7
Gue galau.
Gue nggak tau kenapa gue bisa galau begini. Tapi yang jelas ini semua tentang Daviz dan sore kemarin.
Setelah melakukan hal itu dengan Daviz. Gue tertidur lelap. Gue kelelahan karena ulah Daviz. Gue pengen marah. Tapi entah kenapa gue gak bisa. Gue juga terlena akan permainannya. Ini juga salah gue. Kalo aja gue tetep bersikeras untuk melawan Daviz, semuanya gak bakal terjadi.
Semalem juga gue terbangun tanpa adanya Daviz di atas kasur. Gue gak tau dia kemana. Gue juga gak tau bagaimana gue bangun dengan baju lengkap. Mungkin Daviz yang melakukannya.
Gue berangkat sekolah jam setengah enam pagi. Gue sengaja berangkat sekolah lebih awal dari sebelumnya, bahkan para bokap belum bangun. Gue melakukannya karena gue gak mau berangkat bareng Daviz. Gue nggak tau kenapa gue merasa canggung. Bahkan memikirkannya aja udah bikin gue keringat dingin.
Pokoknya hari ini tuh gue lagi aneh. Bukan gue yang biasanya.
Gue masuk kelas dan langsung menuju bangku gue. Kelas masih sepi banget. Di koridor aja cuma beberapa orang udah dateng. Padahal ini udah setengah tujuh. Walaupun gue juga akhir-akhir ini datengnya hampir telat. Tapi itu kan gak di sengaja. Itu kan gara-gara Daviz yang selalu nurunin gue di tengah jalan.
Daviz.
Argh! Gue jadi teringat kejadian kemarin.
Kenapa dari semalem gue bakal teringat hal itu jika sudah menyangkut tentang Daviz?
Sialan!
Gue menggaruk rambut gue kasar lalu meletakkan kepala gue di atas meja. Gue harus ngelupainnya. Harus! Gue gak bisa kayak gini terus. Ini juga salah gue. Gue udah ngadu ke Ayah padahal gue sendiri udah tau resiko yang bakal terjadi.
"Uka? Lo tidur?"
Gue mengangkat kepala gue untuk melihat pemilik suara tersebut. Anak baru. Maksud gue Hansung. Dia udah duduk di samping gue. Dia menatap gue dengan pandangan bertanya.
Gue senyum kilat lalu kembali meletakkan kepala gue di atas meja.
"Gpp kok kalo lo mau tidur. Masih ada 17 menit lagi bunyi bel. Ntar gue bangunin kalo udah masuk." ujar Hansung yang gue jawab dehaman gue.
Gue sebenernya emang ngantuk. Gue gak bisa tidur semaleman. Dan itu masih karena masalah yang sama. Gue bergadang sampe pagi yang mana itu membuat gue ngantuk banget sekarang.
Jadi dengan tawaran Hansung barusan, gue mulai menutup mata dan menyelami dunia mimpi.
° ° °
Gue terbangun setelah mendengar bunyi bel yang masuk ke gendang telinga gue.
Gue meregangkan otot kanan gue sambil menguap. Gue menatap ke depan gue. Disana ada Rio yang lagi duduk di kursi milik Daviz. Dia berdiri dari duduknya dan berjalan keluar kelas. Gue berkerut melihat hal itu dan langsung menoleh ke arah Hansung.
"Rio duduk disitu?" tanya gue.
Hansung menoleh ke arah gue lalu menatap ke kursi Daviz. Dia mengangguk lalu tatapannya beralih ke gue.
"Terus Daviz duduk dimana?"
"Gue gak tau. Dia nggak masuk di pelajaran pertama. Tapi gak masalah juga sih. Soalnya gurunya gak masuk dan di ganti sama tugas. Ke kantin yuk. Sekalian temenin aku keliling sekolah juga." ujar Hansung yang langsung membuat gue melihat jam tangan.
"Kok lo gak bangunin gue?" tanya gue.
Hansung cuma nyengir lalu menarik tangan gue dan membuat gue berdiri.
"Lo tidurnya keliatan pules, sih. Gue kan gak tega banguninnya. Lagian juga kan kita gak belajar. Soal tugas tadi lo nyontek punya gue aja." ujar Hansung lalu menyeret gue keluar kelas.
Gue pasrah di seret oleh Hansung hingga akhirnya kami sampai di kantin. Gue milih tempat duduk yang sering gue pake saat ke kantin. Gue duduk di sana dan mengisyratkan Hansung agar duduk di depan gue.
"Gue mau pesen dulu. Lo mau nitip apa?" tawar Hansung. Gue menggeleng sebagai jawaban.
"Gue lagi gak nafsu. Lo aja yang makan. Gue temenin lo aja." ujar gue. Dia mengangguk dan beranjak menuju ke kios kantin.
Gue merogoh celana gue untuk mengambil hp. Ada 2 pesan dari Papa dan 1 pesan dari Ayah. Isinya hampir sama. Mereka cuma nanya kalo gue punya uang saku apa nggak. Gue membalas pesan mereka lalu gue masukin hp gue ke dalam celana.
Hansung dateng gak berapa lama. Dia membawa dua botol Mizone terus menyodorkan satunya ke arah gue.
"Buat gue?"
Dia mengangguk. Gue mengambil minuman itu dan membukannya. Gue langsung sadar saat Hansung juga ikutan membuka minumannya.
"Lo nggak makan?" tanya gue. Dia menggeleng.
"Kalo gue makan ntar keburu bunyi bel masuk. Kan gue mau keliling sekolah." ujarnya lalu mulai meminum minumannya.
Gue mengangguk paham lalu bangkit dari duduk gue.
"Mau kemana?"
"Kan lo bilang mau keliling. Yaudah yuk." ajak gue. Dia sumringah lalu mengangguk semangat. Dia bangkit dan berjalan mendekat ke gue.
Gue mulai berjalan menjauhi kantin yang di ikuti oleh Hansung di samping gue. Gue mengawali tour ini dengan pergi ke lapangan. Hansung bilang dia jago main bulu tangkis. Gue cuma menanggapinya dengan anggukan.
Setelah ke lapangan. Gue ngajak Hansung ke perpustakaan karena emang searah dan juga jaraknya gak terlalu jauh. Tapi sebelum sampai kesana, kita harus melewati toilet. Saat sudah sampai di area toilet Hansung ingin buang air kecil dan akhirnya dia masuk kesana dan gue nunggu di luar.
Gue awalnya nunggu Hansung adem-ayem. Tapi setelah mendengar gebrakan pintu keras dari arah toilet cewek. Gue jadi sedikit parno.
Gue curiga sekaligus takut. Gue takut di sana nanti ada penculikan atau pembunuhan kayak di drama yang pernah gue tonton.
BRAK!!
Bunyi itu terdengar lagi. Kecurigaan gue bertambah. Kalo itu pembunuhan gak mungkin berisik begitu karena dia bakal ketahuan. Atau jangan-jangan ada orang yang lagi di bully kaya di film-film.
Gue berhenti membuat asumsi dan mulai memasuki toilet cewek itu. Gue mungkin udah gila karena berani masuk ke toilet cewek kaya gini. Tapi kalo dugaan gue di atas ada yang bener gimana? Kan berabe.
Gue yang awalnya mengendap-endap dan melangkah dengan pelan kini berhenti seketika.
Dada gue tiba-tiba terasa sesak. Nafas gue memburu dan jantung gue juga terasa sakit. Dan satu tetes air mata sukses keluar dari mata gue.
Gue gak tau ada apa sebenarnya sama diri gue sekarang. Gue juga gak tau kenapa reaksi gue kayak gini setelah melihat pemandangan di depan gue.
Disana.
Diujung toilet.
Daviz lagi mencumbu dan tengah berusaha membuka baju cewek yang dia bawa kemarin.
