Gio kalau aku akan menikah siang ini dengan seorang perempuan yang wajahnya mirip Mega. Aku tidak peduli bagaimana tanggapan papa dan mama. Mereka pasti tidak merestui. Namun aku tetap melancarkan niatku. Aku ingin, Amira kembali tersenyum, kembali memiliki seorang ibu. Karena aku sudah berjanji pada Mega, Bahwa aku akan merawat dan menjaga apa pun yang Mega cintai.

Pagi itu, Aku membawa uang mahar dan memberikannya pada Tante Tika. Namun, uang itu tidak untuk kuucapkan di ijab Qabul. Aku memberikan Cincin seberat 10 gram sebagai mas kawin pernikahanku.

Perempuan bernama Risa, duduk di sampingku dengan menundukkan kepalanya. Aku melirik sesaat, air mata membanjiri wajahnya. Mungkin, pernikahan ini bukan keinginannya. Setelah kata SAH terucap, pak penghulu meminta Risa untuk mencium tanganku. Aku mengulurkan punggung tanganku, Risa meraih dan menciumnya dengan takzim. Ketika pengambilan dokumentasi buku nikah, tatapan kami bersirobok, Risa seperti kaget melihatku. Aku tidak tau, apa yang membuatnya kaget.

"Cepat, kemasi barangmu!" Ujarku dengan suara serak, sontak membuat dia kaget dari lamunannya.

"Tapi, aku mau bertemu dengan Dela dulu," sahutnya. Ternyata gadis ini suka membantah ucapan seseorang.

Aku mendengar Tante Tika memarahinya dan menjejalkan pakaiannya kedalam tas ransel yang telah rusak dan robek di beberapa bagian.

Tante Tika melempar ransel tersebut di depanku, dan langsung kutangkap dengan kedua tanganku.

Risa masih tetap ngotot untuk menunggu Dela, saudara sepupunya.

Aku menyeret langkah Risa masuk kedalam mobil, karena aku tidak suka menunggu.

"Dimana sekolah sepupumu?" Aku bertanya pada Risa.

"Hah?"

Bukannya menjawab, perempuan ini malah terkejut dengan pertanyaanku.

"Sepupumu yang akan kau temui, di mana dia sekolah? Aku akan mengantarkan mu menemuinya." Aku mengulangi pertanyaan.

"Di SMA Tunas Bakti," ujarnya.

Itu nama sekolah Gio, adikku. Itu artinya Dela dan Gio satu sekolahan.

"Adikku juga sekolah di sana. Tapi hari ini dia tidak sekolah." Ujarku sambil terus melajukan kendaraan.

Sesampai di gerbang sekolah Tunas Bakti, Risa turun dan mengedarkan pandangannya ke sekeliling sekolah. Seorang remaja seumuran Gio berhambur memeluk Risa.

"Kakak kenapa ke sini?" Gadis itu bertanya dengan wajah gusar. Sepertinya dia tau, kalau Risa menemuinya karena ada sesuatu yang penting.

"Kakak pamit, Del. Kakak sudah menikah dengan lelaki yang telah membeli kakak di pelelangan," ujar Risa dengan suara tertahan.

"Maafkan ibu ya,Kak … Ibu benar-benar keterlaluan, Dela nggak nyangka ibu berbuat sekejam ini terhadap kakak." ujar Dela menangis memeluk Risa.

Mereka berpelukan cukup lama. Hingga akhirnya kami pergi menuju rumahku.

Sesampai di rumah, aku menggenggam tangan Risa dengan erat. Sejak bertemu didepan penghulu tadi, aku ingin selalu menggenggam erat tangannya, aku ingin melindunginya. Aku tidak ingin dia bernasib sama seperti Mega.

Aku menggandeng Risa menaiki tangga menuju kamarku.

"Gilang! Gilang!"

Aku mendengar teriakan mama. Aku tidak perduli, aku tau, mama akan protes dan marah dengan keputusanku.

"Apa yang kamu lakukan, hah?" Mama menghampiriku, menatap Risa dari ujung kaki sampai ujung kepala. Mungkin mama tidak menyangka, akan melihat wajah ini lagi. Mega dengan versi Risa.

Aku tidak menggubris perkataan mama. Aku terus menggandeng Risa menaiki tangga.

"Gilang!" Kali ini aku mendengar papa memanggilku dengan membentak.

"Jangan pernah bermimpi, kami akan merestui pernikahanmu," ujar papa, menatap tajam ke arah Risa. Aku mengeratkan genggaman tanganku pada Risa.

Aku tidak butuh restu dari kalian, setuju atau tidak, aku telah menikahi Risa. Dia akan menjadi ibu untuk Amira. Dan kalau kalian masih bersikukuh untuk melarangku, aku akan membawa Risa dan Amira pergi dari sini," ujarku menatap tajam kepada papa dan mama.

Aku kembali menggenggam tangan Risa dan membawanya ke lantai atas, kamarku.

Baru saja kakiku menginjakkan lantai atas

Amira berhambur memeluk Risa. Amira menangis sesegukan. Aku hanya mampu mengusap wajahku.

"Bunda, Amira kangen. Bunda dari mana saja?" Amira membelai wajah Risa dengan lembut. Kerinduan membuncah tergambar dari sorot matanya yang mungil. Wajar, jika Amira merindukan ibunya, karena semenjak kejadian itu. Aku selalu membohongi Amira, mengatakan kepadanya kalau bundanya menjalani pengobatan di luar negri.

"Amira Sayang, bunda lelah, bunda baru saja pulang dari luar negri," ujarku seraya membelai rambut panjang Amira dengan lembut.

"Ayah, Amira mau tidur sama bunda," Amira merengek menatap padaku.

Aku tau, Risa pasti bingung dengan semua ini, aku tidak ingin, Risa langsung dihadapkan pada sebuah tugas untuk menjaga dan merawat Amira.

"Iya, tapi bunda istirahat dulu ya, Sayang," ujarku dengan lembut. Lalu mengambil Amira dari pelukan Risa dan memberikannya pada Bik Asih. Aku langsung menggandeng Risa masuk ke kamar kami.

"Tidak ada drama pembagian tempat tidur seperti drama Korea," ucapku memandang wajah Risa yang memerah, sepertinya Risa takut. Wajahnya yang ketakutan seperti ini membuat aku kembali teringat pada Mega. Ketakutannya akan peristiwa malam itu, yang membuat Risa menikah dengan Kak Gading, dan melahirkan Amira.

Aku membuka lemari pakaian dan menyingkirkan beberapa pakaianku, meminta Risa untuk menyusun pakaiannya ke dalam lemari tersebut. Lalu aku ke kamar mandi, tubuhku terasa sangat lelah hari ini.

Setelah selesai mandi, aku keluar kamar mandi, hanya dengan mengenakan handuk sebatas pinggang. Aku kaget ketika mendapati Amira duduk di pinggir ranjang bersama Risa.

Aku berdehem menyebut nama Amira. Sedangkan Risa menutup mata dengan kedua tangannya, mungkin Risa tidak pernah melihat lelaki dengan kondisi seperti ini.

"Jangan ajak Amira masuk ke sini, aku tidak suka. Aku tidak selalu berpakaian tertutup, tidak baik dilihat Amira," ucapku pada Risa. Aku melihat raut wajah Risa menyimpan banyak pertanyaan. Aku hanya tidak ingin privasiku diganggu siapapun. Walaupun Amira.

"Kamu belum mandi?" Tanyaku, karena aku melihat Risa masih terus bingung dan memikirkan banyak hal. Entah apa yang ada dalam pikirannya.

*****

Bersambung

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel