Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

2

Gue sebenarnya udah punya firasat akan hal ini. Karena hal ini tuh langka banget. Jarang terjadi. Bahkan mungkin tidak pernah dilakukannya.

Gue emang dari tadi curiga di jalanan. Daviz yang seorang brandal a.k.a musuh gue mulai sekarang, tumben banget mau nurut gitu aja. Pakai acara mau telat lagi. Padahal dia setiap hari selalu telat.

"Turun"

Dan firasat gue itu benar. Dia berhenti di tengah jalan dengan gak elitnya, sehingga muka gue nemplok di helmnya.

"Gue bilang turun, nyet!" ujar Daviz sekali lagi dengan nada yang lebih tinggi. Gue mendelik lalu menoyor helmnya.

"Lo gila? Ini masih jauh dari sekolah, njing."

Gila aja kali, ini tuh masih jauh. Masih butuh naik angkot 5ribu. Kan sayang, gue bisa beli teh botol sosro pake duit itu.

"Lo bilang apa tadi?" tanyanya. Kepalanya udah mau berbalik kebelakang namun segera gue tahan. "Lepasin woy!".

Dia berontak kuat hingga tangan gue lepas dari kepalanya karena saking kuatnya dia berontak sampai tangan gue kewalahan.

Dia memasang standar motornya lalu turun.

"Lo budeg ya? Gue bilang turun." ujarnya sambil narik tangan gue. Tapi gue kekeh. Gue megang jok motor kuat untuk menahan tarikan Davis.

"Gak mau. Ini masih jauh, Dav. Lo tega sama gue?" ujar gue memasang wajah memelas.

"Gue saudara elo loh sekarang." tambah gue. Biarin lah gue akuin dia untuk kali ini.

Cuma kali ini!

"Bodoh amat! Mau saudara kek, brother kek, soulmate kek. Selama itu gak ngerugiin gue. Gue gak peduli. Jadi cepet turun!" tarikannya bertambah kuat sehingga membuat motor Vixion yang gue dudukin miring sebelah.

Karena gue gak mau jatoh dan kaki gue ketindih motor. Jadilah gue turun dari motor. Namun karena tarikan yang masih dilakukan Daviz saat ini. Kaki gue dengan gak elitnya kesandung jok motor yang mana itu membuat gue jatoh kekiri dan mengakibatkan tubuh gue nempel di badan Daviz.

Gue gak deg-degan kok. Gue nggak sealay itu buat deg-degan karena kejadian seperti ini. Dan juga, walaupun bokap gue itu homo. Gue gak mau mengikuti jalannya. Apalagi jadi bottom. Gak! Gue gak mau bokong gue di tusuk pake kelamin yang sama kayak punya gue. That sucks!

Pletak!

Gue kaget. Itu emang gak sakit sih karena gue pake helm. Tapi sensasinya ituloh yang bikin gue gedek. Gue mendongak ke orang yang udah geplak kepala gue. Namun karena masih merasa kaget, jadi pergerakan gue kelewat cepet yang mana itu menyebabkan helm gue kena hidung Daviz dengan elitnya.

Dia gak teriak atau mengerang kesakitan. Tapi gue shock tentu saja. Jadi dengan akal sehat gue memegang hidungnya untuk memastikan kalo dia baik-baik.

"Maaf, gue gak sengaja"  gue mengelus hidungnya lembut. Bagaimanapun ini tuh salah gue. Itu pasti sakit banget. Cuma dia sok cool makanya dia tahan. Dasar Brandal!

Baru aja gue mau memencet hidungnya. Dia sudah menepis tangan gue dari hidungnya.

"Gak usah sok care!" ujarnya lalu mengusap hidungnya.

"Bukan sok care. Gue merasa bersalah. Kan itu kena helm gue." ujar gue. Dia mendengus lalu mengulurkan tangannya ke leher gue. Gue mundur selangkah tapi keburu mentok karena ada motor di belakang gue.

"Ngapain lo mundur?"

"Lah, lo ngapain ngulurin tangan gitu?" tanya gue penuh selidik.

"Gue mau ngambil helm yang lo pake. Lo pikir gue mau ngapain? Nyium lo?" dia ngomong gitu sambil terkekeh. Gue mendecih pelan lalu mulai membuka helm yang ada di kepala gue.

Sebelum gue menyerahkan helm itu ke tangan Daviz. Gue tersadar. Maksud dia minta helm gue buat apa?

"Lo beneran nurunin gue disini?" tanya gue mulai sedikit cemas. Ini tuh udah siang. Sekolah masih jauh. Kalaupun naik angkot itu bakal makan waktu yang lama.

Gue tersentak dari lamunan gue tadi. Helm yang gue pegang sudah gak ada dan kini sudah berpindah tangan.

"Lama banget. Pacar gue udah nungguin nih." ujarnya lalu menaiki motornya.

Gue yang tadi masih loading segera sadar. Gue genggam erat pegangan yang ada di belakang jok untuk menghentikan Daviz sebelum mengegas motornya.

"Dav, lo seriusan ninggalin gue?"

Bukannya jawab dia malah langsung mengegas motornya cepat dan membuat gue tersungkur di aspal. Gue segera bangkit lalu hendak mengejar motor itu namun gagal karena gue gak bisa menjangkaunya.

"DAVIZ BANGSAAATTT!!" teriak gue sekenceng mungkin biar dia denger. Dan bener. Dia mengacungkan tangannya dengan jari tengah yang berdiri.

Gue berdecak.

"Sialan! Liat aja ntar. Gue aduin ke Papa!"

° ° °

Gue telat. Gerbang sekolah sudah menutup dengan indahnya di depan mata gue. Gue juga udah nyerah buat ngerayu Pak Satpam untuk bukain gerbang. Dia bilang gue sengaja telat karena mampir kemana-mana. Gue membantah tentu saja. Tapi percuma, si Bapak gak percaya sama gue.

Gue melangkah gontai menjauh dari gerbang sekolah. Gue harus ngomong apa nanti kalo Papa di telpon guru karena gue gak masuk? Ini tuh awal semester, gue bakal gak kebagian bangku urutan depan. Gue gak mau duduk di belakang. Gue gak mau masa kelas 11 gue di isi dengan kebisingan Daviz and the geng!

Daviz.

Gue menggeram mengingat nama itu. Iya!

Ini semua salah dia. Kalo aja dia gak nurunin gue di jalan gue gak bakal telat. Awas aja ya, gue bakal ngadu ke bokap. Ini juga salah Papa. Kenapa juga motor gue di kasih orang gitu aja. Gue kan juga butuh. Gue perlu jalan-jalan, hang out, jalan santai, senam, dll.

Arghhh!

Sumpah ya, ini tuh tahun terburuk gue banget deh. Dapet saudara gila, motor di kasih, bakal duduk di belakang. Gue gedek memikirkan semua itu.

"Maaf, boleh nanya?"

Gue yang lagi perang batin seketika berhenti melangkah lalu mendongak untuk melihat orang yang ada di depan gue.

Gue mengerutkan hidung gue. Seragamnya sama kaya punya gue. Dia murid sini juga?

Gue sumringah seketika.

"Lo telat juga?" tanya gue memasang senyum yang gue yakin sangat memukau. Dia berkerut ngeliat gue.

"Maksud lo?" tanyanya dengan nada bingung. Gue tahu dia pura-pura gak tahu. Makanya gue gak jawab pertanyaannya dan malah nawarin dia.

"Bolos bareng yok. Gerbang udah di tutup juga. Lo gak bakal bisa masuk. Satpamnya taat aturan banget. Gak bisa di suap." ujar gue yang mana itu membuat dahinya tambah berkerut.

Gue tersenyum kecil lalu menarik tangannya.

"Udah ayok."

"Tapi.." dia menahan tangan gue. Gue berhenti lalu menatapnya.

"Jangan takut. Awal semester ini." gue kembali menarik tangannya. Tepat di jarinya. Jadi kayak orang gandengan gitu.

Setelah merasa gak ada perlawanan dari dia. Gue mulai melangkah dan bertambah jauh dari area sekolah. Biarlah gue bolos kali ini. Walaupun gue gak pernah melakukannya. Toh, gakpapa lah ya sekali-sekali.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel