Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

1

Sebelumnya kenalin dulu.

Gue Uka Firmansyah. Anak dari Duda homo yang kini sudah nikah dengan sesama Duda homo yang mana dia adalah Ayah dari orang yang paling gue hindari di sekolah. Daviz.

Semenjak kepindahannya kerumah gue 2 minggu yang lalu. Kehidupan gue di rumah semakin berwarna. Iya berwarna. Berwarna ingin mebunuhnya dengan kaleng cat. Biar tau dia rasanya warna kehidupan itu seperti apa.

Gue gedek. Kesel. Marah. Sama tingkahnya sejak tinggal di sini. Emang ya yang namanya berandal itu gak tau tempat buat mencari masalah sama orang. Gak di sekolah, gak dirumah sama aja. Bikin orang muak.

Apalagi dia itu suka nyuruh-nyuruh. Emang dia pikir dia siapa? Saudara tiri? Cih. Gue gak bakal anggap itu nyata sampai kapanpun.

Satu lagi. Dia itu suka banget make barang-barang gue. Sumpah. Yang satu ini gue gedek banget sama dia. Masa bantal guling gue di ambil gitu aja. Terus setelah di pakai semaleman baru di balikin. Gue kan gak mau nerima lagi. Siapa tau kan di situ nanti ada sperma bekas dia coli? Ya geli lah gue. Alhasil gue kasih dengan gak ikhlasnya guling kesayangan gue itu.

"Ka! Sarapan!" teriak bokap gue dari arah dapur. Kedengaran jelas kok. Orang kamar gue cuma 20 meter dari dapur.

"Iya, Pah!" gue balik teriak lalu bersiap-siap sama barang-barang sekolah gue. Gue mendekte. Tas ada, buku ada, alat tulis ada, sepatu ada. Oke semua lengkap.

Jadi dengan cepat gue masukan semua yang gue sebutkan di atas ke dalam tas, kecuali sepatu karena mau gue pakai. Saat gue mau pakai sepatu, gue merasakan kejanggalan.

Kaos kaki!

Kaos kaki gue kemana?

Perasaan semuanya udah gue siapin sebelum gue mandi tadi. Termasuk kaos kaki bergambar Sehun di bagian bawahnya. Karena gue merasa kehilangan. Dengan cepat gue mencari benda itu keseluruh sudut kamar gue.

Nihil!

Gue gak ketemu sama itu kaos kaki. Itu kaos kaki kesayangan gue Yalord. Kemana dia menghilangnya. Gue gak mau ngantri lagi bareng fangirl gila itu buat dapetin kaos kaki yang sama.

Setelah mencari hampir 15 menit lamanya. Gue putuskan bahwa kaos kaki itu hilang. Musnah. Lenyap dari muka bumi ini. Gue lesu seketika karena dengan terpaksa gue harus memakai kaos kaki normal yang sering di gunakan anak sekolah pada umumnya.

Gue keluar kamar lalu segera menuju dapur untuk sarapan. Disana gue liat pemandangan keluarga yang rukun. Ada bokap yang lagi masak. Ah Papah ternyata bottom. Gue pikir dia top. Ah gue kecewa.

Disana juga terlihat ada Om Raffa yang lagi main hp. Terus ada errr.. Daviz yang lagi makan. Entah makan apa. Beling kali ya, soalnya berisik banget tuh bunyinya.

"Pagi, Ka" sapa Om Raffa setelah melihat gue duduk di sebelah Daviz. Gue cuma mengangguk lesu. Inget! Kaos kaki kesayangan gue ilang. Makanya lesu.

"Kok lesu gitu, ada apa, Ka?" tanya Om Raffa yang mana itu membuat Daviz menoleh ke arah gue yang sialnya gue juga noleh ke arah dia. Gue segera membuang muka terus melihat Om Raffa.

"Gak papa, Om. Cuma habis kehilangan sesuatu aja tadi." ujar gue tambah lesu karena malah di tanyain. Bukannya di beliin.

"Lo masih manggil Ayah gue Om?"

Gue noleh seketika ke arah nya. Gue mendengus karena melihat ada kotoran di bawah bibirnya. Kotoran yang gue maksud itu nasi loh ya. Bukan upil. Walaupun gue suka ngupil.

"Ada apa sih?" tanya Papa setelah duduk di samping Om Raffa dan meletakkan ikan goreng di atas meja.

Gue baru aja mau jawab pertanyaan Papa. Tapi keduluan sama Daviz.

"Itu Om, si Uke masih manggil Ayah pakai sebutan Om." ujarnya.

Gue murka seketika mendengar tuturannya.

"Gak salah? Lo juga barusan nyebut Papa 'Om'! Dan asal lo tau. Nama gue Uka bukan Uke!" ujar gue dengan nada tinggi buat nyemprot tuh brandal.

"Eh, iya ya. Maaf, Om. Eh maksudnya, Pah." katanya sambil nyengir.

"Udah, udah. Makan dulu. Nanti kalian telat kan berabe." Ujar Om Raffa. Maksud gue Ayah.

"Awal semester juga. Telat gak masalah!" ujar gue ogah-ogahan sambil mulai menyuap nasi ke mulut gue.

"Uka." tegur Papa tapi gak gue hirauin.

"Aku udah selesai. Aku berangkat ya, Yah. Pah" Gue noleh ke samping gue.

Daviz sudah berdiri dan siap dengan tas di punggungnya.

"Loh, kamu gak nungguin Uka?" tanya Ayah yang di sambut oleh gelengan Daviz.

"Ngapain nunggu dia. Kita berangkat sendiri-sendiri." gue manggut menyetujui ucapan Daviz. Gue kan punya motor sendiri.

"Kalian harus bareng." ujar Ayah yang hampir membuat gue keselek air minum. Karena gue lagi minum tadi.

"Kok? Gak mau ah. Dia kan punya motor sendiri, Yah." ujar Daviz gak terima. Gue juga gak terima, makanya gue ngangguk-ngangguk lagi.

"Motor kamu Papa kasih ke Tante Lina, Ka. Kasian anaknya mau kesekolah gak ada kendaraan."

Gue melongo menatap Papa.

"Kan aku juga gak punya kendaraan kalo motornya di kasih, Pah. Gimana sih." gue protes tentu saja. Walau itu motor lama, tetep aja kan gue butuh itu motor.

"Sekarang kan ada Daviz. Kalian bisa bareng. Iyakan, Raf?" ujar Papa yang di angguki sama Ayah.

"Yaudah deh. Uka bareng aku."

"Lo mau?" tanya gue.

"Gak ada pilihan. Lo mau jalan?" gue menggeleng. Gila aja lagi gue mau jalan ke sekolah yang jauhnya nauzubillah.

"Yaudah ayok buruan. Mau telat nih."

Setelah mengucapkan itu dia berjalan ke arah para duda di depan gue. Dia menyalimi keduanya lalu melirik gue.

"Woy, buruan!"

Gue tersadar lalu mengikuti apa yang di lakukan Davis tadi. Setelah itu gue langsung menyusul langkah Daviz menuju garasi.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel