Bab 1: Lahir di dunia lain - 2
"Dia… Mungkin aku harus mengirimnya ke Akademi Sihir."
"Tapi sebelum itu, mungkin aku harus mengajarkannya beberapa teknik pertarungan dan latihan sihir dasar agar dia bisa bertahan hidup di ibu kota. Lagi pula, dia baru berusia 5 tahun. Dia masih punya 10 tahun lagi untuk berlatih agar bisa masuk akademi."
"Nak, apakah kamu suka sihir?"
Luciel terdiam sejenak, menimbang kata-kata ayahnya, lalu mengangguk cepat, matanya bersinar. "Ya. Aku tidak tahu kenapa, tapi… aku merasa mengenalnya. Bahkan sebelum aku melihatnya. Sihir benar-benar hebat."
Mendengar putranya memiliki minat yang begitu besar pada sihir, Luika segera berdiri, semangat baru membakar dirinya.
"Apa kau mau belajar teknik bertarung dan teknik sihir dasar?"
Mendengar tawaran itu, Luciel menjawab dengan antusias. "Ya, tolong ajari aku, Ayah!"
"Baiklah, besok sore," katanya, sebuah senyum tipis terukir di wajah kaku itu. "Datanglah ke lapangan ini setelah aku pulang dari ladang. Setelah kau membantu ibumu. Aku ingin menunjukkan sesuatu padamu."
Langit pagi berikutnya dibasuh dengan nuansa ungu yang lembut. Embun yang menggantung di dedaunan seolah mengingatkannya pada janji sore yang akan datang, sebuah awal dari perjalanan baru.
Sore itu, saat bayangan pepohonan memanjang di tanah dan burung-burung mulai terbang pulang ke sarangnya, Luciel sudah menunggu dengan sabar. Ia berdiri di tengah lapangan, menggenggam tongkat kecil yang dibuatnya sendiri dari cabang pohon plum. Luika datang dengan langkah-langkah lelah setelah seharian bekerja, namun tatapannya tajam dan fokus.
"Kau datang tepat waktu," katanya dengan nada lugas.
Luciel mengangguk. "Aku benar benar tak sabar!."
"Kalau begitu, mulai sekarang… kau bukan hanya anakku. Kau adalah muridku."
Dan sejak saat itu, hari-hari pelatihan yang keras namun formatif dimulai.
Luika bukanlah ayah biasa. Di masa mudanya, ia adalah seorang prajurit sihir di pasukan perbatasan kerajaan. Ia telah menyaksikan kota-kota dibakar oleh sihir pembohong dan hutan-hutan dihancurkan oleh ritual-ritual yang gagal. Ia tahu betul bahwa sihir bukanlah permainan anak-anak, melainkan kekuatan yang menuntut rasa hormat dan kendali.
"Sihir adalah bayangan jiwa. Dan jiwa yang tidak stabil akan menyeret sihirnya menuju kehancuran. Kau harus belajar mengendalikan diri sebelum kau bisa mengendalikan sihir."
Luciel mendengarkan semuanya dengan saksama. Setiap gerakan, setiap mantra dasar, dan setiap filosofi kehati-hatian dan kekuatan, ia hafalkan. Latihan mereka bukan sekedar mengulang gerakan atau meniru kata-kata. Ini adalah perjalanan batin—untuk mengenal diri sendiri, menerima ketidaksempurnaan, dan menyelaraskan napas dengan dunia.
Luika mengajarkan cara bertarung dengan tongkat, membaca arah angin, memahami pusat gravitasi tubuh, dan bagaimana menyalurkan energi dari pusat dada ke ujung jari.
Luciel mulai bisa menyalakan api kecil tanpa membakar rumput. Ia belajar menyalurkan panas ke telapak tangannya tanpa melepuhkan kulitnya. Dan pada suatu malam yang tenang, ia berhasil membuat nyala api kecil melayang di atas tangannya selama satu menit penuh tanpa gemetar, sebuah tanda kemajuan yang signifikan.
"Luar biasa," bisik Luika, sebuah pujian yang langka darinya, matanya memancarkan kebanggaan yang tersembunyi.
Dan sejak malam itu, ketika api kecil itu menyala di antara mereka, Luciel tahu bahwa dunia yang menantinya... telah mulai menyadari kehadirannya.
Minggu-minggu berikutnya menjadi hari-hari pelatihan yang membentuk fondasi tak tergantikan dalam diri Luciel.
Setiap sore, saat matahari mulai condong ke barat, Luika membawanya ke tempat yang sama. Di padang rumput yang sunyi itu, suara benturan kayu, napas teratur, dan bisikan mantra dasar menjadi musik harian mereka. Luika mengajarkan bukan hanya teknik, tetapi juga semangat, ritme, dan kedamaian batin.
"Teknik tebasan lurus. Jangan bidik tubuh lawanmu, bidik niatnya," kata ayahnya sambil memutar tongkat kayu dan menebas udara. Luciel menirunya, gerakannya masih kaku, namun semakin hari semakin presisi.
Mereka berlatih dalam pola tiga bagian: pagi untuk tubuh, sore untuk sihir, malam untuk meditasi. Luciel diajari berlari tanpa kehabisan napas, melompat dengan keseimbangan yang tepat, dan mengendalikan pusat gravitasi tubuhnya saat menghindar. Di dunia di mana sihir bisa membakar dan membekukan sekaligus, bertahan hidup bukanlah pilihan, melainkan sebuah keharusan.
"Jika suatu hari sihirmu gagal, pedangmu harus berbicara. Jika pedangmu jatuh, kakimu harus berbicara. Jika semuanya hening, jiwamu adalah yang terakhir berbicara."
Dalam pelatihan sihir, Luika mengajarkan mantra-mantra dasar elemen. Api, air, angin, dan sedikit tentang tanah. Ia melarang Luciel menyentuh sihir hitam dan sihir putih karena terlalu berbahaya bagi seorang anak yang belum menguasai ketenangan sepenuhnya.
Luciel juga belajar mengendalikan napasnya sebelum merapal mantra. Setiap mantra dimulai dengan jeda—ruang sunyi di mana alam mendengarkan sebelum merespons.
"Bayangkan dunia ini bukan benda mati. Tapi tubuh yang bernapas. Jika kau ingin menyalakan api, kau harus memahami di mana jantung panas dunia ini berdetak."
Ia mulai bisa membuat percikan mengikuti gerakan tangannya. Kemudian api kecil yang bisa ia ayunkan. Kadang-kadang itu adalah pedang pendek, kadang bola api kecil, dan kadang hanya nyala api yang mengikuti ritme gerakannya seperti pita merah terang yang menari.
Suatu hari, Luika menyuruhnya memejamkan mata.
"Biarkan tubuhmu dan panca inderamu mengenali dunia. Dengarkan rumput, rasakan angin, cium bau tanah. Dan kemudian panggil api dari pusat dadamu, bukan dari jemarimu."
Luciel mencoba.
Dan ketika api itu menyala, tanpa ia membuka mata, Luika tahu bocah itu telah melewati ambang batas pertama.
Sejak itu, Luciel terus berlatih sihir dan ilmu pedang bersama ayahnya secara berkelanjutan selama bertahun-tahun. Kadang ia menyempurnakannya dengan berlatih sihirnya sendiri setiap malam, mengulik potensi tersembunyi.
Beberapa tahun kemudian, saat Luika duduk sendiri di bawah pohon elm tua yang tumbuh di belakang rumah mereka, ia merenungkan semua yang telah terjadi. Waktu seolah berlalu lebih cepat dari biasanya. Anak yang dulu menangis dalam pelukannya kini berusia 15 tahun dan mampu menyalakan bola api besar serta mengendalikan angin dengan gerakan lembut dengan mudah.
Luika memejamkan mata. Wajah-wajah dari masa lalu muncul dalam benaknya, rekan-rekan yang telah gugur dalam pertempuran, kota-kota yang hangus terbakar oleh sihir tak terkendali, dan jeritan yang tak pernah hilang dari ingatannya.
Ia menarik napas dalam-dalam.
"Sudah waktunya," gumamnya.
Malam itu, setelah makan malam sederhana, Luika memanggil Luciel dan istrinya ke ruang tamu. Api di perapian menyala lembut, menari dalam cahaya redup yang menciptakan bayangan hangat di dinding rumah kayu mereka.
"Aku sudah memikirkannya sejak lama," kata Luika, menatap wajah putranya dengan tatapan serius. "Luciel... kau sudah melampaui apa yang bisa kuajarkan padamu di sini."
Luciel menoleh, matanya menyipit, merasakan ada sesuatu yang penting akan disampaikan. "Ayah...?"
Luika menatap istrinya, sebuah anggukan kecil dibalas, lalu kembali menatap Luciel. "Kita akan pergi ke ibu kota. Kau akan mendaftar di Akademi Sihir Kerajaan."
"Jika Luciel menginginkannya dan kau sudah menganjurkannya... maka pergilah..aku akan selalu mendukungnya". Ibu Luciel berkata sambil tersenyum tipis.
Keheningan melanda ruangan selama beberapa detik, hanya suara api yang berderak yang terdengar.
"Akademi... Sihir?" bisik Luciel, matanya membelalak tak percaya sekaligus penuh rasa ingin tahu.
Luika mengangguk tegas. "Sebuah tempat di mana mereka yang berbakat dilatih, tidak hanya untuk menjadi kuat, tetapi juga untuk memahami bagaimana melindungi dunia dengan kekuatan itu."
Luciel tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap api di perapian, dan untuk sesaat, nyala api itu memantulkan kilauan di matanya, sebuah gambaran masa depan yang cemerlang.
"Ya, Ayah. Aku akan pergi. Aku ingin tahu... seperti apa dunia di luar cakrawala ini."
Dan malam itu, keputusan mereka telah dibuat. Perjalanan menuju masa depan telah dimulai.
