Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

6. Tugas Kelompok

Aznan membuka kedua matanya begitu dirinya merasakan keheningan di sekitarnya yang mana sebelumnya ia masih mendengarkan kebisingan kelas beberapa saat yang lalu.

Ia memperbaiki posisinya lalu menoleh kesamping kiri untuk mencari sosok Dion-pacarnya-yang sudah hampir seminggu ini duduk bersama-sama di kelas. Dan ya, disana hanya ada kursi kosong yang di isi dengan tas Dion yang masih di letakkan di kursi tersebut. Setelahnya Aznan pun menoleh ke sekitarnya, dan kini dia sadar kalau kelas ini sedang kosong dengan tanpa adanya satu murid pun yang ada di sini. Hanya dirinya dan tas-tas dengan posisi yang sama seperti tas milik Dion lah yang mengisi ruangan kelas ini.

Berbagai pertanyaan pun muncul di otak Aznan. Ia berpikir sejenak untuk mengingat pelajaran apa yang terakhir kali ia perhatikan dan juga pelajaran apa yang saat ini sedang terjadi. Namun nihil. Aznan tidak ingat mata pelajaran apapun hari ini. Sejujurnya, ia tidak pernah memperhatikan pelajarannya. Biasanya pun Aznan sering membolos sekolah. Namun entahlah, akhir-akhir ini dirinya bersemangat untuk datang kesekolah setelah dirinya duduk bersama dan selalu berduaan bersama Dion.

Mata Aznan kembali beralih ke arah tas Dion yang kini ia sadari kalau tas tersebut terbuka lebar dan memperlihatkan beberapa buku yang Dion bawa di dalam tas itu. Melihatnya membuat Aznan menggelengkan kepalanya pelan lalu meraih tas tersebut bermaksud untuk menutupnya kembali. Namun sebelum hal itu terjadi, ia tidak sengaja melihat benda persegi panjang yang biasa di sebut juga dengan sebutan dompet itu di dalam tas Dion.

Rasa penasaran pun menghampiri hati Aznan. Ia segera meraih dompet tersebut dan memperhatikan bentuk dan juga warna dari dompet milik Dion. Selera dompetnya lumayan juga, bagus dan terlihat keren. Namun berbeda dengan isinya yang sangat tidak kontras dengan tampilan dompetnya.

Aznan yang penasaran segera membuka isi dompet itu dan hanya menemukan uang selembar dua ribuan, dan selembar uang seribu. Mengetahuinya, membuat Aznan tersenyum miris lalu segera beralih untuk melihat isi dompet lainnya yang terdapat kartu pelajar, BPJS, dan terakhir foto Dion bersama Bundanya.

Aznan menatap lekat foto tersebut dan memperhatikan ekspresi Dion disana yang terlihat sangat bahagia dengan senyuman lebar hingga menimbulkan lesung pipi di bagian pipi kanannya. Melihat itu membuat perasaan Aznan hangat. Ia tersenyum tipis sambil mengelus foto tersebut lembut. Setelahnya, ia pun meletakkan dompet milik Dion di atas mejanya lalu kemudian Aznan merogoh sakunya dan mengambil dompet miliknya sendiri.

Ia membuka dompet tersebut dan mengambil 3 lembar uang kertas berwarna merah lalu setelahnya Aznan menaruh kembali dompet tersebut ke dalam sakunya. Setelah itu, Aznan kembali meraih dompet Dion di atas meja dan membukanya lebar. Lalu ia memasukkan uang kertas 3 lembar tersebut ke dalam sana, menemani 2 lembar uang yang memang sudah ada, dan kini isi di dalam dompet Dion sudah terisi 5 lembar uang yang tersusun rapi dengan nominal yang lebih besar. Aznan tersenyum tipis, lalu kembali mengelus foto yang terdapat di dompet tersebut dengan perasaan yang hangat.

Suara langkah kaki dari arah luar kelas membuat Aznan tersadar dan segera meletakkan dompet milik Dion ke dalam tas. Lalu dengan cepat ia menutup tas tersebut seperti niatnya di awal tadi. Setelahnya Aznan pun menaruh tas Dion ke kursi sang empunya dan bertingkah seperti ia tidak melakukan apapun saat satu orang mulai masuk ke dalam kelas yang di susul dengan murid lainnya, begitu juga dengan Dion yang masuk dalam keadaan tertawa bersama Wanda saat berjalan mendekat ke arahnya.

"Darimana aja?" tanya Aznan begitu Dion sudah berada di depannya, sementara Wanda memisahkan dirinya ke kursi miliknya sendiri.

Dion tidak langsung menjawab. Ia meminta Aznan agar bergeser sedikit supaya dirinya bisa masuk dan duduk di kursi miliknya. Setelahnya, ia pun sedikit berputar agar dirinya bisa duduk menghadap Aznan yang saat ini juga tengah memperhatikannya.

"Tadi kita semua disuruh kumpul ke aula. Jelasinnya disana. Nggak tau deh kenapa." jawab Dion akhirnya.

Aznan mengangguk kecil menanggapinya.

"Kok lu nggak bangunin gue buat kumpul juga?" tanya Aznan.

"Gue liat lo tidurnya pules banget, Nan. Jadi gue nggak mau bangunin deh. Lo pasti begadang kan semalem sampe ngantuk begitu?" ujar Dion sambil mendekatkan wajahnya ke arah Aznan.

Aznan yang melihat wajah Dion dalam jarak dekat, tidak merasakan risih sedikitpun. Dia malah tersenyum tipis lalu menggunakan satu tangannya untuk menopang kepalanya pada meja.

"Semalem gue ada tanding. Dan baru tidur jam 4 pagi tadi. Makanya gue ngantuk banget." jelas Aznan sambil dengan mata yang menelusuri setiap inci wajah Dion yang entah bagaimana bisa terlihat begitu menawan.

"Lo masih balap liar?" tanya Dion dengan kedua alis hampir menyatu. Nada suaranya pun seperti tidak menyukai pernyataan Aznan barusan.

Aznan mengangguk kecil menjawab pertanyaan itu.

Melihat itu, sebenarnya membuat diri Dion ingin marah. Namun mengingat kalau bukan hak dia untuk melarang apa yang Aznan lakukan. Jadi ia mengurungkan niatnya tersebut lalu tersenyum kecut menatap Aznan.

"Serah lo deh." ujar Dion. Aznan mengangkat satu alisnya mendengar itu. Perubahan nada suara Dion yang tiba-tiba membuatnya paham. Dan itu sudah bisa di pastikan kalau jawabannya barusan tidaklah memuaskan Dion, kekasihnya.

"Lo nggak suka ya gue balap liar?" tanya Aznan setelah memperbaiki posisi duduknya yang kini sudah tegak, dengan mata yang masih memperhatikan Dion yang saat ini tengah membuka tasnya.

Sementara Dion yang mendengar itu menghentikan sebentar pergerakan tangannya, lalu segera menggelengkan kepalanya pelan.

"Bukan urusan gue untuk bilang nggak suka sama apa yang lo lakuin." ujarnya.

Aznan mengerutkan dahinya, "Lo kan pacar gue, Yon. Jadi apapun yang gue lakuin. Itu juga bakal jadi urusan dan jadi hak lo juga. Begitupun dengan gue ke elo."

Kali ini Dion menoleh lalu dengan wajah hati-hati ia menoleh ke sekitarnya untuk memastikan kalau tidak ada siapapun yang memperhatikan mereka. Setelahnya, Dion pun mendekatkan wajahnya ke telinga Aznan.

"Status kita itu cuma pacar taruhan aja, Nan. Jadi udah seharusnya hal-hal yang lo sebutin itu nggak wajib untuk kita lakukan." bisik Dion, lalu kembali ke posisinya semula.

Aznan terdiam. Ia seperti tersadar akan apa yang selama ini ia lakukan. Bersikap manis dan menomorsatukan Dion di pikirannya. Namun, walau ucapan Dion itu benar adanya. Itu tidak menutup kemungkinan kalau yang Aznan ucapkan pun salah. Mereka berdua berpacaran. Biarpun palsu, tapi setidaknya mereka tetap bisa melakukan apa yang pacar sungguhan lakukan kan?

Aznan kembali memfokuskan dirinya terhadap sosok Dion, lalu ia bersiap berkata.

"Tapi gue serius tentang apa yang gue ucapin, Yon. Kalo lo nggak suka sama apa yang gue lakuin. Gue bakal berhenti untuk ngelakuinnya." ucap Aznan yang tenang namun terdengar meyakinkan.

Dion menoleh yang di susul dengan senyuman tipis menghadap Aznan.

"Ok. Kalo gitu lo berhenti balapan mulai hari ini." ujarnya santai.

"Loh, langsung hari ini juga? Gue masih ada tanding malem ini." balas Aznan. Mendengar itu, Dion seketika membuang muka dari Aznan.

"Yodah. Terserah elo." ucapnya yang lagi-lagi bisa Aznan tebak kalau nada itu terdengar sangat tidak mengenakkan.

"Ok, ok. Gue mulai berhenti balap mulai hari ini. Tapi ada syaratnya." ujar Aznan yang tiba-tiba mendapat ide menarik di benaknya.

"Apa?" balas Dion tanpa menoleh. Ia sibuk men-scroll layar ponselnya.

"Lo minta gue untuk berhenti balapan makek gaya manja kayak cewek-cewek imut. Gimana, lo mau?" ujar Aznan sambil menaikkan kedua alisnya dua kali.

Kini Dion menoleh. Ia berkerut menatap Aznan dengan mata yang memicing penuh kecurigaan. Namun pada akhirnya dia kembali menormalkan ekspresinya lalu bertanya.

"Disini? Sekarang?" tanyanya, sambil mata yang melihat sekeliling.

"Terserah lo. Yang penting lo lakuinnya seperti apa yang gue mau." balas Aznan sambil mengangkat kedua bahunya.

"Ok. Gue bakal ngelakuinnya setelah kita nugas kelompok di rumah gue entar. Sekarang gue pengen main game dulu. Lo jangan ganggu." ujar Dion lalu kembali fokus menatap ponselnya.

"Tugas kelompok?"

"Iya. Tadi pas di Aula kita dapet tugas. Dan lo di kelompokin sama gue. Katanya biar lo lebih fokus belajarnya, karena barengan sama pacar." ucap Dion tanpa sedikit pun menoleh. Sedangkan Aznan malah tersenyum tipis mendengar penuturan Dion tersebut. Dan ia juga turut berterima kasih kepada sang guru yang mengerti perasaan dan juga keinginannya.

Suara bising yang keluar dari ponsel Dion mengalihkan perhatian Aznan dan kini membuatnya mendekatkan dirinya kepada Dion untuk melirik sebentar ke arah ponsel Dion yang kini tengah menampilkan sebuah permainan yang Aznan sendiri tidak tau game apa itu yang sedang dimainkan oleh Dion.

"Serunya apa sih main game itu? Temen-temen gue juga kalo lagi ngumpul malah main begituan. Di ajak ngomong malah di cuekin." ujar Aznan.

"Lo bakal tau, kalo lo nyobain langsung game ini. Ini game tuh bener-bener campur aduk. Bisa bikin lo emosi, seneng, bahkan hampir gila. Dan yang lebih parah, banyak para pemainnya yang ngomongnya kasar." balas Dion yang lagi-lagi tanpa menatap Aznan.

"Salah satunya elo?"

Mendengar itu, Dion pun seketika menoleh.

"Kok lo mikirnya gitu?" tanyanya.

"Ya lo sering ngomong kasar ke gue. Dan seperti yang lo bilang. Mungkin itu pengaruh game yang lo mainin saat ini. Gue nggak salah kan?" jawab Aznan yang membuat Dion berpikir sejenak atas apa yang Aznan ucapkan padanya. Namun sayang, sebelum Dion selesai berpikir, bunyi bel pulang sekolah pun berdering kencang yang membuat seluruh murid yang ada di dalam kelas tersebut seketika ribut untuk segera pulang kerumahnya.

"Ah sialan. AFK lagi dah gue." ujar Dion lesu, lalu segera mematikan ponselnya dan menaruhnya ke dalam tasnya untuk bersiap pulang. Begitu juga dengan Aznan yang sudah siap dan kini ia sudah berdiri tegap sambil memperhatikan gerak-gerik Dion yang saat ini masih bersiap untuk pulang.

"Yuk!" ajak Dion setelah dirinya siap dan berdiri berhadapan dengan Aznan.

Aznan tersenyum, lalu mengulurkan satu tangannya kepada Dion. Dion yang melihat itu langsung paham, dan segera menyambut tangan besar milik Aznan tersebut. Dan kini kedua tangan mereka pun saling bertautan dengan detak jantung yang berdetak lumayan cepat dan perasaan hangat yang menghampiri keduanya. Detik berikutnya, mereka pun mulai berjalan keluar kelas dengan posisi bergandengan tangan.

Beberapa yang melihat pemandangan itu mengeluarkan reaksi yang berbeda-beda. Namun lebih banyak pula yang memilih untuk tidak perduli dan mengabaikan keduanya. Karena bagaimanapun, hal ini sudah terjadi selama seminggu. Dan ya, mereka sudah terbiasa, bahkan mereka menganggap mereka pasangan bucin yang kurang kerjaan. Jadi ya, murid-murid yang melihat tidak terlalu menanggapi serius atas apa yang terjadi antara Dion dan juga Aznan.

"Eh, iya. Tadi pagi lo liat motor gue ada bensinnya kagak?" tanya Dion di tengah perjalanan mereka menuju ke tempat parkir.

Aznan menatap lurus ke depan dengan otak yang mencoba mengingat jarum bensin yang ada di motor Dion. Namun sepertinya Aznan gagal untuk mengingatnya sehingga ia mengedikkan bahunya seraya menggeleng.

"Gue nggak inget, Yon." ujarnya.

"Kan lo yang bawa tadi. Masa iya lo nggak inget. IQ lu berapa sih?" balas Dion.

"Kok bawa-bawa IQ? Hubungannya apa sama bensin di motor lo?" ujar Aznan yang malah ikut terbawa emosi karena Dion membawa-bawa tentang otak yang ia miliki.

"Gue nggak hubungin IQ lo sama bensin gue. Tapi yang gue maksud, IQ lo itu berapa? Kejadian beberapa jam yang lalu aja udah lupa." balas Dion.

"Ya namanya juga orang lupa. Gimana sih?"

"Ah. Yaudahlah. Buruan, gue mau cepet-cepet pulang terus mandi." ucap Dion, lalu dengan sekali hentakan ia melepaskan tautan tangannya dengan tangan Aznan. Setelahnya Dion pun berjalan mendahului Aznan menuju motornya.

Tidak mau tertinggal, Aznan pun segera menyusul dengan langkah besarnya dan mengikuti jejak Dion hingga akhirnya mereka berdua sampai di tempat parkiran.

"Pulangnya entar aja lah. Kita makan aja dulu gimana? Gue laper nih." saran Aznan begitu dirinya menerima kunci motor milik Dion.

Ya. Mereka berdua sudah memutuskan kalau mulai dari seminggu kemarin, kendaraan untuk Aznan mengantar jemput Dion adalah menggunakan motor Dion yang mudah dan tidak berisik. Awalnya Aznan menolak, karena itu sangat merepotkan. Tapi setelah Dion menjelaskan alasannya, Aznan pun tidak ada pilihan lain selain mengiyakan hingga akhirnya dirinya mulai terbiasa dengan motor milik Dion itu. Sementara motornya sendiri ia titipkan di rumah Dion.

"Makan-nya di rumah lah. Kelar kan? Lagian gue juga lagi bokek. Gak bisa makan di luar." balas Dion yang sudah menaiki motor bagian belakang. Aznan menyusul dan duduk di bagian depan, setelah sebelumnya ia mengenakan helm terlebih dahulu.

"Ya, biar gue yang bayarin, Yon. Kelamaan kalo nunggu makan di rumah lo. Lagian, siapa tau kan Bunda lo nggak masak hari ini?" ujar Aznan sambil dengan tangan yang mulai memutar kunci lalu menekan tombol starter untuk menyalakan mesin motor yang mereka berdua naiki.

"Bunda gue selalu siap makanan di rumah. Soalnya cuma gue sama dia doang. Tapi, kalo lo mau bayarin gue makan di luar. Gue sih oke-oke aja." ujar Dion.

"Jadi, kita bakal makan dimana nanti, sayang?" tambah Dion dengan memasang wajah riang namun terkesan menggoda Aznan dengan nada bicaranya.

Aznan terkekeh kecil, lalu tanpa menjawab ia pun mulai menjalankan motor tersebut untuk keluar dari area parkir menuju pagar sekolahan. Dan setelah mereka sudah lumayan jauh dari kawasan sekolah. Tangan Dion tanpa rasa malu langsung memeluk erat tubuh Aznan, begitu juga dengan Aznan yang menambah kecepatan motornya untuk menuju tempat mereka makan saat ini dengan perasaan hangat dan senyuman simpul yang menghiasi wajahnya.

Waktu yang di perlukan pun tidak terlalu lama. Karena kini mereka sudah berhenti tepat di area parkir khusus motor di depan sebuah restoran yang terlihat mewah di mata Dion. Dion turun dengan ragu seraya melepaskan helm yang ia kenakan.

"Lo yakin mau bayarin gue makan disini, Nan?" ujarnya sambil menyerahkan helm di tangannya ke arah Aznan.

Aznan menerima helm tersebut, lalu menggantungnya di kaca spion sebelah kiri.

"Kenapa emangnya?" tanya Aznan yang kini gantian dirinya lah yang melepaskan helm yang dia kenakan.

"Ini restoran gede woy. Lo kira anak sekolahan dekil kayak kita cocok buat makan disini. Lo liat deh, pasti motor-motor yang ada disini tuh motor para pegawainya doang. Dan cuma motor kita aja yang berstatus pengunjung. Sementara pengunjung lainnya makek mobil. Lo liat tuh, bejibun gitu." ucap Dion yang di akhiri dengan menunjuk ke arah parkiran khusus mobil.

"Kita disini niatnya makan, Yon. Bukan mandang status orang. Lagian, selama kita masih bisa bayar, mereka nggak bakal ngusir kita kok. Santai. Gue ini yang bayarin. Jadi tugas lo cuma makan, kenyang, terus peluk gue lagi deh pas pulang." balas Aznan santai.

Mendengar itu, Dion sedikit mendongak untuk menatap mata Aznan secara langsung.

"Kok lu segampang itu sih ngomongnya? Emang lo punya banyak duit apa--ahhh ya, bokap lo kan kepala polisi." ujar Dion yang langsung teringat akan sosok Polisi yang mengintrogasinya beberapa waktu lalu.

"Bukan cuma itu. Nyokap gue juga seorang pengusaha." ujar Aznan menambahkan.

"Gue nggak nanya." ucap Dion.

"Emang. Tapi gue cuma pengen pamer aja."

"Sialan. Udah ah, buru, gue juga laper. Pokoknya gue porotin lo sampe bangkrut." ucap Dion sambil dengan satu tangannya yang meraih lengan Aznan untuk mengalungkannya.

"Kok gitu?" tanya Aznan yang pasrah mengikuti instruksi Dion yang membawanya berjalan mendekat untuk masuk ke dalam restoran.

"Hukuman karena lo udah pamer." akhir Dion. Dan kini mereka pun diam dan mulai masuk ke dalam restoran yang suasananya cukup tenang walaupun saat ini tempat yang mereka masuki sudah banyak diisi beberapa orang dengan gaya pakaian yang membuat Dion minder melihatnya.

"Nggak tau kenapa. Tapi tiba-tiba gue merasa gembel ngeliat orang-orang yang ada disini." ujar Dion setengah berisik begitu dirinya sudah duduk di kursi yang sudah di sediakan.

Sebenarnya kursi milik Aznan berada tepat di hadapan Dion. Tapi karena Aznan enggan untuk duduk berhadapan seperti itu. Jadi ia dengan entengnya menggeser kursi yang terlihat mewah tersebut hingga kini berada tepat di samping Dion yang menatapnya penuh tanya.

"Lo malu-maluin aja ih. Ngapain coba geser-geser kursi segala? Lo kira itu kursi kelas kita apa?" ucap Dion yang masih dengan suara yang ia kecilkan.

Aznan hanya terkekeh kecil menanggapinya. Setelahnya, tanpa membalas, Aznan pun meraih buku menu yang tersedia di atas meja dan mulai memanggil pelayan untuk mencatat pesanan mereka.

Sementara Dion hanya memperhatikan apa yang Aznan ucapkan kepada pelayan tanpa tau apa saja yang sudah pacarnya itu pesan. Semua yang di ucapkan bukan dalam bahasa Indonesia, jadi sudah wajar kalau Dion tidak paham apa yang Aznan pesan. Di tambah lagi, ia baru kali ini di ajak ke dalam restoran mewah.

"Lo pesen apa, Yon?" ujar Aznan yang sudah selesai dengan pesanannya.

Dion berpikir sebentar, lalu setelahnya ia tersenyum menatap sang pelayan sebelum akhirnya ia mulai memesan.

"Saya pesan, Ayam gepuk 2 nasi. Sate Ayam, Bebek bakar, dan soto lamongan. Buat minumnya, Es jeruk kunci sama cappucino ya." ucap Dion dengan luwes nya.

"Pfffttt." Aznan menahan tawanya begitu mendengar pesanan milik Dion itu. Sementara sang pelayan menatap bingung Dion karena semua yang ia pesan tidak terdaftar di dalam menu, kecuali Es Cappucino itu.

"Kenapa?" tanya Dion kepada Aznan yang mau menertawainya.

Aznan tidak langsung menjawab pertanyaan Dion. Ia malah kembali fokus kepada sang pelayan, lalu menyebutkan kalau pesanan Dion di samakan saja dengan pesanan miliknya. Pelayan itu mengangguk, lalu ia berbalik dan menjauh dari mereka berdua.

"Kok lo nyamain pesenan gue kayak punya elo sih?" ujar Dion tak suka.

"Ya mau gimana lagi. Semua yang lo pesen nggak ada disini, Yon. Ini restoran. Bukan masakan Padang." balas Aznan.

"Warung Pecel Lele kali maksud lo." koreksi Dion.

"Ya, pokoknya itu lah." akhir Aznan yang tidak ingin berdebat dengan Dion. Ia memilih untuk meraih ponselnya untuk mengetikkan pesan kepada salah satu kontak di sana, lalu setelahnya ia kembali fokus menatap Dion yang juga tengah menatap layar ponselnya.

Tidak ada pembicaraan selama mereka menunggu pesanan. Yang mereka lakukan hanya bermain game. Bukan mereka sih, lebih tepatnya hanya Dion saja. Sementara Aznan hanya menjadi penonton yang kerjaannya selalu bertanya setiap kali Dion memencet tombol yang tersedia di ponselnya itu. Dan saat pesanan mereka tiba. Mereka berdua pun kembali ke posisi masing-masing, lalu tanpa melanjutkan kegiatan mereka. Aznan dan Dion makan dengan tenang sampai akhirnya Dion berkata cukup karena perutnya sudah tidak bisa menampung makanan lagi.

Aznan pun juga begitu. Jadi, detik berikutnya Aznan kembali memanggil pelayan untuk meminta bill mereka. Pelayan tersebut dengan ramah memberikan apa yang Aznan butuhkan. Setelahnya, Aznan pun membayar semua yang mereka pesan, lalu mengajak Dion untuk keluar restoran dan menuju ke arah motor mereka, yang mereka parkirkan tadi.

"Langsung pulang?" tanya Aznan begitu mereka sampai di dekat motor Dion.

"Iya, ini udah mau sore. Dan tugas kita pun belum di kerjain. Jadi kita langsung pulang aja." ujar Dion.

Aznan mengangguk setuju, lalu kemudian ia melakukan hal yang sama seperti yang ia lakukan saat dirinya membawa Dion dari sekolah sampai ke restoran ini. Dion pun juga sama. Ia dengan santai melingkarkan kedua tangannya ke perut Aznan dan memeluknya sedikit erat. Setelahnya motor pun mulai berjalan untuk menuju kerumahnya.

• • •

Jam sekarang sudah menunjukkan pukul 19.22 malam. Dan kini Aznan maupun Dion sedang fokus mengerjakan tugas mereka seperti apa yang guru perintahkan saat di sekolah. Sebelum memulai mengerjakan tugas, Aznan tadi pulang dulu kerumahnya untuk mandi dan berganti pakaian. Lalu saat hampir maghrib ia pun datang kembali dan siap untuk mengerjakan tugas kelompok tersebut.

Awalnya mereka mengerjakan tugas itu dengan serius. Namun beberapa kali Aznan selalu berbicara dan membuat candaan sehingga sesekali mereka tidak fokus belajar dan akhirnya membicarakan sesuatu yang tidak penting. Tapi itu tidak berlangsung lama, karena Dion selalu saja ingat untuk mengerjakan tugas saat matanya tidak sengaja melirik buku yang tergeletak di lantai.

Dan itu sungguh membuat Aznan merasa kesal. Ia benci mengerjakan tugas, makanya ia selalu mencari topik pembicaraan agar Dion teralihkan. Namun tetap saja itu gagal. Dion selalu mengingatkannya untuk belajar dan menyelesaikan tugas tersebut, hingga sekarang ia tidak tau lagi apa yang harus di bicarakan agar Dion kembali teralihkan.

Namun suatu ingatan beberapa jam yang lalu menghampiri otak Aznan. Dan itu langsung membuat senyuman senang muncul di kedua sudut bibirnya. Ia menoleh menatap Dion lalu bersiap berkata.

"Oh iya, gue baru inget. Lo kan masih ada janji sama gue." ujar Aznan.

Dion yang mendengar itu segera menghentikan aksinya lalu turut menoleh dan menatap Aznan.

"Janji apaan?" tanyanya.

"Itu....sebelum pulang sekolah tadi. Lo janji bakal minta gue berhenti balapan dengan gaya manja yang gemesin." jawab Aznan.

"Oh itu. Ogah ah. Gue kan cowok. Nggak cocok buat manja-manja kayak cewek. Apalagi dapet titel gemesin. Gue sukanya dapet titel keren dan ganteng!" ujar Dion lalu berniat kembali mengerjakan tugas.

"Jadi lo bakal tetep ngebiarin gue balap liar nih?" ujar Aznan.

Dion mengangguk tanpa menoleh.

"Kan gue udah bilang. Gue nggak punya hak buat ngelarang apa lagi ngeminta lo berhenti atas apa yang lo suka." ujar Dion sambil menulis.

"Kan gue juga udah bilang. Kalo lu berhak. Lo itu pacar gue, Yon." balas Aznan.

"Iya, tapi status pacar kita ini beda sama status orang pacaran lainnya. Awal hubungan kita kan ada niatnya. Bukan karena suka sama suka. Ya, walaupun niatnya kita emang mau bikin satu sama lain kalah gegara nyimpen perasaan. Tapi tetep aja, gue nggak punya hak atas diri elo." ucap Dion serius, dengan mata yang kini menatap lurus ke arah Aznan.

Aznan yang mendengar itu sedikit kesal. Namun ia menahannya. Ia menggunakan satu tangannya untuk meraih tangan Dion yang bebas dan tidak memegang apapun. Setelahnya ia mengelus tangan itu lembut sambil mata yang ikut menatap lurus tepat ke arah mata milik Dion.

"Gue nggak mau ambil pusing sama apa yang barusan lo ucapin. Yang gue tau, lo pacar gue dan lo sangat berhak atas apa yang ada dalam diri gue. Jadi, stop untuk meragukan status kita. Karena udah jelas. Lo nembak gue, dan gue terima lo sebagai pacar gue. Paham?" ujar Aznan dengan nada suara yang begitu menenangkan namun juga tersirat arti yang begitu dalam.

"Tapi..."

"Sssttt. Nggak ada kata tapi. Semua yang gue ucapin udah mutlak adanya." ucap Aznan yang segera menutup mulut Dion dengan satu jarinya bermaksud agar Dion tidak menyanggah atas apa yang sudah ia ucapkan.

Namun sepertinya hal itu adalah hal yang tidak seharusnya Aznan lakukan. Karena setelah ia sadar, jarak wajahnya dengan wajah Dion sangatlah dekat. Dan itu dengan cepat membuat jantungnya berdebar, apalagi saat dirinya memperhatikan setiap inci bagian wajah milik Dion. Rasa yang ada dalam dirinya seakan-akan ingin meledak dan melakukan apa yang ada dipikirannya saat ini. Tapi Aznan masih bisa menahannya, ia cukup dengan mengelus bibir Dion lembut sambil memperhatikan kedua mata Dion yang terlihat sangat indah di matanya.

Namun kejadian yang ia tidak duga terjadi. Hasrat yang ia ingin lakukan terhadap bibir Dion, kini sudah terwujud. Dan pelakunya bukanlah Aznan. Melainkan Dion sendiri yang kini tengah mengecup bibirnya dan mengulumnya pelan yang tentu saja membuat sensasi menggelitik di dalam hati Aznan yang tentu saja menyenangkan, apalagi saat dirinya melihat mata Dion yang sudah tertutup, membuatnya tidak ada pilihan lain selain membalas ciuman itu dan menutup matanya untuk mengimbangi ciuman Dion yang terasa begitu menyenangkan dalam hatinya.

Dan kini, mereka pun melupakan tugas kelompok yang seharusnya mereka kerjakan. Mereka malah terhanyut dalam dunia mereka sendiri dalam ciuman hangat yang menyatu dengan suasana kamar yang sunyi tanpa adanya suara.

Namun sayangnya, mereka melupakan satu hal yang sangat penting. Rumah yang saat ini mereka tempati bukanlah hanya ada mereka berdua saja. Melainkan masih ada satu orang lagi yang tinggal di rumah itu. Dan sayangnya, orang itu kini tengah menyaksikan hal yang saat ini sedang di lakukan oleh Aznan dan juga Dion.

Siapa lagi kalau bukan Bunda Dion yang saat ini terpaku di tempatnya berdiri menyaksikan anaknya yang tengah menyatukan bibirnya dengan bibir orang lain di depan matanya. Dan itu, seorang lelaki.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel