Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

4

Bel masuk sekolah baru aja bunyi pas gue udah sampai di koridor sekolah. Gue beruntung. Gue nemu angkot dengan cepat tadi pagi. Dan kalian semua udah tau kan kenapa gue bisa nyari angkot?

Oke. Gak usah di perjelas. Gue muak kalo ngingetnya. Jadi, dengan napas ngos-ngosan gue kembali lari untuk menuju kelas. Gue gak mau telat. Kemarin aja guru nelpon Ayah karena gue bolos. Apalagi kalo gue sampai telat hari ini. Bisa-bisa gue di cap anak badung, pemalas, suka keluyuran. Gue kan gak mau dan gak cocok juga buat gue yang kiyowo gini. Yang pantes tuh ya si Daviz. Gak perlu di cap sama guru lagi. Karena semua orang udah tau. Kalo Daviz and the genk lewat, itu kaya bau-bau tanah gimana gitu. Kaya ada busuk-busuknya.

Forget him!

Gue masuk kelas setelah melihat tanda-tanda kalo guru mapel belum masuk ke kelas gue. Gue ngeliat sekeliling. Bangku yang tersisa tinggal 2. Di ujung kiri paling belakang. Gue lesu seketika. Bukan karena gue bakal duduk di belakang, bukan. Gue udah bisa menebak itu. Tapi yang ini, diluar perkiraan gue banget. Daviz duduk tepat di depan kursi yang tersisa itu.

Gue frustasi seketika. Ini bukan hanya cobaan di masa kelas 11 gue. Tapi ini sebuah siksaan. Dia pasti sengaja duduk disitu. Biasanya kan dia duduk di tengah-tengah, biar bisa mejengin cewek-cewek.

Akh sial!

Gak ada pilihan lagi. Gue harus duduk disitu. Ya harus! Gue bakal bertahan sampai istirahat nanti. Setelah itu gue bakal cari alasan ke wali kelas agar gue dipindahkan ke depan. Itu rencana gue.

"Baru dateng beb?" sindir Daviz saat gue melewati bangkunya. Gue gak peduliin dia dan lanjut jalan sampai bangku gue.

Gue duduk dan menaruh tas gue di atas meja, biar lebih gampang ngambil bukunya.

"Bu Helda, woy. Bu Helda dateng!" gue mendongak mendengar teriakan yang gedenya kaya toa itu.

Semuanya terlihat heboh setelah mendengar teriakan itu. Murid-murid yang tadinya lagi ngobrol di tempat yang bukan miliknya kini berlarian untuk kembali ke habitatnya.

"Cih, dasar anak SMA" desis gue sambil geleng-geleng.

Bu Helda muncul setelah seisi kelas menjadi hening dan tentram. Hanya ada satu alasan kenapa mereka semua bisa senyap sepi begini. Bu Helda adalah guru killer. Ya cuma itu alasannya. Gue pernah denger waktu kelas 10 kalo Bu Helda adalah calon Polwan yang menjelma menjadi guru BK dan Bahasa Inggris di sekolah gue. Makanya dia guru yang memiliki imej menyeramkan di sekolah ini.

Gue melongo setelah Bu Helda sampai di tengah-tengah kelas. Dia gak sendiri. Dia bareng murid cowok yang tingginya hampir sama kaya Daviz.

Eh.. Kok Daviz sih!

Ralat. Maksud gue hampir setinggi papan tulis. Dan ajaibnya gue kenal sama itu cowok. Diaaa... Han. . . aduh siapa ya.

"Anak-anak. Ibu bawa murid baru. Ayo nak kenalin dirimu sama teman sekelasmu" gue merhatiin Bu Helda ngomong.

Wut? Dia murid baru?

Ini seriusan?

Anak yang kemarin gue ajak bolos itu murid baru. Ck. Pantes aja waktu gue tanya dia di kelas mana, dia jawab belum tau. Cih, gue merutuki sifat gue yang gak suka terlalu banyak tanya. Gak! Bukan salah gue juga, dia sendiri yang nggak ngomong ke gue.

"Hai. Saya Hansung Ferdian. Kalian bisa panggil gue apa aja" ujarnya terus ngebungkuk sebentar.

Hansung. Ya! Itu dia.

"Gue manggil lo Anjir boleh dong, ya?" celetuk Daviz yang langsung mengundang tawa seisi kelas.

Bu Helda melotot ke arah Daviz, sedangkan Hansung cuma garuk tengkuknya malu lalu tatapan kami bertemu. Dia sedikit membesarkan matanya saat ngeliat gue. Gue tersenyum dan melambaikan tangan ke arahnya.

"Lo kenal dia?"

Gue ngelirik ke arah Daviz lalu mendengus.

"Bukan urusan lo!" ujar gue lalu kembali menatap ke depan.

"Oke, Han. Kamu bisa duduk disamping.. Kamu! Siapa nama kamu?" Bu Helda nunjuk ke arah gue.

Gue mau menjawab, namun celetukan Daviz kembali terdengar.

"Uke, Bu!"

"Oke. Kamu duduk sama Uke yang ada di belakang sana." ujar Bu Helda kembali menunjuk gue. Gue menggeram ke arah Daviz. Gara-gara dia nama gue tercemarkan. Setan!

Hansung berjalan ke arah gue lalu duduk di kursi kosong yang ada di sebelah gue. Gue senyum ngeliat dia. Seengaknya gue duduk sama orang yang bener, walaupun di depan gue ada sesosok makhluk yang menjijikan.

"Hai. Kita ketemu lagi" dia ngulurin tangannya ke arah gue. Gue menjabat tangan itu lalu terkekeh.

"Iya. Maaf ya kemaren gue tiba-tiba narik tangan lo buat bolos bareng" ujar gue tulus karena gue emang gak tau kalo dia tuh murid baru. Habis seragamnya udah samaan kaya punya gue. Putih Abu-abu.

"Ohh.. Jadi kemaren lo bolos bareng dia? Bukan ke tempat kerja bokap?"

Gue menoleh seketika mendengar suara itu.

"Lo nguping?" tanya gue curiga.

"Gak sengaja denger! Gue bilangin Papa ntar kalo gue udah di rumah. Lo udah bohong soal semalem." gue panas seketika. Dia dengan gamblangnya mau ngaduin gue ke Papa, sedangkan gue mau ngadu di ancem bakal di sodomi. Wtf! Mau menang sendiri aja dia.

"Coba aja kalo lo berani!"

"Apa, apa. Lo mau ngancem gue juga!?" ujar Daviz dengan nada tinggi.

"Daviz! Uke! Keluar kalian!!"

Gue mendongak seketika. Bu Helda sudah menunjuk ke arah kami dengan penggarisnya. Daviz yang di sebut namanya langsung bangkit dari kursinya dan berjalan keluar kelas.

Gue menoleh ke arah Hansung. Gue merasa bersalah sama dia. Kesan kedua yang gue tunjukin ke dia jadi jelek lagi.

"Maaf, ya" ujar gue tulus. Dia menggeleng pelan.

"Uke!!" teriak Bu Helda lagi. Gue langsung bangkit dari kursi dan berjalan menuju keluar kelas sambil merutuki nama Daviz yang udah bikin nama gue jadi berubah.

Dan untuk kesekian kalinya gue mengumpat.

Daviz sialan!!!!

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel