Pustaka
Bahasa Indonesia

The Strongest Magician

64.0K · Ongoing
Tirika
50
Bab
212
View
9.0
Rating

Ringkasan

jsjsj

RomansaFantasiDewasaSupernaturalpetarungSupranaturalPetualanganDewaRasionalCerita

Prolog

"Apakah ini terakhir kalinya aku menyelamatkan seseorang?"

Pertanyaan itu datang kepadanya, bukan sebagai ratapan putus asa, melainkan sebagai penutup, sebuah epilog yang terasa anehnya pas untuk Shiumi Ren. Perlahan, kesadarannya memudar, tubuhnya semakin tenggelam, ditarik oleh gravitasi lautan menuju kedalaman yang gelap gulita. Rasa sakit yang tajam menjalar dari luka menganga di punggung dan bahunya, darah segar kini bercampur dengan air laut asin yang dengan kejam merobek udara dari paru-parunya yang terbakar. Air dingin itu bagai selimut es yang perlahan merampas setiap jejak panas dari tubuhnya, dan dunia di sekitarnya lenyap dalam keheningan. Tak ada lagi deru badai, tak ada lagi jeritan panik para penumpang, bahkan deru mesin kapal pun tak ada. Hanya ada kedamaian... dan rasanya begitu aneh dan mencekam.

Namun bahkan di ambang kematian, senyum tipis tersungging di bibirnya.

Dia telah menyelamatkan mereka.

Dan bagi seseorang yang telah hidup tanpa arah, tanpa tujuan yang jelas, pengorbanan itu—kepuasan yang mengalir dari tindakan terakhirnya—sudah lebih dari cukup.

Beberapa Jam Sebelumnya…

Langit malam menjadi kanvas untuk pertempuran sengit.

Hujan deras mengguyur permukaan laut tanpa henti, menciptakan riak-riak liar yang bergulung-gulung. Angin menderu bagai binatang buas, melemparkan ombak raksasa ke lambung kapal. Dan yang paling mengerikan, bongkahan es seukuran tubuh manusia berjatuhan dari langit, bagaikan kutukan ilahi yang dijatuhkan langsung dari surga. Sirene darurat kapal pesiar meraung di tengah badai, suaranya yang melengking menusuk telinga siapa pun yang masih terjaga, menandakan bencana yang akan segera terjadi.

Shiumi Ren, pria berusia 27 tahun, adalah kapten kapal pesiar. Ia menjalani hidupnya dengan keteraturan yang nyaris membosankan, namun tanpa tujuan yang nyata. Tak ada keluarga yang menunggu kepulangannya, tak ada kekasih yang merindukannya, tak ada nama yang akan dicarinya jika ia menghilang. Hidupnya—bagaikan samudra luas yang tenang—bergerak tanpa arah yang jelas, hanya mengikuti arus.

Namun malam itu… segalanya berubah drastis.

Kapal yang telah ia kemudikan dengan susah payah kini dihantam bongkahan es yang berjatuhan bak meteor dari langit. Setiap benturan keras merobek struktur kapal, menembus lambungnya, dan menggoyahkan keseimbangannya. Retakan panjang dan mengerikan mulai muncul di dinding baja, air laut mengalir deras dari segala sisi, dan kapal mulai miring perlahan, bagaikan raksasa terluka yang kehilangan pijakannya. 

"Semuanya! Ke palka belakang sekarang! Ambil jaket pelampung dan papan apa pun yang kalian bisa! Cepat sebelum kapal ini hancur berkeping-keping!" 

Suara Ren, meski bersaing dengan deru badai, menembus kepanikan yang mencekam. Dengan pengalaman dan kewibawaan seorang kapten sejati, ia mengambil alih komando—bukan dari ruang kendali yang aman, melainkan dari dek yang basah kuyup, dari pusat kekacauan. Tatapan tajamnya menyapu kerumunan yang panik, mengarahkan mereka dengan gerakan tangan yang tegas. 

Para penumpang, sebagian besar dalam keadaan syok dan histeris, berlari ke palka di bagian belakang kapal. Di sana, mereka berebut mencari jaket pelampung dan apa pun yang bisa mengapung untuk menyelamatkan diri. Namun, kondisi kapal semakin memburuk; kemiringan terus menanjak, dan suara erangan serta derit logam terdengar seperti auman binatang buas yang sekarat, menandakan keruntuhan yang akan segera terjadi.

Di tengah hiruk pikuk kepanikan dan gemuruh badai yang memekakkan telinga, Ren menangkap sebuah suara—lembut, teredam, nyaris tenggelam oleh deru ombak dan angin. "...Tolong..." Suara itu begitu kecil, lemah, seperti suara anak kecil yang kehabisan air mata karena terlalu banyak menangis. Naluri seorang pemimpin, dan mungkin juga naluri kemanusiaan yang telah lama terpendam, langsung mengambil alih. 

Ren bergerak tanpa ragu-ragu. 

Ia melompat, menyerbu ke arah haluan kapal yang kini hampir terbelah dua. Mengabaikan asap tebal yang menyesakkan, pecahan logam tajam yang melengkung, dan lantai yang semakin goyah di bawah kakinya, ia bergegas menuju sumber suara dengan kecepatan yang mencengangkan. Setiap langkah yang diambilnya mempertaruhkan nyawanya, tetapi tujuan dalam benaknya jauh lebih penting. 

Dan di sana—terjebak di bawah kursi-kursi yang terbalik dan puing-puing dinding kapal yang runtuh—dia melihat mereka. 

Dua anak. 

Wajah mereka basah oleh air mata, tubuh mungil mereka gemetar tak terkendali, dan mata mereka—dua pasang mata polos yang menatapnya balik—bersinar dengan rasa takut yang murni, mencerminkan kengerian yang tidak dapat mereka pahami. 

"Kakak… tolong…" Suara anak itu begitu menyayat hati, menusuk hati Ren. 

"Tenanglah. Aku di sini. Kau aman sekarang," bisik Ren, suaranya berusaha menenangkan meskipun jantungnya sendiri berdebar kencang. Dengan gerakan hati-hati namun kuat, Ren menarik mereka berdua keluar dari reruntuhan. Ia memegang mereka erat-erat—satu di sisi kanan, satu di sisi kiri—dan bergegas membawa mereka kembali ke dek. 

Namun, sudah terlambat. 

Kapal akhirnya terbelah menjadi dua bagian yang sempurna. Bagian belakang—tempat para awak dan penumpang lainnya berkumpul—kini terpisah jauh, terbawa arus deras, menghilang dalam kegelapan dan badai. Ren dan kedua anaknya kini terisolasi di haluan yang hancur. 

"Sial… terlalu jauh… aku tak bisa melompat bersama mereka…" umpat Ren lirih, matanya menyapu jarak yang mustahil. Mereka bertiga berdiri di tepi reruntuhan logam yang bergoyang, terjebak di tengah badai yang mengamuk. Namun mata kedua anak itu—basah, penuh harapan, dan seolah tak menyadari kematian yang akan segera terjadi—terus menatapnya, mempercayakan nasib mereka sepenuhnya padanya. 

Ren menarik napas dalam-dalam, merasakan udara dingin memenuhi paru-parunya. Tak ada waktu untuk ragu. Pilihan ada di hadapannya, dan hanya ada satu cara. 

"Kamu harus hidup." 

Dengan presisi yang luar biasa, Shiumi Ren melemparkan anak pertama—jaket pelampungnya sudah terpasang erat di tubuh mungilnya—ke arah bagian belakang kapal yang sedang surut. Kekuatan lemparannya sungguh luar biasa, hasil dari latihan fisik bertahun-tahun dan naluri tajam. 

"TANGKAP DIA!" 

Teriakan Ren bergema di tengah deru badai, suaranya penuh dengan desakan putus asa. 

Satu anak berhasil diselamatkan. Lalu, anak kedua. 

Mereka selamat. Mereka menangis… tapi mereka masih hidup. 

Ren berdiri sejenak, napasnya tersengal-sengal, tubuhnya terasa sangat lemas karena kelelahan yang luar biasa. Lalu—KRAK!—dek atas yang rapuh itu akhirnya runtuh. Sebuah balok logam raksasa menghantam punggungnya dengan kekuatan yang luar biasa, menghancurkan balok penyangga tempat ia berdiri. 

Dan dengan itu, dia terlempar ke dalam lautan yang bergolak.

Di Dalam…

Tubuhnya terus tenggelam, terseret semakin dalam oleh kegelapan yang tak berujung. Tangannya membeku, kakinya kaku dan tak berdaya. Paru-parunya terasa terbakar, terpaksa terisi air asin yang kejam. Dunia di sekitarnya memudar, warna dan suara menghilang, digantikan oleh keheningan yang dingin.

Namun, sebelum semuanya menghilang sepenuhnya…

Sebuah cahaya muncul.

Bukan cahaya bulan atau bintang, melainkan lingkaran simbol-simbol misterius berwarna biru-hijau yang bercahaya, mulai terbentuk di sekeliling tubuhnya. Seakan lautan itu sendiri sedang menyingkap rahasia-rahasia tersembunyinya, mengungkap ritual-ritual kuno yang telah lama tertidur dalam kegelapan abadi, kini bangkit untuknya.

Sebuah suara misterius, tanpa sumber yang jelas, terdengar, bergema di benak Ren, melampaui batas kesadaran.

"Wahai jiwa yang tak tergoyahkan…

Anda yang telah mengorbankan hidup Anda untuk orang lain…"

"Apakah kamu akan terlahir kembali…"

"Sebagai orang yang mengingat keajaiban yang terlupakan?"

Ren tak bisa menjawab. Ia tak bisa. Tubuhnya terlalu lemah, kesadarannya terlalu tipis.

Namun jauh di dalam dirinya… sesuatu yang tak terduga muncul.

Suatu tekad.

Keinginan yang membara, untuk hidup, untuk mengerti.

Dan dalam sekejap…

Tubuhnya menghilang dari dasar laut.

Tidak sampai mati kedinginan.

Namun ke suatu tempat lain—ke dunia yang telah menunggunya entah berapa lama.