Om Herman meninggal
POV Risa
Kak Gilang mengepalkan tangannya, lalu berdiri dan terdengar memanggil nama Gio. Aku hanya mampu menatap Amira yang tersenyum manis. Aku tidak tau harus bicara apa pada Amira, karena aku bukanlah ibu kandungnya, aku hanyalah perempuan yang diminta menjadi ibunya.
"Bunda, ingat tidak, kita sudah menyiapkan nama untuk adek Amira nanti," ujar Amira tersenyum manis padaku.
"Ehm, bunda tidak ingat, Sayang. Sejak kejadian itu, bunda banyak melupakan beberapa hal. Tapi bunda akan berusaha mengingatnya." Ujarku mencoba menghibur Amira. Ntah benar atau tidak yang aku ucapkan ini. Yang penting bagiku, Amira tidak bertanya banyak hal. Karena aku tidak tau harus menjawab apa.
Bik Ijum duduk menghampiriku, tersenyum dan berkata. "Terima kasih telah kembali."
Aku belum mengerti apa yang di katakan oleh Bik Ijum, dia berlalu begitu saja meninggalkanku dan Amira.
Malam itu, ketika sudah berada di peraduan, perasaanku tidak karuan. Sudah beberapa hari kami menikah, tapi baru malam ini aku dan Kak Gilang tidur satu ranjang. Aku gelisah. Aku khawatir, Kak Gilang meminta haknya.
Kak Gilang melangkah masuk ke dalam kamar. Lalu duduk di sofa dengan laptop dihadapannya.
"Tidurlah, aku masih banyak pekerjaan." Ujarnya. Aku menghela napas lega.
Aku pun memejamkan mata dan berlarut di alam mimpi.
*********
Pagi itu, aku di jemput Kak Gilang dari rumah dengan tergesa-gesa. Katanya aku harus ke kantor polisi untuk memberi kesaksian. Sesampai di kantor polisi, aku melihat Dela menangis tersedu, disampingnya ada Gio yang tangan kanannya terluka.
"Dela …" aku memanggil Dela yang tengah terisak. Dela berhambur memelukku.
"Kakak, Dela takut." Dela memeluk erat tubuhku.
"Gio, ada apa ini?" Tanyaku pada Gio.
"Kak, Tante Tika menyuruh para rentenir menculik Dela di sekolah. Untung aja aku cepat datang. Kalau tidak, bidadari surga ini sudah tidak bisa bertemu kakak lagi," ujar Gio dengan selorohnya.
"Lalu, tanganmu kenapa?" Aku mengernyitkan Dahi melihat tangan Gio yang berdarah.
"Wuisss, ini tidak apa-apa kakak iparku Sayang, semua aku lakukan demi bidadari surgaku," ujar Gio dengan cengirannya.
"Gila kamu, Risa! Kamu memenjarakan Tantemu sendiri?" Tante Tika muncul dengan tangan di borgol.
Aku memandang wajah Kak Gilang. Meminta penjelasan.
"Perempuan serakah itu, sudah menjualmu padaku. Lalu masih berusaha menculik Dela untuk dijual kepada para rentenir." Kak Gilang menatap Tante Tika dengan tajam.
"Jangan ikut campur kamu, Gilang!" Tante Tika berteriak keras.
"Aku tidak akan ikut campur jika yang kamu sakiti orang lain. Tapi masalahnya, Dela adalah orang yang disayangi istriku." ujar Kak Gilang tegas.
Tante Tika digiring polisi menuju jeruji besi.
"Bu, kenapa ibu tega melakukan ini pada Dela, Bu?" Dela menangis menatap Tante Tika di balik jeruji besi.
"Kenapa aku harus tidak tega?" Sungut Tante Tika.
"Dela ini anak Ibu, Dela nggak nyangka, Ibu tega memperlakukan Dela seperti ini, dimana hati nurani ibu?" ujar Dela dengan terus terisak.
"Hahaha, siapa bilang kamu anakku, hah?" Tante Tika melotot menatap Dela.
"Apa maksud Tante?" Aku maju dan mengepalkan tanganku.
"Iya, Dela bukan anakku. Dela adalah anak sahabatku yang meninggal ketika dia masih bayi," ujar Tante Tika membuat aku dan Dela tidak percaya.
"Aku di beri sahabatku warisan untuk menjaga dan merawat Dela, makanya aku jauh lebih sayang Dela yang bukan siapa-siapa dibandingkan kamu, keponakanku sendiri," ujar Tante Tika menuding ku dengan jarinya.
"Apa?" Dela merosot ke lantai.
"Iya, kamu adalah anak sahabatku. Sebelum meninggal, ibumu banyak memberikan aku uang untuk membiayai hidupmu, tapi … semenjak kamu begitu baik pada Risa, aku mulai membencimu juga." Tante Tika mencebikkan bibirnya.
"Tidak mungkin … itu tidak mungkin." Ujar Dela menutup telinga dengan kedua tangannya.
Aku mendekati Dela dan memeluknya dengan erat.
"Katakan, di mana makam ibu Dela?" Kak Gilang menatap tajam ke arah Tante Tika.
"Aku tidak akan memberitahukan kalian, jika kalian tidak mengeluarkan aku dari tempat terkutuk ini," ujar Tante Tika seraya memegang erat jeruji besi.
"Baiklah! Pengacara saya akan mengurus kasus anda. Saya pastikan, anda mendekam di penjara selama-lamanya." Kak Gilang menggenggam tanganku dan meminta Gio membantu Dela untuk berjalan.
Ketika di dalam mobil, kami semua hanya terdiam. Dela masih terisak dalam pelukanku.
Gilang memarkirkan mobil di halaman rumah Tante Tika.
"Ngapain kita ke sini, Kak?" Tanyaku.
Kak Gilang menatapku sesaat, lalu mengisyaratkan untuk masuk ke dalam rumah Om Herman.
"Om …."
Aku berlari mendekati Om Herman yang seperti kepayahan di tempat tidur. Om Herman meneteskan air matanya melihat kedatangan kami.
"Om, Om kenapa?" Aku memeluk sosok yang selama belasan tahun telah merawat ku dengan baik.
"Ma-maafkan Om, Risa, Dela …." Om Herman bicara dengan terbata-bata.
"Sssttt … Om jangan bicara dulu," ujarku seraya menatap Kak Gilang.
"Kak, aku Mohon, bawa Om kerumah sakit. Om pasti kesakitan." Aku meraih tangannya dan menggenggam dengan erat.
"Gio, panggil ambulans," ujar Kak Gilang menatap Gio dengan wajah datar.
"Dela …." Om Herman memanggil Dela. Aku dan Dela segera mendekat. Om Herman memberikan sepucuk surat dan sebuah alamat. Alamat pemakaman umum.
"Ayah sayang sama Dela," Om Herman mengusap rambut Dela dengan kasih sayang.
"Om juga sayang sama Risa," ujar Om Herman mengusap pucuk kepalaku.
Aku dan Dela memeluk Om Herman dengan deraian air mata. Sosok ini, begitu menyayangi dan memanjakan kami ketika kami masih kecil. Hanya saja, sejak sakit dan tidak mampu bekerja, Om Herman menjadi penurut pada Tante Tika dan sering membentuk kami.
Ambulans datang dan membawa Om Herman kerumah sakit. Aku dan Dela mondar-mandir di depan ruang operasi. Karena ternyata kondisi Om Herman sudah sangat parah. Aku duduk di bangku rumah sakit, ketika tangan kekar itu kembali menggenggam tanganku, kali ini meraihku dalam dekapannya, dan menenangkan perasaanku yang tidak menentu.
Dokter keluar dari ruang operasi, menatap kami dengan wajah sedih.
"Dokter, bagaimana keadaan Om saya? Beliau selamat, kan?" Aku memegang pundak dokter berhijab tersebut.
"Dokter, Om baik-baik saja, kan?" Aku kembali mengguncang pundak tersebut.
Sebuah tangan kekar memegang pundakku, dan memelukku dari belakang.
Dokter masih diam seribu bahasa, menatap kami dengan tatapan yang tidak dapat aku artikan.
"Dokter, bagiamana keadaan Ayah?" Dela melangkah maju dan menatap dokter dengan penuh linangan air mata.
"Kami sudah berusaha semaksimal mungkin. Tapi, Allah berkata Lain, orang tua kalian tidak dapat kami selamatkan. maaf!" Ucapan Dokter itu serasa petir menyambar. Tubuhku kaku. Dela luruh di lantai. Aku terhuyung, tangan kekar itu menyambut tubuh mungilku.
Dunia serasa berhenti berputar. Bagaimana mungkin Om meninggal secepat ini. Padahal ketika aku menikah, Om bahkan masih menjadi wali nikahku.
"Ya Tuhan, apa sebenarnya yang terjadi?" Aku menangis, mengingat kembali semua kenangan manis kami ketika masih kecil.
"Om Herman, Risa sayang sama Om, maaf, Risa bahkan belum bisa membahagiakan Om Herman" aku mencium wajah pucat tersebut sebelum perawat menutupnya dengan kain kafan.
*****
Bersambung
