Sepucuk surat
Kak Gilang membantuku dan Dela mengurus pemakaman Om Herman. Kak Gilang melarangku untuk memberi tahu kepada Tante Tika akan kabar duka ini.
"Aku yakin, perempuan biadab itu tidak akan merasa kehilangan," ujar Kak Gilang datar ketika aku meminta pendapatnya.
Setelah pemakaman selesai, kami kembali kerumah Om Herman untuk membersihkan rumah tersebut. Sedih, itu yang aku rasakan. Aku duduk sendiri di depan teras rumah. Mengingat kenangan masa kecil dulu. Disini, dulu kami selalu menyambut Om Herman pulang kerja dengan membawa makanan ataupun mainan untukku dan Dela. Disini juga Om Herman sering mengajak kami bermain pesawat terbang atau kuda-kudaan. Air mata kembali membanjiri pipiku.
"Sudahlah, jangan berlarut dalam kesedihan, kita do'akan saja semoga Om Herman tenang di sana," ujar Kak Gilang, duduk di sebelahku. tangannya menggenggam tanganku. Memberi rasa hangat dan nyaman. Aku menatap matanya yang tajam, sorot mata yang awal mulanya membuat aku takut, namun akhir-akhir ini memberi rasa nyaman.
"Kak ...."
Dela menyerahkan sepucuk surat yang diberikan oleh Om Herman kepadanya.
Aku memandang Kak Gilang, meminta pendapatnya tentang surat tersebut.
"Bukalah, mungkin ada petunjuk di sana," ujar Kak Gilang tersenyum kepadaku.
Aku membuka surat dengan hati-hati. Sebuah tulisan yang sangat indah dengan tutur bahasa yang lembut.
[Dela, ketika kamu membaca surat ini, mama sudah tidak ada lagi di sisimu, maafkan mama, yang tidak bisa bertahan melawan rasa sakit ini. Maafkan mama, yang meninggalkanmu tanpa kamu melihat wajah mama terlebih dahulu. Mama menitipkanmu pada Tante Tika dan Om Herman, karena mama yakin, mereka adalah orang baik, yang nanti akan menyayangimu dengan sepenuh hati. Mama awalnya berniat untuk menitipkanmu pada panti asuhan beserta seluruh aset keluarga, namun, ketika mama mendengar kalau Tante Tika bisa memiliki anak, mama memutuskan untuk menyerahkanmu beserta seluruh aset keluarga kepadanya. Nak, sayangilah Tante Tika sepeti mama kandungmu. Jadilah anak yang baik, yang nanti bisa mendoakan mama. Mama sayang Dela.]
Dela terisak mendengar aku membacakan surat tersebut. Didalam amplop juga terdapat Poto Tante Tika dan seorang perempuan yang cantik. Mungkin, itu adalah Mamanya Dela. dan terdapat juga sebuah alamat. Aku menyerahkan alamat tersebut kepada Kak Gilang.
"Kita langsung kesana," ujar Kak Gilang sembari menggenggam tanganku dan membawa menuju mobil. Kami berempat meninggalkan rumah Om Herman, yang ternyata adalah rumah milik ibunya Dela yang diwariskan kepada Dela.
Mobil terus melaju hingga berhenti di sebuah pemakaman. kami menanyakan nama mama Dela kepada penjaga makam. Disana, penjaga memberi tahu makam mamanya Dela.
Dela duduk dengan tangisan yang pecah, Dela mengusap batu nisan yang sudah mulai berlumut tersebut. Kami membacakan do'a untuk mamanya Dela. Setelah itu langsung pulang.
"Dulu, Bu Tika dan suaminya sering kesini, mengunjungi makam ini. Tapi sudah hampir tujuh tahun, Bu Tika tidak lagi pernah hadir dan membayar biaya pemakaman." ujar penjaga makam.
Kak Gilang mengulurkan beberapa lembar uang berwarna merah. "Mulai hari ini, tolong bersihkan makam ini dengan baik, Pak" ujar Kak Gilang menatap dan menepuk pundak bapak tua itu perlahan.
*Ayo, kita pulang," tangan kekar itu kembali menggandengku dengan penuh kenyamanan.
"Dela, kamu mau ikut tinggal bersama kami, atau mau tetap di apartemen bersama Yesi?" Kak Gilang menatap Dela dari kaca spion mobil.
Dela menatapku meminta pendapat. Aku hanya mengusap tangannya dan memberi kekuatan. "kalau Kakak mengizinkan, Dela mau tinggal di Apartemen saja, bersama Kak Yesi," sahut Dela kembali menatapku.
"eth dah ... bidadari surga kenapa nggak tinggal dirumah Kak Gilang aja, kan ada Aak Gio yang super duper ganteng," Gio langsung menyela perkataan Dela.
pletakk
Kak Gilang kembali menjitak kening Gio.
"Busyet, Aak, doyan benar, setiap hari jitakin kening adiknya yang imut selangit ini," ujar Gio lagi.
"Mulut Lo berisik, bisa diam nggak!" Kak Gilang mengangkat tangannya dan ingin kembali menjitak kening Gio, namun, Gio lebih dahulu menghindar. Tingkah kedua bersaudara itu membuat kesedihan yang tercipta sedikit berkurang.
Gio menoleh ke belakang, dan menatap Dela dengan cengirannya. "Ayang beb, jangan khawatir, Aak Gio akan selalu menjemput ayang Beb di Apartemen. Supaya Ayang Beb aman nyaman terkendali."
Dela hanya mencebikkan bibirnya.
"Kak, bolehkah aku pergi dan pulang sekolah tanpa dijemput Gio?" tanya Dela dengan suara tertahan
"Tidak," Kak Gilang menjawab singkat.
Dela menundukkan kepalanya. Aku kembali mengusap tangannya dan memberi pengertian akan keputusan Kak Gilang melalui tatapan mataku.
"Ayang Beb, koq menolak diantar Aak, Sih?" Gio kembali menoleh kebelakang.
"Lo bisa duduk yang benar, nggak?" Kak Gilang menatap tajam ke arah Gio.
"ya elah, Lo orangnya kaku amat Kak, Gue cuma pengen nengok bidadari surga aja," Gio memperbaiki posisi duduknya menatap ke depan.
"Risa, hubungi Amira. Beritahu dia, malam ini kita tidak pulang," ujar Kak Gilang.
"Baik, Kak ...."
Aku menelpon Amira dan memberi tahu kalau kami tidak pulang, awalnya Amira merengek minta aku tetap pulang. Namun, ketika mendengar Kak Gilang berdehem, Amira menghentikan kalimat protesnya, dan mengiyakan perkataanku.
"Malam ini, kita nginap di Apartemen," ujar Kak Gilang ketika mobil sudah sampai di halaman Apartemen.
"Yes, bahagianya hati gue, Kak." Gio berhambur turun dan membuka pintu mobil Dela.
Dela turun dari mobil tanpa memandang Gio dan langsung menuju Apartemen. Gio mengejar Dela dengan selorohnya.
Kak Gilang meraih tanganku dan menggenggamnya seperti biasa. Tanpa biacara, tanpa menatap. Aku mengikuti langkah kaki nya yang lebar dan selalu tergesa-gesa.
********
setelah menikmati makan malam, Dela dan Yesi kembali ke kamar, sedangkan Kak Gilang dan Gio duduk di sofa ruang televisi.
Aku mengambil bantal san selimut, lalu menyusunnya di Sofa, agar Kak Gilang tidur dengan Nyaman.
"Kak, Lo setuju kan, kalau Gue deketin sepupu Lo?" ujar Gio menatapku dengan senyuman, ketika aku menata bantal di Sofa.
"Sekolah dulu yang benar, kalau Lo pacaran, yang jajan Lo gue potong," jawab Kak Gilang dengan datar.
"et dah, sekolah tanpa kisah cinta itu, hambar kali, Kak," Gio berbaring sembari mencibir Kak Gilang. Namun, yang dicibir tidak merespon.
Aku kembali ke kamar dan mengecek keadaan Dela. Sepertinya, Dela masih terpukul dengan kenyataan yang baru saja di ketahuinya. Suara Gio sudah tidak terdengar lagi. mungkin sudah tidur. Aku berjingkat keluar, ingin mengecek Kak Gilang dan Gio barangkali membutuhkan sesuatu.
Ternyata benar, Gio sudah tidur, aku melangkah mendekati sofa dan memandang wajah Kak Gilang. Aku duduk bersimpuh, menatap seraut wajah tampan yang berstatus suamiku. Aku memberanikan diri untuk membelai rambutnya, aku berniat untuk mencium keningnya. Akh, apa-apaan ini? aku bahkan tidak pernah bersentuhan dengan lelaki seumur hidupku, namun, apa salahnya jika aku mencium kening Kak Gilang sebagai tanda terima kasihku untuk semua kebaikan yang telah diberikannya kepadaku.
Cup
aku mencium kening Kak Gilang, namun, Kak Gilang membuka matanya. Sial, aku ketahuan. Aku malu bukan main. Aku memutuskan untuk beranjak dari hadapannya. Tapi, Kak Gilang menahan tanganku, dan menunjuk bibirnya.
"hah?" Aku terkejut
"sstt," Kak Gilang menempelkan telunjuknya di bibirku. Lalu kembali menunjuk bibirnya.
Aku melihat ke arah Gio yang tidur membelakangi kami, Kak Gilang kembali menyentuh tanganku dan menunjuk bibirnya. Ya Tuhan, apakah aku harus melakukannya? Aku memejamkan mata dan mencium bibir Kak Gilang dengan lembut. Ini. ciuman pertamaku, Dimiliki oleh Kak Gilang, lelaki yang berstatus suamiku.
******
Bersambung
