Sebuah Nama Baru
"Apa syaratnya?" tanya sosok itu segera, sebagai perwakilan dari kedua bocah di samping kanan dan kirinya, yang saat ini melirik Cataleya serta pria itu secara bergantian.
Cataleya tak segera membalas. Menarik napas dalam-dalam. Dia berharap keputusan yang diambilnya tadi tepat.
Beberapa menit sebelumnya, ketika sedang menunggu si kembar dan pria mesum itu datang ke rumah. Cataleya mondar-mandir di ruang tamu, memikirkan bagaimana nasib kedua anak kembar tersebut dan pria asing itu ke depannya. Sudut hati Cataleya berdenyut hebat, dia tidak setega itu mengusir Milo dan Mika.
Dan setelah dipikir-pikir lagi, Cataleya juga memerlukan bantuan pria yang hilang ingatan tersebut. Sebab Cataleya tidak mempunyai uang lebih untuk memberi makan Milo dan Mika.
"Hm, dengar baik-baik dan pasang kuping kalian dengan benar ya!" kata Cataleya kemudian.
"Oke, tapi tunggu sebental Mama!" Mika tiba-tiba turun dari kursi. "Mika tidak bisa ingat semuanya, halus dicatet!"
Mika pun berlari cepat masuk ke dalam ruang tengah, mengambil buku dan pulpen milik Cataleya tanpa permisi. Cataleya mendadak bengong. Melihat Mika tampak antusias.
"Nah, sudah! Sekalang apa syalatnya Ma?" Seperti kilatan cahaya, Mika telah kembali ke posisi semula, duduk lagi di samping pria asing. Bersiap-siap mencatat persyaratan Cataleya, tangan kanannya yang gemuk sedikit kewalahan memegang pulpen.
"Memangnya kau pandai menulis, Mika?" tanya Milo pada Mika seketika. Sebab Milo ingat bila adiknya tidak bisa menghitung angka dengan benar. Kalau menulis, entahlah Milo meragukan kemampuan adiknya itu.
Mika mengangkat bahu sedikit lalu berkata,"Entahlah Bang, pakai kekuatan batin saja!"
Milo hanya membalas membuang napas kasar setelahnya.
Mendengar obrolan singkat di sekitar, Cataleya menarik napas lagi. "Hei, aku belum bicara ini, fokuslah, yang pertama, kalian harus selalu menuruti perkataanku!"
Cataleya mulai berjalan mondar mandir lagi, tengah berpikir persyaratan yang hanya menguntungkan dirinya sendiri. Mika pun mulai menulis di buku dengan raut wajah tampak sangat serius.
"Yang kedua, setiap pagi harus ada orang yang membuatkan aku sarapan!" Cataleya melirik pria asing itu sekilas, memberi kode padanya untuk memasak.
Pria itu tampak mengerti. Mika kembali mencatat, kali ini sambil menjulurkan sedikit lidah ke samping bibir.
"Lalu persyaratan yang ketiga, harus ada yang membersihkan rumah, setiap pagi, setiap siang, setiap sore, setiap malam, semua ruangan juga harus disapu dan dipel lalu-"
"Mama jangan cepat-cepat, tangan Mika nggak bisa kejal-kejal ini! Coba ulang lagi!" protes Mika segera sebab Cataleya berkata terlalu cepat.
Cataleya langsung menghentikan langkah sambil membuang napas kasar, kemudian mendekati Mika.
"Mana sini lihat, sampai mana kau menulis."
Secepat kilat Mika memberikan buku tulis pada Cataleya.
Cataleya langsung melihat isi buku.
"Astaga, apa ini Mika? Kau menulis apa?" Matanya seketika melebar saat melihat tulisan Mika hancur lebur, tak beraturan, angka pun tidak sesuai dengan urutan, yang seharusnya angka satu ditulis angka dua, yang seharusnya angka dua ditulis angka satu, begitu seterusnya.
"Tentu saja itu mahakalya Mika, Mama!" Mika seketika turun dari sofa, mendongakkan kepala ke atas dengan mata berkedip-kedip.
"Bukan, bukan, ini bukan mahakarya, tapi ini malapetaka ..., oh God please help me ...." Kepala Cataleya mendadak pusing jadinya.
"Malapetaka? Mahakalya Mika itu, Mika pakai kekuatan batin Mika tadi dengan susah payah loh Ma," kata Mika mendadak cemberut, bibirnya semakin menurun ke bawah.
Sejak awal Milo yang meragukan kemampuan menulis Mika, langsung menepuk jidatnya sendiri. Sementara pria asing di tengah mereka dari tadi malah senyam-senyum sendiri.
"Sudah, sudah, duduklah, tidak usah ditulis, diingat saja."
"Tapi Mika tidak bisa ingat Mama!"
Di titik ini, Cataleya sudah tampak frustrasi.
"Baiklah, Mika tidak perlu ingat, didengar dan diresapi saja perkataanku, sebagai seorang Abang, Milo lah yang harus mengingat perkataanku ini," kata Cataleya melirik ke arah Milo saat ini.
"Oke!" jawab Milo segera. Melirik Mika sedang duduk lagi ke tempat semula dengan bibir manyun.
"Baiklah, sekarang lanjut, khusus untuk kau, um namamu siapa? Coba diingat lagi, tidak mungkin kau tidak punya nama." Cataleya memfokuskan perhatian pada pria asing kali ini. Sorot matanya tajam dan nada bertanya pun terdengar sangat ketus.
Lelaki itu malah tampak bingung, berusaha memikirkan siapa namanya. Namun, ekspresinya seperti menahan sakit sekarang.
"Hm, sudah tidak usah dipaksa, mulai dari sekarang namamu, Eren, oke deal?" Cataleya teringat dengan satu anime jepang dengan pemeran utama bernama Eren.
"Boleh, Eren um cukup menarik," kata Eren, nama baru untuknya.
"Iya, sekarang kau hilang ingatan dan tidak tahu asal usulmu, selagi ingatanmu belum kembali, carilah kerja Eren, kita butuh makan, tidak mungkin kau hanya menumpang di sini, setuju tidak? Tapi kau harus setuju sih! Ini perintah, bukan permintaan," kata Cataleya penuh penekanan sambil melototkan mata.
"Iya, aku setuju, kau tenang saja," balas Eren.
Cataleya tersenyum kecil sesaat sebab permasalahannya sudah terpecahkan.
"Good, sekarang persyaratan terakhir, permasalahan nama panggilan di rumah, khusus kau Eren, panggil aku dengan Madam Cataleya," kata Cataleya tersenyum sangat angkuh sekarang.
"No, kau lebih muda dariku, panggil Lea saja, itu sudah lebih dari cukup," protes Eren cepat.
Cataleya tersentak, mengapa Eren tiba-tiba memanggilnya Lea. Sebab selama ini hanya dia sendiri yang boleh memanggilnya dengan sebutan itu. Kecuali Casey, saudari kembarnya yang saat ini berada sangat jauh darinya, dan sedang magang menjadi dokter koas di suatu perkampungan dalam.
"Heh! Tidak boleh memanggilku dengan nama Lea, dari mana kau tahu nama panggilanku itu hah? Bukankah sudah kukatakan tadi di persyaratan pertama untuk selalu menuruti perkataanku," kata Cataleya, masih menatap tajam Eren.
"Aku mendengarnya dari mulutmu sendiri tadi, di sepanjang jalan pergi ke kantor polisi kau mengomel-omel tidak jelas sambil menyebut namamu, apa yang tidak boleh, kalau kau tidak mau, aku panggil dengan sebutan Mama saja seperti Milo dan Mika," balas Eren, sengaja menantang balik Cataleya.
Kebiasaan aneh Cataleya membuat dia tak mampu berkata-kata lagi sekarang.
"Ck, terserah kau saja! Argh!" Cataleya mendengus kesal sambil melototkan mata lebih lebar lagi.
Eren menyeringai tipis.
Cataleya segera memutus kontak mata kemudian menatap Milo dan Mika bergantian.
"Untuk kalian berdua, jangan panggil aku Mama lagi, mulai dari sekarang panggil aku Kakak saja."
Mendengar ucapan Cataleya, Mika seketika turun dari kursi lalu berlari cepat memeluk kedua kaki Cataleya.
"Tidak mau, Mika maunya panggil Mama, sekalang Mika punya Mama, kapan lagi Mika bisa panggil seseolang dengan sebutan Mama, boleh ya Ma, nggak apa-apa kan?" kata Mika dengan mata mulai berkaca-kaca. Milo pun mulai mendekati Cataleya sekarang.
Cataleya lantas terpaku, tatapan Mika membuatnya terenyuh. Ingatannya terlempar pada penjelasan Mika dan Milo di kantor polisi tadi.
"Mika cuma ingat bangun di dalam mobil sama Abang, kepala dan tangan Mika sakit, badan Mika juga sakit, telus Abang ajak Mika kabul dali mobil, kata Abang mumpung olang jahatnya ada di lual," jelas Mika tadi.
"Iya, aku cuma ingat kami terbangun di van putih, dan aku tidak sengaja mendengar obrolan mereka di luar, mereka bilang mau membawa kami ke suatu tempat, dan aku tidak bisa dengar dengan jelas di mana tempatnya, merasa janggal terus aku ajak adikku kabur." Milo ikut menjelaskan juga tadi, matanya tak memancarkan kebohongan sama sekali.
Saat di kantor polisi tadi, Cataleya sangat terkejut dengan penuturan Milo dan Mika. Cataleya menebak bila penculik tersebut melakukan hal jahat pada Milo dan Mika sampai mereka tidak sadarkan diri serta hilang ingatan.
"Mama, kenapa diam? Mika bolehkah panggil Mama, boleh ya? Apa Mama tidak suka dipanggil Mama, tapi Mika suka panggil Mama dengan sebutan Mama," kata Mika, air mata turun tanpa jeda, mata dan hidungnya tampak mulai memerah sekarang.
Cataleya segera tersadar, melihat air mata Mika, dadanya terasa makin sesak sekarang, dengan cepat dia menggelengkan kepala.
"Mika jangan menangis, Mama senang kok, Mika boleh panggil Mama," kata Cataleya sambil merendahkan tubuh dan segera memeluk Mika.
Dalam pelukan, Mika menenggelamkan wajahnya di dada Cataleya. "Benalkah? Belalti boleh ya?" Sekarang suara gadis mungil itu terdengar mulai serak.
"Tentu saja boleh." Saat merasakan pundak Mika bergetar pelan, Cataleya semakin terenyuh dan mulai mengelus pelan punggung Mika. Dalam hitungan detik, tanpa permisi pula air matanya ikut menetes dari sudut matanya.
Entah apa yang terjadi hingga sosok mungil ini tampak lemah sekarang. Cataleya mengutuk dua penculik itu dan berharap laporannya tadi tentang penculik anak dapat segera ditanggapi Sherif.
"Kau tidak lagi akting, 'kan?" Milo berdiri di belakang Mika sekarang, lalu berbisik pelan di telinganya tiba-tiba.
Mika enggan menjawab, hanya menggeleng pelan sambil memeluk Cataleya dengan erat. Milo mendadak terdiam, melihat adiknya menangis dia jadi ikutan sedih.
Eren, yang melihat pemandangan di depannya sejak tadi, hatinya tersentuh kemudian bergumam pelan.
"Baik dan keibuan juga dia, aku pikir dia hanya bisa mengomel saja tadi," kata Eren, memandang sendu ketiga orang di depannya saat ini.
Cukup lama, Cataleya berusaha menenangkan Mika, sampai pada akhirnya tak ada lagi air mata keluar dari mata Mika dan Cataleya. Secepat kilat Cataleya bangkit berdiri.
"Oke, ingat ya persyaratan yang aku bilang tadi, berhubung kamar hanya dua saja, kau tidur di ruang tamu atau tengah ya Eren, terserah kau saja mau tidur di mana!" kata Cataleya, sorot matanya sangat tajam, tatapannya pada Eren tak lembut seperti dia menatap Mika dan Milo.
'Sepertinya dia kembali menjadi mode singa sekarang.' batin Eren sejenak, sambil tersenyum diam-diam di dalam hati.
"Hei kau dengar aku tidak? Kalau tidak mau tidur di ruang tamu atau ruang tengah, tidur di atas genteng pun kau juga bisa!" kata Cataleya dengan nada sangat ketus.
"Dengar kok, boleh juga, tapi di atas genteng kamarmu lah, kalau jebol langsung turun ke kasurmu kan," kelakar Eren, mengulum senyum singkat.
Sontak perkataan Eren, membuat mata Cataleya kian melebar. "Berani kau tidur di atas genteng kamarku, aku tendang burungmu itu nanti!"
Eren pura-pura menahan takut. "Wah, sepertinya ada yang mesum sekarang, apa kau mau melihat burungku ini dan-"
"Diam kau! Aku tidak mesum ya! Kau yang mulai duluan!" balas Cataleya tak mau mengalah.
"Ma, mesum itu apa? Telus di sini ada bulung kah? Mika mau lihat!"
TBC ...
