6
"Kamu gak malu Al!?" Ayah bertanya dengan nada tinggi. Daviz nunduk mendengar suara Ayah.
Gue ikutan nunduk kayak yang di lakuin sama Daviz. Ayah kalo manggil Daviz itu Al. Gak tau kenapa, yang jelas sekarang gue lagi seneng.
Setelah gue ngadu ke Ayah perihal Daviz yang membawa cewek ke kamar gue, Ayah langsung dateng ke rumah dalam waktu kurang dari 20 menit. Gue awalnya melongo melihat Ayah yang dateng begitu cepat dari perkiraan gue. Tapi gue langsung tersadar saat melihat mata Ayah yang terlihat marah.
Ayah langsung dateng ke kamar gue dan mendobrak kamar gue sampe engsel pintu kamar gue rusak. Gue gak ngeliat apa yang terjadi setelah Ayah mendobrak pintu itu. Tapi gak lama setelah itu, cewek yang di bawa Daviz keluar dari kamar gue. Dia natap gue sinis lalu berlalu gitu aja.
Gak lama setelah cewek itu keluar. Daviz juga keluar. Dia masih gak menggunakan bajunya. Dia gak noleh ke arah gue dan malah terus jalan ke ruang tengah.
Dan setelah aksi mendobrak pintu kamar gue. Daviz dan gue di sidang di ruang tamu. Bukan gue sih, tapi lebih ke Daviz yang sekarang ini masih nunduk dengan badan topless.
"Ayolah, Al. Ngertiin Ayah. Kamu udah punya keluarga baru sekarang. Gak kayak dulu lagi. Untung si Uka ngomong ke Ayah. Kalo nggak. Mungkin sekarang kalian masih mendep di kamarnya si Uka." ujar Ayah.
Gue mendongak melihat Ayah yang lagi memijat jidatnya.
"Maaf Yah, kalo Uka nelfon Ayah di jam kerja kayak gini" gue merasa bersalah tentu saja. Walaupun gue gak tau dimana Ayah kerja dan apa pekerjaannya. Tapi dari raut wajah Ayah jelas terlihat kalo Ayah kelelahan.
Ayah menggeleng lalu berdiri dari duduknya. Dia menatap Daviz yang masih setia nunduk. Cih, kalo begini aja lo ciut ya. Sampah lo.
"Yaudah, Ayah mau balik kerja lagi. Percuma juga ngomelin kamu lama-lama. Kamu gak pernah dengerin Ayah. Kalo di marahin selalu diem. Tapi kamu terus aja ngulanginnya. Ayah juga capek Al. Sekarang yang Ayah pikirin bukan kamu aja. Sekarang udah ada Uka dan juga Papa. Jadi Ayah tolong, hargailah mereka. Mereka keluarga kamu sekarang." ujar Ayah panjang lebar. Gue terharu mendengarnya sampe hampir meneteskan air mata.
Ayah beranjak dari berdirinya dan mulai berjalan ke arah depan rumah. Gue bangkit dari duduk gue dan menyusul Ayah.
"Yah!" panggil gue. Ayah menghentikan pergerakannya membuka pintu mobil. Gue menghampiri Ayah dengan cepat.
"Maaf ya, Yah." ujar gue tulus. Ayah tersenyym lembut yang mana itu membuat gue nyaman melihatnya.
"Udah gpp. Lagian yang kamu lakuin itu bener kok." gue cuma ngangguk menanggapinya.
"Yaudah. Ayah berangkat dulu ya." gue kembali menganggul sebagai jawaban. Ayah kembali tersenyum lalu mengusap rambut gue. Setelahnya Ayah masuk ke dalam mobil dan berlalu menghilang dari pandangan gue.
Gue menghembuskan nafas sebentar lalu berbalik untuk masuk ke dalam rumah.
"Lo beneran gak takut sama anceman gue."
Langkah gue terhenti mendengar suara datar yang berasal dari depan gue. Gue mendongak untuk melihatnya. Daviz terlihat mengerikan. Matanya terlihat sangat marah dan menusuk gue telak.
Gue menegang. Tiba-tiba bayangan dimana Daviz ngancem gue muncul begitu aja di pikiran gue. Gue merutuki diri gue seketika. Kenapa gue gak ikut Ayah aja tadi. Arghh gue bego.
Gue harus lari dari sini. Ya harus!
Gue udah mau bersiap berbalik untuk lari ke pintu keluar rumah, namun itu percuma karena sekarang Daviz sudah megang kerah baju gue. Dia membalikkan tubuh gue yang mana itu membuat gue sekarang menatap ke arahnya.
Dia menyeringai. Gue merinding seketika melihat seringaiam itu. Dan gak lama tangan kirinya menggenggam tangan gue erat yang menimbulkan rasa sakit karena saking eratnya.
"Sakit, Dav. Lepasin!"
Gue menggoyang-goyangkan tangan gue agar terlepas, namun percuma. Tenaga gue gak ada apa-apanya dibanding dengan dirinya.
"Akh" gue mengerang kesakitan karena Daviz tiba-tiba aja narik tangan gue kuat.
Gue kembali menegang setelah tau arah tarikan tangan Daviz. Kamar. Dia memasukan gue ke dalam kamarnya. Gue memberontak seketika. Gak. Ini gak mungkin beneran kan? Daviz gak setega itu kan sama gue?
Daviz merebahkan tubuh gue ke kasurnya. Seharusnya gue langsung bisa kabur kalo aja Daviz gak langsung nindih badan gue. Gue kembali memberontak.
"Dav, jangan gila!" teriak gue keras.
Gue masih memberontak supaya Daviz melepaskan. Tapi percuma. Daviz gak membiarkan gue dan malah menahan kedua tangan gue diatas kepala gue.
"Ini kan yang lo mau sampe lo berani ngadu ke Ayah." ujar Daviz pelan tepat di depan muka gue. Matanya kini udah gak terlihat marah melainkan nafsu?
Gue menggeleng kuat namun segera terhenti setelah Daviz menekan tubuh gue yang mana itu membuat gue sesak nafas.
"Hukuman lo akan segera berlangsung, Ka." ujar Daviz dengan suara tertahan.
Dia mendekatkan wajahnya kearah gue lalu mengecup hidung gue. Gue buang muka untuk menghindari kecupan itu.
Namun gue terkejut seketika. Leher gue di kecup Daviz lalu di gigitnya. Gue mengerang kesakitan.
Gue kembali mengahadapkan muka gue kearahnya. Gue kembali terkejut karena tiba-tiba Daviz mencium bibir gue. Dia melumat bibir gue penuh paksaan. Gue mencoba untuk menghindar namun gak bisa. Daviz menekankan kepalanya sehingga gak memungkinkan untuk gue menghindar.
Lumatan Daviz semakin cepat. Dia berusaha memasukan lidahnya ke dalam mulut gue tapi gue bersikeras untuk gak membuka mulut gue sampai akhirnya Daviz meremas selangkangan gue dramatis yang mana itu membuat gue melenguh.
"Ahhh.." lenguh gue yang sukses membuat lidah Daviz masuk ke dalam mulut gue.
Setelah terjadinya lidah Daviz masuk ke dalam mulut gue. Entah berasal dari mana keinginan gue ini. Tapi yang jelas sekarang gue memegang kepala Daviz untuk memperdalam ciuman kami.
Akal sehat gue udah hilang. Gue gak tau kenapa gue bisa menikmati ciuman ini. Gue bahkan membalas lumatannya. Gue terlena dengan ciumannya. Ciuman kami makin dalam hingga kini Daviz mulai membuka kaos yang gue pakai.
Dia kembali mengecup leher gue dan menggigitnya.
"Ahhhh"
Gue gak tau gue bisa mengeluarkan desahan seperti itu hanya karena gigitan Daviz di leher gue. Gue menekan kepala Daviz untuk kembali menggigit leher gue. Dia melakukannya. Gue mendesah lagi.
Dia menghentikan perbuatannya dan mengangkat tubuh gue ke pangkuannya. Dia kembali mencium gue dan melumatnya namun tidak lama. Karena setelahnya dia menggigit nipple gue dan menjilatnya.
"Akhhhhhhh"
Gue mendesah hebat karena hal itu. Ini adalah kali pertama gue merasakannya. Gue gak tau kalo rasanya akan seperti ini. Ini begitu nikmat. Saat Daviz menggigitnya gue merasakan hal yang seperti menyetrum langsung ke bagian bawah gue. Gue tegang. Nafsu gue naik kepermukaan.
Gue kembali menekan kuat kepala Daviz hingga kini ia menempel di dada gue. Namun itu gak berlangsung lama. Karena setelahnya Daviz mendorong tubuh gue hingga kini gue kembali berbaring di kasur.
Daviz membuka kancing celana gue dan melorotkannya begitu saja. Dia pun melakukan hal yang sama terhadap celananya. Besar. Itu yang ada di benak gue saat ini.
Daviz membalikkan tubuh gue sehingga kini gue tiduran dengan posisi tengkurap.
"Gue gak tau kenapa gue melakukan ini. Yang jelas sekarang gue udah gak tahan."
Dan setelah Daviz mengucapkan itu. Gue mengerang kesakitan karena sesuatu telah masuk ke dalam anus gue.
