Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

3

Hari udah malem. Bukan malem sih. Maghrib lebih tepatnya. Dan gue masih di luar rumah lengkap dengan seragam sekolah yang masih menempel di tubuh gue.

Gue sebenernya mau masuk. Tapi gue takut. Pasti si Daviz ngadu ke bokap kalo gue bolos tadi. Malah gue pulangnya maghrib lagi.

Argh!

Gue ngelirik jendela kamar gue. Kalo gue lewat situ gak bakal mungkin. Kamar gue kan sebelahan sama Daviz. Dan kalo gue buka jendela itu, pasti bakal ketahuan sama si Daviz. Dia kan titisan guk guk.

Lewat pintu belakang?

Gak bisa!

Jam segini bokap lagi masak. Dan itu lebih parah. Gue bakal di ceramahin panjang kali lebar kali tinggi. Dan ujung-ujungnya wifi rumah bakal di matiin selama seminggu. Dan gue gak mau itu terjadi. Nanti gue gak bisa streaming dan vote bias gue. No! Itu adalah siksaan paling berat bagi gue.

Gue menghela nafas pasrah. Sekarang cuma ada dua pilihan. Pertama, gue harus masuk dan nerima hukuman itu. Kedua, gue gak balik sampai bokap yang nyariin gue, biar kesannya gue ilang.

Gue sumringah. Option kedua adalah pilihan terbaik. Jadi dengan semangat gue berbalik arah untuk keluar dari halaman rumah dan menuju gerbang. Namun langkah gue terhenti disitu saat sebuah mobil yang udah sering gue liat beberapa minggu ini berhenti tepat di depan gue.

Om Raffa.

Maksud gue Ayah. Dia menurunkan kaca mobilnya lalu menatap gue. Gue salah tingkah karena gue merasa ketahuan.

"Sore, Yah" sapa gue canggung. Sumpah deh, timingnya gak banget. Gue yang tadi semangat jadi down gini. Dan malah tambah ketakutan.

Ayah gak menjawab gue. Dia malah membuka pintunya dan berjalan ke arah gue. Gue sedikit takjub saat melihatnya sedekat ini. Ganteng banget. Pantesan Papa naksir sama si Om Raffa. Maksud gue Ayah. Dia kece abis, auranya keliatan banget. Perpaduan antara macho, manly, dan laki banget jadi satu.

Eh... Gue bener kan?

Gak tau deh, yang jelas saat ini Ayah keliatan menakjubkan di mata gue. Mungkin kalo gue homo gue juga bakal naksir sama ini Duda. Tapi segera gue tepis pemikiran itu, karena dia sudah milik Papa sekarang.

"Kamu baru pulang, Ka?"

Gue kembali takjub setelah mendengar suaranya. Perasaan kemaren-kemaren gue biasa aja sama suara Ayah. Tapi kenapa sekarang gue takjub banget ya. Apa gue udah terkena virus homo ya? Tau ah. Intinya gue kembali memuji suaranya dalam hati.

"Ka?"

Gue tersadar setelah Ayah memegang bahu gue pelan.

"Apa, Yah?" tanya gue. Dan entah bagaimana rasa canggung yang tercipta barusan kini sudah hilang dan di gantikan dengan senyuman gue.

"Kamu barusan pulang, Ka?" tanya Ayah. Gue mengangguk kuat dan lanjut tersenyum. Pokoknya mulai sekarang gue adalah fans nomer satu Ayah!

"Kok gak langsung masuk? Udah mau isya loh." ujar Ayah yang membuat gue teringat sama rencana gue sebelumnya.

"Tadi udah mau masuk kok, Yah. Cuma tadi baru inget sesuatu." ujar gue memastikan

Ayah mengerutkan dahinya mendengar penuturan gue.

"Inget apa, Ka?" tanya Ayah. Gue menggaruk tengkuk gue yang gak gatal. Gue harus ngomong apa nih? Kalo gue jujur ntar gue di marahin. Walaupun gue belum pernah di marahi sama beliau.

"Ada deh, Yah." ujar gue akhirnya karena gak tahu harus ngomong apa. Gue menatap Ayah takut-takut. Namun rasa takut itu musnah seketika setelah gue melihat Ayah tersenyum tipis lalu mendaratkan tangannya di kepala gue.

"Kamu ini, ada-ada aja." setelah mengucapkan itu, tangan Ayah yang ada di kepala gue perlahan di gerakkannya sehingga menciptakan sebuah elusan hangat yang gue rasakan.

Papa emang sering ngelus kepala gue. Tapi ini beda. Rasa yang gue rasakan saat ini terasa begitu beda dengan elusan tangan Papa. Gue emang gak deg-degan. Tapi gue merasakan kenyamanan yang begitu menyenangkan. Entah apa yang gue rasakan ini. Yang jelas gue menyukainya.

"Kita masuk yuk, di luar begini dingin loh." gue berkedip beberapa kali untuk mencerna yang barusan di katakan Ayah.

"Ayok"

Ayah menarik tangan gue ke arah pintu mobil lalu membukanya. Dan tubuh gue tanpa komando langsung masuk ke dalam mobil dan duduk di dalamnya. Setelah melihat gue duduk. Ayah berjalan ke arah kemudi mobil dan masuk kedalamnya.

"Yah." panggil gue setelah Ayah menyalakan mobilnya. Ayah melihat ke arah gue dengan tatapan bertanya.

"Bisa tolongin Uka, gak?"

Walaupun kejadian barusan sangat manis dan memoriable banget. Itu gak menghilangkan ketakutan gue begitu aja.

Jadi gue mencoba pertolongan dari Ayah.

"Tolongin apa, Ka?" tanya Ayah.

Gue menghembuskan nafas sebentar.

"Ayah udah tau kan kalo aku bolos?" tanya gue harap-harap cemas.

Ayah mengangguk pelan. Gue melongo sebentar. Jadi Daviz beneran ngadu? Cemen banget sih dia. Dasar tukang ngadu.

"Ayah tau karena tadi guru kamu nelpon Ayah. Terus Ayah tanya ke Daviz. Dan emang bener. Kamu kenapa bolos, Ka?" ujar Ayah. Gue terdiam sebentar untuk mencerna ucapan Ayah barusan.

Jadi Daviz gak ngadu ke Ayah tapi cuma konfirmasi doang? Ah palingan dia ngadu juga ke Papa karena tau gue bolos dari Ayah. Gue tetep kesel sama dia!

"Ka?" gue noleh.

"Gpp, Yah. Kan awal semester juga. Sekali kali bolos kan gak masalah." ujar gue lalu terkekeh. Ayah mengangguk mengerti.

"Terus kamu mau minta tolong apa sama Ayah?"

"Eehh.. Ituu.. Kalo nanti Papa nanya aku bolosnya kemana. Nanti Ayah bilang ya kalo aku bolosnya ke tempat kerja Ayah. Biar Papa gak marah." jelas gue yang di oh kan sama Ayah.

"Oke. Nanti Ayah bilang begitu." ujar Ayah lalu mulai menginjak gas untuk menjalankannya ke rumah dan memasukkannya ke garasi.

Gue tersenyum senang mendengar hal itu. Ayah adalah Father idaman banget. Dia gak kepo sama permintaan gue dan malah menyetujuinya begitu saja.

° ° °

Gue sudah berganti baju sekarang dan siap untuk keluar kamar buat makan malam. Saat gue buka pintu. Gue terkejut. Disana berdiri sesosok Daviz dengan setelan berwarna hitam dan mata yang menatap gue tajam.

"Ada a-" belum sempat gue menyelesaikan kalimat gue. Daviz sudah mendorong gue kebelakang sehingga gue kembali masuk ke dalam kamar. Gak sampai disitu. Dia juga menutup pintu kamar gue dengan kaki kirinya.

Gue gak takut atau gemetar sedikitpun walau kini dia sudah berjalan mendekat kearah gue yang entah kenapa gue melangkah mundur karenanya.

"Lo ngapain pulang bareng Ayah" itu adalah pertanyaan. Namun dia mengucapkannya dengan nada datar sehingga itu terkesan menyeramkan.

Dia masih melangkah mendekati gue. Sedangkan gue udah gak bisa mundur lagi, karena tubuh gue udah mentok di lemari.

Bruk!

Gue menoleh kesamping kiri gue. Tangan kanan Daviz kini sudah mendarat indah di lemari dan sukses mengunci pergerakaan gue persis seperti Drama Korea yang sering gue tonton.

"Lo ngadu ke Ayah?"

Gue seketika menoleh ke arahnya. Matanya tambah tajam natap gue. Gue juga gak mau kalah jadi gue bales menatap dia tajem.

"Ngapain lo melototin gue? Lo beneran ngadu?" ujarnya yang membuat gue sadar kalo mata gue sedikit besar yang mana itu gak bisa membuat gue memiliki tatapan tajam.

"Jawab!" gertaknya.

Gue menarik nafas sebentar lalu berusaha memindahkan tangan Daviz dari lemari gue. Bagaimanapun, gue gak mau barang-barang gue terkontaminasi olehnya. Bahaya. Itu virus mematikan.

Bukannya tangan itu melemah karena mau gue pindahkan tapi malah bertambah kuat sehingga cengkaraman gue seperti gak ada apa-apanya.

"Harus banget lo ngunci gue gini?" dia gak jawab. Dia malah kembali mendekati gue sehingga wajah gue dan dia hanya berjarak beberapa senti. Bahkan nafasnya saja menerpa wajah gue.

"Kalo lo jawab. Gue bakal segera hentikan ini." ujarnya tepat dimata gue. Karna emang lebih tinggi dia di banding gue.

Gue menggeleng pelan.

"Gak gue gak ngadu. Seengaknya belum." ujar gue yang dengan sengaja memberi sedikit hawa ekstra mulut gue yang belum makan. Cium tuh hawa surga. Gue ngikik dalam hati.

Dia menjauhkan wajahnya.

"Bagus deh. Kalo lo sampai berani ngadu. Lo bakal nerima akibatnya." uncamnya sambil mengelus dagu gue. Gue menepisnya kuat.

"Gue gak takut sama ancaman lo!" tegas gue.

Dia menyeringai lalu kembali mendekatkan wajahnya. "Lo yakin?" ujarnya tepat di telinga gue.

"Kalo lo berani ngadu ke Ayah ataupun Papa. Gue bakal melakukan INI!"

Gue terperanjat seketika. Daviz saat ini tengah meremas selangkangan gue. Bukan sekali namun dua kali. Gue terkesiap. Jadi dengan seluruh tenaga gue, gue mendorong Daviz kuat sehingga kini dia jauh dari tubuh gue dan juga tangannyapun sudah terlepas dari selangkangan gue.

"Lo gila!" ujar gue sambil menunjuknya.

Dia mengedikkan bahunya dengan seringai yang masih setia di bibirnya.

"Gak ada pilihan. Cuma itu cara yang bisa ngebuat lo tutup mulut." ujarnya lalu berbalik badan dan keluar kamar setelahnya.

Gue terdiam mencerna yang barusan terjadi.

Barusan gue di lecehin sama Daviz?

Arghh! Sialann!

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel