Bab 1: Lahir di dunia lain - 1
"Jadi beginikah rasanya mati…?"
Di kegelapan tanpa nama itu, Ren mencibir dalam benaknya. Tak ada rasa, tak ada suara, hanya kehampaan yang luas dan sunyi—seolah alam semesta telah menelannya tanpa jejak. Ia mengira ini adalah akhir, sebuah ketiadaan abadi yang dingin.
"Aku pikir… aku akan tenggelam selamanya. Tapi kenapa… rasanya masih hangat?" Gumaman batinnya terasa aneh, sebuah kontradiksi yang membingungkan dalam ketiadaan.
Kemudian, sesuatu menusuk kesadarannya.
Cahaya. Lembut. Hangat. Seperti napas ibu pertiwi itu sendiri yang menyelimutinya, sebuah kehangatan yang tak ia rasakan lagi selama bertahun-tahun.
Ia mengerjap. Kelopak matanya terasa berat, asing.
Dan dunia menyambutnya… dengan sebuah tangisan.
Tangisan itu berasal dari dirinya sendiri.
Tubuhnya terasa sempit, lemah, dan begitu asing. Ia mencoba berbicara, mencoba memanggil, namun yang keluar hanyalah suara bayi yang melengking.
"Aaaa… uuaa…!"
"Apa ini…? Aku… menangis?" Sebuah kebingungan yang murni melanda kesadarannya yang baru.
Kemudian sebuah tangan menyentuh pipinya—lembut dan penuh kasih sayang. Sentuhan itu mengalirkan kehangatan yang mendalam, menembus setiap sel tubuhnya yang baru.
"Lihat, dia menangis! Dia hidup! Dewa langit memberkahinya!"
Suara seorang wanita bergema, penuh kelegaan dan haru. Tangannya gemetar saat memegangi tubuh kecil Ren. Seorang pria berdiri di sampingnya, mengusap air mata istrinya dengan tangan yang kasar namun tulus. Ada kebahagiaan yang meluap di mata mereka.
"Anakku… kau telah datang ke dunia ini… Di tengah malam badai, kau membawa harapan." Suara pria itu dalam, namun penuh kelembutan.
Ren perlahan membuka matanya. Dunia ini… benar-benar berbeda. Langit-langit rumah terbuat dari kayu tua yang diukir sederhana, lampu-lampu di sudut ruangan memancarkan cahaya aneh yang berdenyut perlahan seperti jantung yang hidup.
Aroma rempah-rempah dan tanah basah memenuhi udara, terasa menenangkan dan asing sekaligus.
Dan di balik tangisan… jiwanya mulai terbangun, seolah-olah tirai tipis yang memisahkan kehidupan lama dan baru perlahan-lahan terangkat.
Ia menyadari satu hal.
"Aku… telah terlahir kembali."
Namun, saat kesadarannya mulai menyatu dengan tubuh barunya, ia mendengar sebuah suara—bukan dari luar, melainkan dari dalam lubuk hatinya sendiri. Sebuah suara yang seperti gema, namun terasa sangat tua… terlalu tua.
"Pewaris tubuh lama… Bangkit dalam wujud baru… Dunia ini mengenalmu, meski namamu terkubur di lautan."
"Kau bukan hanya jiwa yang bertahan hidup. Kau adalah percikan terakhir dari sihir yang terlupakan. Aku akan memberimu sebagian kekuatanku."
Tiba-tiba, tubuh bayinya bergetar lemah. Sebuah simbol berbentuk spiral bintang muncul samar di dadanya—berkilauan sejenak, lalu menghilang dalam sekejap. Tak ada yang melihatnya… kecuali Ren sendiri, sebuah rahasia yang terukir di jiwanya.
"…Apa itu…? Siapa pria tua bertudung hitam itu? Dewa?" Pikirannya mencoba memproses informasi yang membingungkan itu, namun ia tak bisa mengungkapkannya.
Sang ibu yang menggendongnya menghela napas lembut.
"Namamu adalah… Luciel. Hoshizura Luciel."
Ayahnya mengangguk, senyum tipis terukir di wajahnya. "Dalam bahasa kuno, itu berarti 'Cahaya Kecil'. Kau datang saat kami hampir menyerah. Semoga kau tumbuh kuat… dan menjadi cahaya bagi negeri ini."
Luciel… Nama baru. Dunia baru. Tapi jiwaku… Masih aku.
Dan dalam jiwanya yang baru, samar-samar… sihir kuno mulai membakar perlahan—bukan dengan kilauan angka-angka yang teratur, melainkan dengan bisikan-bisikan dari zaman yang telah mati.
—
Lima tahun telah berlalu sejak cahaya kecil itu terlahir ke dunia ini.
Luciel tumbuh seperti anak-anak lain di desa kecil bernama Thalrin, sebuah desa yang dikelilingi oleh padang rumput luas dan pegunungan berkabut di kejauhan. Namun dalam tubuh mungilnya, ada kehausan akan sesuatu yang tak terlihat. Sesuatu yang jauh lebih tua dari dunia itu sendiri—meski ia sendiri belum memahami wujudnya.
Setiap pagi, setelah membantu ibunya menumbuk gandum atau menyapu halaman, Luciel akan berlari ke lapangan terbuka di tepi desa dekat hutan—sendirian, hanya ditemani oleh angin dan desir rerumputan liar.
Di sana, ia akan berdiri tegak, memejamkan mata, dan menggerakkan tangannya dalam gerakan aneh. Seperti mencoba menggambar sesuatu di udara, membentuk sesuatu yang tak kasat mata.
"Dalam bayangan jiwa… bentuklah api…" ia berbisik, mencoba memanggil kekuatan yang ia rasakan ada di dalam dirinya.
Ia membuka matanya.
Hening.
Tidak ada api. Tidak ada percikan. Hanya udara biasa dan embusan angin lembut yang seolah mengejek usahanya. Sebuah kekecewaan kecil merayapi hatinya.
Luciel menggigit bibirnya. "Aku tahu aku dulu… tahu caranya. Aku tahu sihir bukan hanya dongeng. Aku dulu… hidup di dunia yang memahaminya." Memori samar tentang laut dan kapal, tentang kekuatan di genggamannya, terus menghantuinya, sebuah janji yang belum terpenuhi.
Sang ayah, Luika, seorang petani mantan prajurit sihir yang kaku dan jarang berbicara tentang perasaan, seringkali mengamati putranya dalam diam. Ia berdiri di kejauhan, bersandar pada pagar kayu lapuk, mengamati dengan tatapan yang sulit ditebak, campuran kekaguman dan kewaspadaan.
Luciel mencoba lagi. Tangan kecilnya terangkat ke langit, sebuah tekad keras terpancar dari sorot matanya.
"Cahaya panas, membakar dalam wujudku…"
Tidak ada yang terjadi.
Sang ayah menghela napas, tidak terlalu keras namun cukup dalam untuk menunjukkan perasaannya. Dalam hatinya, ia bergumam.
"Pada usia lima tahun… bagaimana bisa kau menggunakan sihir api?" Ia tak pernah mengajarkan sihir api, namun nalurinya mengatakan ini adalah sesuatu yang istimewa.
Luika berbalik, hendak kembali ke ladang.
Tapi—tepat saat ia melangkah—sebuah cahaya merah muncul sekejap dari ujung jari Luciel. Sang ayah memutar tubuhnya dengan cepat, matanya membesar karena terkejut.
"Apa… itu…?"
Luciel menatap tangannya, terkejut namun juga bersinar dengan kegembiraan murni. Sebuah api kecil, bintik api merah seukuran butiran gandum, menari-nari di ujung jari telunjuknya. Tidak panas. Tidak liar. Tapi nyata. Sebuah tanda pertama.
"Heh... akhirnya muncul juga..." gumam Luciel, senyum lebar merekah di wajahnya.
Dan tepat setelah ia tersenyum bangga, seolah sebuah pintu tak terlihat di dalam dirinya telah terbuka lebar, api kecil itu meledak menjadi bola besar, seukuran kepala orang dewasa. Warnanya merah menyala, memancarkan panas yang nyata.
"Wow!" Luciel memekik, matanya membelalak kaget sekaligus takjub.
"Apa!?" Luika sedikit terkejut dengan perkembangan Luciel.
Luciel terkekeh, lalu berseru.
"Waaah, hebat sekali!" Kegembiraan seorang anak terpancar jelas, melupakan potensi bahaya.
Namun bola api itu tidak berhenti di sana.
Ia mulai bergoyang, naik turun, seperti makhluk kecil yang tak terkendali. Luciel mencoba menurunkannya, namun tubuh kecilnya goyah, tak mampu menahan kekuatan yang tiba-tiba meluap.
"Eh, eh—tunggu, tunggu—!"
Bola api itu melesat tak terkendali ke arah hutan, menghantam sebuah pohon tua kering yang menjulang tinggi dengan suara ledakan.
Dalam sekejap—
"BOOOM!!"
Api menjilat batang pohon. Ledakan kecil membuat burung-burung berhamburan dari sarangnya. Pohon yang tumbang itu mulai menyulut api pada dua pohon lainnya, asap tebal mulai membubung.
Sang ayah segera melompat dari tempatnya, berlari ke arah lapangan dengan panik, namun di balik kepanikannya ada pula… kekaguman yang tak bisa disembunyikan.
Ia mengangkat Luciel yang terjatuh, mendekapnya erat. "Kau baik-baik saja!?" tanyanya, suaranya sedikit gemetar.
Luciel mengangguk cepat, matanya berkilauan penuh tawa dan sedikit geli. "Aku bisa mengendalikannya… mungkin. Tapi lucu sekali waktu dia meledak."
Luika menatap hutan yang mulai berasap, wajahnya kaku. Namun bukan karena amarah.
Karena kekaguman.
Karena ketakutan.
Karena… harapan.
"Dia… belum pernah diajari. Tapi bisa menghasilkan api… sebesar itu? Hmpph… apa anakku seorang jenius?..." Luika menatap putranya dalam diam. Kemudian, di dalam hatinya, sebuah keputusan tumbuh seperti benih yang disirami kekaguman.
"Anak ini lebih baik hidup di kota. Akan sia-sia bakatnya jika dia masih tinggal di desa….."
"Dia… Mungkin aku harus mengirimnya ke Akademi Sihir."
