Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

8

Gue berlari kencang menjauh dari toilet itu. Air mata gue juga udah gak menetes lagi walaupun gue gak nangis. Tapi gue gak tau kenapa dada gue masih kerasa sakit begini.

Sebenernya sih gue tahu. Gue sering banget liat hal yang begini di drama-drama. Tapi itu gak mungkin kan? Gue gak mungkin ngerasain hal yang kayak di drama itu kan?

Gue...

Gak mungkin kan cemburu sama Daviz?

Gak! Itu emang mustahil.

Apa yang gue cemburuin dari dia?

Dia main sama cewek itu setelah ML sama gue?

Dada gue kembali terasa sesak saat memikirkan itu. Jadi bener gue cemburu? Tapi.... Kenapa?

Gimana bisa gue cemburu sama dia? Gue bahkan gak punya perasaan apapun sama dia.

Atau gue yang belum menyadarinya?

Gue berhenti lari setelah sebuah bola mengenenai kaki gue. Gue menoleh ke arah lapangan untuk melihat asal bola ini. Disana ada cowok lagi lari ke arah gue dengan baju olahraga. Dia kakak kelas. Baju olahraganya itu khusus kelas 12, karena setiap tingkatan kelas memiliki baju yang warnanya beda. Dan gue yakin semua sekolah juga gitu.

Dia berhenti di hadapan gue dengan nafas ngos-ngosan. Setelah mendingan dia bersiap mengucapkan sesuatu.

"Sori, gua gak sengaja nendang bola itu. Bukan gua sih. Temen gua noh." ujarnya terus nunjuk ke belakangnya.

Gue menoleh ke belakangnya. Jauh di ujung sana emang ada cowok yang bajunya sama kayak punya dia. Gue kembali melihat dia terus menatap bola yang ada di bawah kaki gue.

Gue membungkuk mengambil bola itu dan menyodorkan ke arahnya.

"Hebat ya tendangannya. Bisa sejauh ini." ucap gue, namun gue merutuki suara gue barusan karena terdengar gemetar.

"Lu gpp? Atau lu kesakitan kena bola tadi?" tanyanya setelah mengambil bola yang gue kasih.

Gue menggeleng.

"Gue emang lagi sakit, tapi bukan gara-gara bola itu." ujar gue lalu menunduk biar gak terlalu keliatan kalo suara gue gemetar.

"Oh... Gua tau. Lu pasti lagi sakit hati." tebaknya yang membuat gue mencelos mendengarnya.

Gue secara spontan langsung menatapnya heran. Dia terkekeh lalu meletakan tangannya di kepala gue dan mengacak rambut gue. Gue cuma diem melihat yang dilakukannya sekarang.

"Keliatan kali."

Gue melotot seketika mendengar penuturannya. "Keliatan?" tanya gue pelan. Dia mengangguk.

"Keliatan jelas malah. Liat deh, mata lu merah. Ingus lu keluar. Dan juga suara lu kayak gemetaran gitu. Jelas banget dong kalo lu habis nangis." ujar dia. Gue menaikkan sebelah alis gue.

"Gue bisa aja kan nangis karena jatoh, kepleset, atau gak keselek. Kenapa harus ke sakit hati coba?"

Dia ngakak setelah mendengar ucapan gue tadi. Gak lama sih, karena setelah itu dia duduk di rumput terus nepuk-nepuk lahan disampingnya.

"Duduk sini." ujarnya.

Gue awalnya bingung, tapi akhirnya gue nurut dan duduk di sampingnya.

"Lap dulu tuh ingusnya. Udah mau nyampe mulut gitu." ujarnya.

Gue langsung aja mengelap ingus gue pake punggung tangan gue. "Udah."

Gue menoleh ke arahnya yang malah lagi geleng-geleng.

"Ngelap ingusnya aja lu masih noob. Gimana mau nanganin sakit hati yang lu rasain." ucapnya lalu mengulurkan tangannya ke arah gue.

Gue terdiam. Dia lagi mengelap pipi gue. Gue menatap dia yang lagi fokus ngelus pipi gue.

Ganteng.

Satu kata itu langsung muncul di benak gue.

Dia menatap gue setelahnya. Kami bertatapan lalu gak lama dia terkekeh terus ngelap tangannya ke celana gue. Gue mengerinyit awalnya, namun gue segera sadar.

"Jorokk!"

Gue menjauhkan kaki gue dari jangkauan tangannya yang masih berusaha meraih celana gue.

"Ini kan ingus elu. Gimana sih."

"Siapa yang nyuruh lo ngelap-ngelap segala. Itu resikonya. Harusnya lo terima!" gue nyolot. Dan entah gimana rasa sesak yang tadi terasa sakit sekarang udah gak ada. Hilang.

"Iyadeh." ujarnya. Dia akhirnya mengelap tangannya itu di celana olahraganya sendiri. Gue nyengir melihat itu.

"Lo gak lanjut main bolanya?"

Dia menggeleng. "Gak deh. Gua mau ngobrol sama elu aja. Lagian gak lama lagi bel masuk." ujarnya. Gue mangut-mangut paham.

"Makasih ya." ujar gue tulus. Dia berkerut natap gue.

Gue menggaruk tengkuk gue. "Ituu.. Lo udah bikin gue gak sakit hati lagi. Ya walaupun masih berbekas sih."

"Lu beneran lagi sakit hati?" gue mengangguk membenarkan.

"Oke. Gue emang hebat jadi obat sakit hati orang." ujarnya sambil menepuk dadanya bangga. Gue cuma geleng-geleng.

"Oh ya. Nama lo siapa, Kak?" tanya gue.

Dia berhenti melakukan hal itu dan natap gue. "Lu adek kelas gue?"

Gue ngangguk.

"Asw. Gua kira kita seangkatan. Muka lu keliatan tua sih." dia ngakak setelah mengucapkan itu.

"Sialan lo!" gue mesem-mesem karena di bilang muka tua. Perasaan gak deh. Gue sering dibilang anak smp sama abang-abang angkot yang akhir-akhir ini sering gue naikin.

Dia berhenti ketawa.

"Siapa dia?" tanyanya sambil nunjuk ke belakang gue.

Gue menoleh ke arah yang di tunjuknya. Hansung. Dia lagi berdiri di ujung koridor sana. Dia garuk-garuk tengkuknya sambil ngeliat ke lantai. Gue seketika tersadar. Gue lupa tujuan awal gue kesini. Pasti dia nyariin gue tadi.

Gue balik noleh ke arah Kakak kelas di samping gue. "Dia temen gue, Kak. Gue kesana dulu ya. Dia pasti nyariin gue tadi." ujar gue.

Dia mengangguk.

Gue mulai bangkit dari duduk gue dan menepuk bokong gue untuk membersihkan celana gue.

"Uka"

Gue yang tadinya udah mau jalan jadi balik menoleh ke arah suara itu.

"Nama lu unik. Untung bukan Uya yah." dia ngakak setelah itu.

Gue pura-pura mau menendangnya. Setelah itu gue berniat berbalik untuk menyusul Hansung. Namun kembali urung karena kembali mendengar suara itu.

"Kalo kita ketemu lagi. Gua bakal kasih tau elu nama gua."

Gue menatapnya yang kini tengah tersenyum. Gue bales tersenyum. Setelah itu dia berbalik dan lari ke arah lapangan.

Gue pun melakukan hal yang sama. Berbalik dan beranjak jalan menuju Hansung.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel