Bab 5 – Lelaki Bermata Biru
Sejak mengetahui tentang makam ibunya di tanah Umbra, Lyra seperti kehilangan arah.
Kakinya berjalan tanpa tahu mau kemana, pikirannya dipenuhi suara-suara yang saling bertabrakan: suara Kael yang datar tapi menyimpan luka, bayangan ibunya yang mungkin masih hidup tapi tidak hidup, dan yang paling mengganggu—sosok lelaki bermata biru yang terus muncul dalam pikirannya sejak malam itu.
Dia yang muncul dari bayangan.
Dia yang memperingatkannya tentang Kael.
Dan malam ini... dia muncul lagi.
Berdiri di antara kabut di luar kastil, seolah menunggu sejak dunia ini lahir.
“Lyra,” ucapnya pelan, nyaris seperti bisikan angin yang lelah.
Tubuh Lyra mematung. Ia berdiri di ambang pintu balkon kamarnya. Hatinya berdebar tidak karuan. Tapi bukan karena takut. Justru... karena penasaran. Dan karena rasa itu, ia melangkah turun tanpa banyak berpikir.
Menyusuri lorong-lorong gelap, melewati pelayan-pelayan tak bersuara yang bahkan tidak menoleh, lalu membuka pintu besar ke taman belakang yang dikelilingi hutan Umbra.
Dan di sana, berdiri pria itu.
Rambutnya perak keabu-abuan, matanya menyala biru seperti danau beku yang dalamnya tak pernah diukur siapa pun. Wajahnya tajam, tenang, tapi menyimpan sesuatu yang Lyra belum tahu namanya.
“Kau datang,” katanya.
Lyra menggenggam erat lengan bajunya sendiri. “Kau belum jawab pertanyaanku malam itu. Siapa kamu?”
“Aku... sisa dari masa lalu ibumu. Dan mungkin... satu-satunya orang yang bisa menyelamatkanmu dari nasib yang sama.”
Mereka berjalan pelan menyusuri pinggiran danau hitam. Langit di atas mereka bergemuruh pelan, seolah Umbra sedang menahan napas. Tak ada suara binatang. Tak ada suara air. Hanya bisikan langkah mereka di atas tanah yang hidup.
“Aku tahu tentang ibumu, Lyra,” ucap pria itu. “Karena aku mencarinya ketika Kael menghancurkan semuanya.”
“Dia mencintai Kael,” sahut Lyra, sedikit getir.
Pria itu mengangguk pelan. “Ya. Tapi cinta tidak selalu berarti kebenaran. Kadang... cinta justru menutup mata dari kebenaran.”
Lyra menatapnya. “Apa maksudmu?”
“Kael tidak membunuh ibumu. Tapi dia... membiarkannya.”
Deg.
Lyra berhenti berjalan. “Membiarkan? Maksudmu—dia bisa menyelamatkan ibu, tapi memilih tidak?”
Pria bermata biru itu menatapnya dengan sorot mata yang tidak menusuk, tapi menusuk halus. Seperti pisau yang ditaruh perlahan ke kulit.
“Kael punya dua pilihan saat ibumu terperangkap dalam ritual darah. Selamatkan ibumu... atau selamatkan Umbra.”
“Dan dia memilih Umbra,” bisik Lyra, nyaris tak terdengar.
Hening. Dingin. Sakit.
Lyra menunduk. Tangannya mengepal, hatinya berontak. Tapi lebih dari marah, ia merasa hampa. Seperti dunia yang ia injak tiba-tiba kehilangan pondasi.
“Kenapa kau memberitahuku semua ini?” tanyanya pelan. “Apa maumu dariku?”
Pria itu mendekat. Tak terlalu dekat, tapi cukup untuk membuat suara napasnya terdengar. “Karena kau darah terakhir Selena. Dan hanya kau yang bisa membuka kunci yang ditutup dua dekade lalu.”
“Kunci apa?”
“Kunci yang menyimpan roh ibumu… dan kebenaran tentang siapa sebenarnya Kael.”
“Kael menyelamatkanku dari dunia manusia,” ucap Lyra. “Dia tidak—”
“Dia menyelamatkanmu karena darahmu,” potong pria itu tenang. “Kau bukan sekadar manusia, Lyra. Darahmu adalah gabungan dari Cahaya Tertua dan Bayangan Pertama. Kau... adalah jembatan yang bisa menghubungkan dua dunia. Atau... menghancurkannya.”
Lyra menahan napas. Dunia seperti berputar. “Dan jika aku tidak melakukan apa pun?”
“Umbra akan runtuh. Dan roh ibumu akan selamanya terperangkap di antara hidup dan mati. Tak bisa bereinkarnasi. Tak bisa tenang.”
Sebuah pilihan. Lagi-lagi. Selalu pilihan.
Kael atau lelaki ini?
Kebenaran atau perlindungan?
Ibu... atau dirinya sendiri?
“Siapa namamu?” tanya Lyra akhirnya.
Pria itu menatapnya sejenak, lalu tersenyum tipis.
“Namaku Zev. Dan aku... pernah mencintai ibumu.”
Deg.
Lyra nyaris tersedak oleh napasnya sendiri. Ia memandang Zev lekat-lekat. Dan tiba-tiba, semua garis wajahnya… terasa familiar.
Karena entah bagaimana, dalam sorot mata pria itu, Lyra melihat pantulan dirinya sendiri.
