8. Rumah Aznan
Aznan kembali mencium bibir Dion ketika dirinya merasa bahwa Dion tidak melawan ataupun mengelak saat dirinya mencium bibir tipis merah pudar itu.
Ia tidak berniat untuk menutup matanya, dirinya ingin melihat keindahan wajah Dion yang saat ini terpejam sambil dengan bibir yang membalas perlahan lumatan Aznan yang sudah terjadi beberapa detik.
Namun seiring ciuman itu semakin mendalam, Aznan pun akhirnya memejamkan matanya dan mulai menikmati ciuman yang kini mereka berdua lakukan tepat di atas ranjang milik Aznan. Suasana hangat yang tadinya terjadi di ruangan itu pun kini berubah menjadi panas sehingga menimbulkan sedikit keringat di dahi keduanya. Apalagi saat Aznan mulai bergerak dan mengganti posisinya menjadi berada di atas tubuh Dion yang saat ini berbaring di bawahnya.
Dion ingin menyentuh wajah Aznan dengan kedua tangannya. Namun hal itu segera di hentikan oleh Aznan yang sigap menahan tangan Dion dan menekan kedua tangan tersebut di atas ranjang tepat berada di samping kepala Dion. Dan saat ini posisi mereka terlihat begitu panas, dengan Aznan yang menahan kedua tangan Dion dengan bibir yang terus melumat satu sama lain yang lambat-laun bertambah panas dan penuh dengan nafsu.
Ciuman itu terlepas untuk beberapa detik, nafas keduanya mulai menipis dan hal ini di gunakan untuk menghirup nafas sebanyak mungkin. Mereka melakukannya sembari menatap satu sama lain dengan kedua dada yang memburu dan jantung yang berdetak kencang. Tidak ada ucapan apapun yang keluar dari mulut keduanya. Hanya ada senyuman hangat yang di berikan Aznan yang tentu saja langsung di balas oleh Dion.
Detik berikutnya, Aznan kembali memajukan wajahnya. Begitu juga dengan Dion yang siap menerima ciuman selanjutnya dari Aznan, ia sudah memejamkan matanya sambil menunggu bibirnya kembali tersentuh oleh bibir tipis milik Aznan.
"Emhhh, akhh." desah Dion yang tidak sengaja keluar dari bibirnya. Ia segera membuka matanya begitu dirinya sadar kalau ciuman yang ia harapkan tidak terjadi, karena Aznan kini malah mengecup dan menghisap lehernya yang menimbulkan sensasi aneh yang baru kali ini ia rasakan.
"Azzhhh..lo ngapainh?" tanya Dion yang masih disertai dengan desahannya.
Aznan mengabaikan pertanyaan itu dan melanjutkan aksinya mengecup setiap inci leher Dion yang berbau coklat yang sudah biasa Aznan hirup selama ia dekat dan selalu bersama dengan Dion. Belum puas sudah mengecupi sebagian leher Dion yang tentu saja membuat Dion terus mendesah akibat perbuatan tersebut, Aznan pun beralih ke bagian leher Dion yang lainnya. Ia kembali mengecup leher itu, namun karena masih merasa belum puas. Aznan pun dengan kuat menghisap leher Dion dan dalam waktu yang cukup lama, Aznan menggigit leher itu sedikit kuat.
"Akhhhh. Sakit, Nan." ucap Dion sedikit memberontak. Namun Aznan lagi-lagi mengabaikan Dion dan tetap melanjutkan aksinya sampai akhirnya ia merasa cukup dan menyudahi kegiatannya mengigit leher Dion. Ia melihat leher itu dan tersenyum senang melihat hasil yang telah ia perbuat.
Aznan beralih menatap Dion yang masih dengan nafas memburu menatapnya. Lalu setelahnya Aznan kembali menyatukan bibirnya dengan bibir Dion, dan ciuman penuh nafsu itu pun kembali terjadi.
Dion segera mengalungi wajah Aznan begitu kedua tangannya sudah bebas. Kini ia merasa leluasa dengan ciuman yang mereka lakukan. Apalagi saat Aznan mulai membuka satu-persatu kancing seragam baju yang ia kenakan. Membuat sesuatu yang berada di bawahnya berdiri tegak seiring dengan ciuman Aznan yang melambat dan beralih dari bibirnya menuju lehernya yang hanya di kecup singkat, karena setelahnya Aznan beralih ke bahu Dion dan berakhir tepat di bagian puting Dion yang berwarna coklat kemerahan. Tanpa menunggu lama, Aznan segera melahap puting tersebut dan menghisapnya kuat.
Dan lagi-lagi sensasi yang Dion rasakan begitu sangat nikmat dan membuatnya kembali mendesah kuat dengan kedua tangan yang menjambak pelan rambut Aznan yang saat ini sibuk menghisapi putingnya.
Bunyi tiap hisapan yang Aznan lakukan terdengar jelas di telinga Dion dan itu membuat benda yang tegang di selangkangannya bertambah berdiri tegak yang terasa sesak di dalam sana. Apalagi saat Aznan beralih ke puting satunya dan melakukan hal yang sama disana yang membuat Dion tidak tahan hingga akhirnya memilih untuk mengakhiri apa yang Aznan lakukan, lalu duduk bersandar di atas ranjang sambil menatap Aznan yang menatapnya bertanya.
"Udah, Nan. Gue bakal keluar kalo lo terus gitu ke gue. Lebih baik gue selesain ini di kamar mandi aja." ucap Dion lalu berniat berdiri dari sana. Namun Aznan segera menahannya, dan membuat Dion kembali duduk di ranjangnya dalam sekali tarikan.
"Keluarin disini aja, Yon. Gue bakal selesain secepet mungkin." ucap Aznan.
Dion menggeleng menolak. Sejujurnya dia merasa malu atas apa yang telah mereka lakukan. Ini adalah tahap terjauh yang mereka lakukan selama ini. Entahlah ide darimana mereka bisa berakhir di kamar Aznan dan melakukan hal yang tidak seharusnya.
Melihat Dion yang terdiam, membuat Aznan sedikit gemas karena benda miliknya juga sudah berdiri tegak yang tentu saja tidak bisa lemas lagi sebelum di selesaikan apa yang seharusnya terjadi. Oleh karena itu, tanpa persetujuan Dion, ia segera menarik bahu Dion dan membuat Dion sedikit terkejut karena saat ini tubuhnya sudah kembali terbaring di atas ranjang, begitu pula dengan sosok Aznan yang mengambil posisi sebelumnya namun kali ini dengan tubuh yang tanpa pakaian dan memperlihatkan setiap lekuk tubuh yang ia miliki.
Dion yang melihat setiap inci tubuh yang Aznan miliki terdiam. Ia sedikit susah menelan ludahnya begitu dirinya menyadari betapa bagus dan indahnya tubuh yang Aznan miliki. Dengan perut kotak-kotak dan keringat yang mengalir disekitarnya, membuat Dion kembali merasakan ereksi dengan tubuh yang panas dan nafsu yang kembali membara.
Aznan menyentuh kancing celana Dion, lalu detik berikutnya ia membuka tautan celana tersebut dan menurunkannya sehingga saat ini terlihat jelas celana dalam yang Dion kenakan, begitu juga dengan benda keras yang bersembunyi di balik celana dalam ketat tersebut.
Sebelum menyentuh benda itu, Aznan menyempatkan dirinya untuk menatap Dion yang memejamkan matanya kuat tanda ia seperti menahan sesuatu yang membuatnya tegang. Melihatnya, Aznan pun mendekat dan mencium pelan bibir Dion sambil dengan satu tangan yang ia gunakan untuk mengelus pelan pipi Dion yang terasa lembut itu.
"Rileks, Yon." bisik Aznan setelah ia mengecup pelan bibir itu.
Dion yang mendengarnya, perlahan membuka matanya dan mendapatkan sosok Aznan yang berjarak sangat dekat di depannya. Sementara, Aznan segera memasang senyum hangat dan kembali mendekatkan wajahnya untuk mengecup singkat mata Dion yang dengan refleks terpejam akibat perbuatan Aznan.
"Kalo lo emang belum siap. Ok, kita selesai." ucap Aznan tenang, namun sangat jelas ia tengah menahan sesuatu. Apalagi saat Dion merasakan benda keras yang besar menyentuh perutnya.
"Gue selesain di kamar mandi, ya. Lo nunggu gue di bawah aja. Bentar lagi makan malam di mulai." ucap Aznan yang hanya di balas anggukan oleh Dion.
Setelahnya, Aznan pun bangkit dari atas tubuh Dion lalu beranjak dari sana sambil berjalan kecil menuju kamar mandi yang jaraknya tidak jauh dari ranjang.
Sementara Dion masih diam di tempat sambil merilekskan dirinya sebelum akhirnya ia duduk dan mulai menutup kembali apa yang sudah Aznan buka terhadap pakaiannya. Benda padat yang tadinya tegak kini sudah melemas yang tandanya kalau ereksi yang ia rasakan sudah menghilang seiring dengan waktu yang terus berjalan.
Dion bangkit dan berjalan mendekat ke arah cermin besar yang menyatu dengan lemari besar di depannya. Ia melihat dirinya yang sedikit berantakan, dengan rambut yang sudah tidak tertata dan bajunya yang kancingnya tidak sesuai dengan lubang yang seharusnya. Menyadari hal itu, Dion segera memperbaikinya dan mulai merapikan apapun yang berantakan terhadap penampilannya. Setelah itu ia pun melirik sebentar ke arah kamar mandi yang di masuki Aznan tadi.
Pasti dia lagi coli sekarang. Batin Dion begitu ia sadari tidak ada suara gemercik air yang keluar dari sana.
Ia terkekeh kecil memikirkan cara Aznan coli dan ukuran benda yang Aznan miliki. Namun Dion segera menggelengkan kepalanya begitu ia merasakan wajahnya memanas akibat memikirkan hal itu, apalagi saat ia mengingat tubuh indah milik Aznan tadi. Membuat Dion panas dingin dan itu tidak baik baginya. Ia tidak mau kejadian beberapa menit yang lalu kembali terjadi.
Niat awalnya Dion datang ke rumah Aznan adalah karena Aznan mengajaknya kesini dengan alasan ingin memperkenalkan dirinya kepada kedua orang tua pacarnya itu. Sebenarnya Dion menolak. Tentu saja itu akan menjadi hal yang canggung jika ia harus bertemu kedua orang tua Aznan. Apalagi niat Aznan ingin memperkenalkannya adalah karena mereka berdua sudah ketahuan oleh Bunda Dion, jadi Aznan ingin membuatnya adil dengan memperkenalkan Dion kepada kedua orang tuanya. Yang tentu saja akan di kenalkan sebagai teman.
Tidak mau berlarut dalam pikirannya. Dion segera melangkahkan kakinya dan berjalan mendekat ke arah pintu keluar untuk menyelesaikan apa yang Aznan suruh padanya tadi. Yaitu, menunggunya di lantai bawah. Namun saat ia hampir sampai menuju tangga penghubung lantai atas dan bawah. Sosok gadis yang Dion kenal memanggilnya dan membuatnya menghentikan niatnya untuk turun ke bawah.
Gadis itu mendekat dan menatap datar Dion yang malah tersenyum ramah kepadanya.
"Hey, Sar. Apa kabar?" sapa Dion begitu gadis yang bernama Sari itu sudah berhenti di hadapannya.
"Nggak usah sok peduli deh lo. Disini gue mau to the point." ucap sarah yang hanya di tanggapi oleh bibir Dion yang menyimpulkan huruf O.
"Gimana. Lo udah ngaku kalah? Lo pasti udah suka sama abang gue kan?" ujar gadis itu yang ternyata memang benar-benar to the point.
Dion terdiam. Pertanyaan itu sangat tepat mengenai hatinya. Ia merasakan getaran aneh yang terasa menyakitkan saat pertanyaan itu ia dengar. Dirinya memang belum mengaku kalah, apalagi sampai mengungkapkan kata suka pada Aznan. Karena sejujurnya ia tidak pernah memikirkan hal itu selama ia bersama Aznan. Namun saat mendengar pertanyaan itu untuk kedua kalinya setelah Bundanya bertanya kemarin. Entah kenapa, ini begitu membebaninya. Ia tidak bisa menjawabnya karena dirinya sendiripun bingung akan perasaannya yang sebenarnya. Oleh karena itu ia memilih diam tanpa menjawab, sama seperti dengan yang ia lakukan terhadap Bundanya.
"Tapi gue harap lo nggak beneran suka sama Abang gue, Yon. Karena hal itu tetaplah nggak bener. Gue emang berniat buat bales dendam sama elo. Tapi gue bener-bener nggak bermaksud untuk ngebuat lo suka sama Abang gue, sampe lo ngerasain rasa sakit karena ditinggalin nantinya, karena sejujurnya gue melakukan ini gara-gara gue masih menyimpan perasaan sama elo, Yon. Gue masih suka sama elo." jelas cewek itu kepada Dion yang hanya memperhatikannya tanpa berniat untuk menjawab.
Sari berniat ingin kembali berucap, namun segera di urungkan oleh Aznan yang kini sudah keluar kamar dan memanggil nama Dion lumayan kencang. Dion menoleh dan tersenyum simpul menatapnya.
Aznan mendekat lalu menaruh satu tangannya untuk merangkul bahu Dion.
"Kalian ngomongin apa?" tanya Aznan begitu ia sudah berhadapan dengan Adiknya dan juga Dion.
Dion menggeleng, lalu melepaskan rangkulan tangan Aznan perlahan.
"Sorry, Nan. Kayaknya gue harus pulang. Bunda udah nelpon gue tadi." ujar Dion tanpa menatap Aznan.
Aznan yang mendengar itu sedikit tidak terima, lalu ia pun membalas. "Terus gimana sama acara makan malam dan pertemuan sama ortu gue?" tanyanya.
"Kita lakuin di lain waktu ya. Bunda lagi butuh bantuan gue sekarang. Maaf." balas Dion lalu berniat segera berlalu dari sana. Namun satu tangannya segera di tahan oleh Aznan dan menyebabkan Dion berhenti dan menoleh menatapnya.
"Gue anter." ucap Aznan.
"Nggak usah. Gue bisa pesen gojek." balas Dion lalu segera menarik tangannya agar terlepas dari genggaman Aznan.
"Sorry." ucap Dion sebelum akhirnya berjalan menuruni tangga dan menghilang setelah dirinya sudah tidak terlihat lagi di kedua mata Aznan.
Menyadari hal itu, Aznan pun beralih untuk menatap Adiknya, Sari. Pandangan yang tadinya terlihat ramah, kini menjadi datar setelah dirinya menyadari kalau perubahan mood Dion pasti terjadi karena ulah adiknya itu.
"Apa yang lo omongin ke dia sampe moodnya berubah kayak gitu?" ucap Aznan yang turut bernada datar seperti tatapannya.
Sari mengedikkan kedua bahunya, "Mana gue tau. Gue cuma ngomong jujur kalo gue ngelakuin balas dendam ini karena gue masih punya perasaan sama dia. Dan bilang kalo lo bawa dia kerumah supaya gue bisa ngomong itu sama Dion." ujar Sari.
Mendengar itu membuat Aznan marah, namun mengingat kalau gadis di depannya ini adalah adiknya. Ia pun berusaha menahannya.
"Lo." suara Aznan dengan satu telunjuk menunjuk Sari.
"Jangan pernah ganggu Dion lagi, dan ngucapin kata-kata bego yang bikin mood dia berubah." peringat Aznan menatap tajam Sari.
Sari yang mendengarnya terlihat tidak suka, ia pun membalas.
"Gue mantannya! Jadi terserah gue dong mau ngomong apa aja sama dia. Apa urusannya sama elo coba? Lo berurusan sama dia aja gara-gara misi balas dendam." ucap cewek itu.
"Gue pacarnya." ucap Aznan telak.
"Dan mulai sekarang, gue nggak peduli sama misi balas dendam itu. Dion milik gue, dan lo nggak boleh ganggu apalagi sampe ngucapin kata-kata nggak berguna kayak tadi." tambah Aznan yang membuat Sari terpaku untuk beberapa detik mendengarnya.
"T-tapi, K-kak." ucap Sari terbata.
Aznan langsung berbalik dari sana dan berjalan dengan langkah angkuh menuju kamarnya meninggalkan Sari yang terdiam menatap punggung Aznan dengan perasaan yang terkejut atas pernyataan Kakaknya itu. Ia hanya bisa diam tanpa melakukan apapun, sampai akhirnya Aznan masuk ke dalam kamarnya. Sari pun terduduk lemas setelah ia merasakan lega begitu sosok Aznan sudah tidak ada di hadapannya.
Dan kini ia diam dengan pikiran yang kacau dan hati yang hancur.
• • •
"Liat Dion nggak?" tanya Aznan pada Wanda yang sedang memainkan ponselnya.
Wanda menoleh lalu menggeleng pelan.
"Nggak. Emang dia nggak bareng lu apa? Kan lu pacarnya." ujar Wanda. Mendengar itu, sudah cukup bagi Aznan kalau Wanda memang tidak tau keberadaan Dion
Ia pun beralih dan menatap seluruh kelas untuk mencari seseorang untuk di tanyai. Namun sepertinya ia tidak terlalu kenal orang-orang yang ada disini. Jadi dirinya mengurungkan niatnya untuk bertanya tentang keberadaan Dion saat ini.
Bukan apa, ini adalah istirahat kedua. Dan ini juga yang kedua kalinya Dion menghilang saat istirahat. Aznan bingung dan memikirkan apa kesalahannya kali ini. Tapi nihil, dia tidak tau apa kesalahannya, dan alasan kenapa Dion seperti menghindarinya.
Apa karena kejadian dua hari yang lalu? Saat mereka berdua ketahuan oleh Bunda Dion? Tapi sepertinya itu baik-baik saja. Sang Bunda pun masih mengizinkannya untuk datang dan mengantar jemput Dion. Jadi sudah pasti bukan itu masalahnya.
Terus apa!? -batin Aznan
Ia mengacak rambutnya kasar tanda dirinya frustasi akan sikap Dion yang berubah padanya. Tidak ada senyuman, tawaan, bahkan di ajak bicara pun hanya iya-iya saja. Ini membuatnya bingung yang hampir gila.
"Woy, Nan! Lo nyari Dion kan?" ujar salah satu murid yang baru saja masuk ke dalam kelas.
Aznan segera mengangguk membenarkan.
"Dia ada di deket pohon gede di belakang gudang. Gue barusan dari gudang tadi dan nggak sengaja ngeliat dia." ujar cowok itu.
Mengetahui hal itu, Aznan tanpa membuang waktu langsung beranjak dari tempatnya lalu berlari keluar kelas untuk segera menyusul Dion setelah sebelumnya ia mengucapkan terima kasih pada pemberi informasi tersebut.
Larian kencang yang Aznan lakukan kini perlahan menjadi pelan seiring dirinya sampai ke tempat yang di maksud oleh cowok yang tidak sempat ia tanyai namanya itu. Dari sini Aznan bisa melihat Dion yang duduk membelakanginya sambil dengan kepala yang di sandarkan di batang pohon besar tersebut.
Awalnya Aznan bertanya-tanya apa yang membuat Dion duduk sendirian disana di bawah pohon besar yang katanya memiliki penghuni gaib di sana. Namun Aznan tidak mau mengambil pusing dengan pertanyaan itu. Yang penting saat ini ia menemukan sosok Dion, dan mengetahui tempat persembunyian Dion selama dua hari terakhir ini.
Menghela napas sebentar. Aznan pun mulai melangkah pelan ke arah Dion sambil terus memandangi punggung Dion yang terlihat sangat pas jika dirinya peluk dari belakang.
Aznan segera menggelengkan kepalanya saat pikiran itu muncul di otaknya. Ini tidak benar. Ia tidak boleh memikirkan hal semacam itu saat ini. Ia harus fokus dan menanyakan apa yang terjadi sebenarnya dengan Dion sehingga menghindarinya seperti ini.
"Hey." sapa Aznan sambil mendudukkan dirinya di samping Dion.
Dion yang sedikit kaget pun segera menegakkan tubuhnya lalu menoleh ke sampingnya.
"Gimana lo bisa tau gue ada disini?" tanyanya.
Aznan berpura-pura berpikir untuk menjawab pertanyaan itu, namun pada akhirnya dia memilih untuk merahasiakan dari mana ia mengetahui tempat persembunyian Dion dengan berkata.
"Gue nebak aja." ujarnya. Dion mengangguk paham, lalu menaruh kepalanya di bahu lebar milik Aznan sambil memfokuskan matanya untuk melihat beberapa tanaman liar yang terhampar beberapa meter di depannya.
"Dua hari ini gue galau, Nan. Makanya gue sering kesini." ujar Dion mulai bercerita tanpa di tanya.
"Disini ngebuat lo tenang?" tanya Aznan. Dion pun mengangguk menjawabnya.
"Kalo lo galau, kenapa lo nggak cerita sama gue? Gue pikir lo menghindar dari gue. Makanya gue kalang kabut nyariin lo." ujar Aznan jujur.
Dion terkekeh kecil mendengarnya.
"Tapi akhirnya lo nemuin juga tempat persembunyian gue ya." ucapnya. Dan kini giliran Aznan yang mengangguk.
Hening terjadi dalam beberapa menit dengan empat mata yang memandang objek berbeda. Jika Dion diam sambil menatapi rerumputan, berbeda dengan Aznan yang menatapi wajah Dion yang bersandar di bahunya.
"Lo galau bukan karena masalah yang kita ketahuan sama Bunda lo itu kan?" tanya Aznan yang akhirnya memecah keheningan. Walaupun sebenarnya ia ingin menanyakan apa Dion galau karena ucapan Sari dua hari yang lalu. Namun ia mengurungkannya karena masih merasa kesal dengan Sari yang sudah membatalkan niatnya untuk mengenalkan Dion kepada kedua orang tuanya.
Dion mengangguk. "Tentang itu, Bunda nggak terlalu mempermasalahkannya. Tapi yang bikin gue galau saat ini adalah tentang perasaan gue, Nan." ucap Dion.
Mendengar itu, membuat Aznan sedikit tersentak. Ia mungkin bisa menebak apa yang akan Dion ucapkan dan ceritakan. Namun ia berharap kalau yang ia duga tidaklah terjadi, dan perasaan yang Dion maksud bukanlah tentangnya. Melainkan hal yang lain yang tidak Aznan ketahui.
Dion yang sebenarnya menunggu ucapan dari Aznan yang tak kunjung datang. Akhirnya memutuskan untuk melanjutkan maksud dari kalimat yang ia ucapkan sebelumnya.
"Gue boleh tanya sesuatu?" ujar Dion yang hanya di tanggapi diam oleh Aznan.
"Selama sebulan lebih ini, apa lo merasakan sesuatu di antara kita?" tanya Dion, lalu mendongak untuk menatap wajah Aznan yang saat ini masih menatapnya juga.
Tidak ada jawaban yang keluar dari Aznan. Dan itu sudah jelas, jika yang Dion pikirkan dua hari yang lalu benar adanya.
"Jadi bener cuma gue ya." ucap Dion, lalu mengangkat kepalanya dari bahu Aznan.
Dion diam sebentar untuk mengambil napas dan menghembuskannya perlahan. Setelah itu ia pun menoleh dan tersenyum simpul menatap Aznan.
"Gue pikir perjanjian yang kita bikin udah saatnya berakhir, Nan. Karena....selamat! Lo udah---"
"Stop." potong Aznan datar.
Dion terdiam dengan mata berkedip menatap Aznan bingung. Pandangan Aznan terlihat datar, dan ini tidak seperti biasanya. Apa dia marah? --pikir Dion.
"Jangan ucapin apapun tentang perjanjian atau permainan itu. Karena sampai kapanpun itu nggak akan pernah berakhir. Dan lo jangan pernah bilang suka ke gue. Ngerti?" ujar Aznan memperingati. Lalu setelahnya ia pun berdiri dan berbalik untuk pergi beranjak dari sana, meninggalkan Dion yang bingung sambil menatap kepergian Aznan yang kini sudah menghilang di balik tembok itu.
Entahlah, tapi mendengar penuturan Aznan barusan membuat hatinya terasa sakit. Oleh karena itu, Dion menyembunyikan wajahnya di balik kedua tangannya yang ia letakkan di kedua lututnya. Setelah itu, suara isakan kecil pun terdengar menandakan kalau Dion sedang mengeluarkan apa yang sudah ia tahan selama dua hari ini.
