Bab 6 – Janji Darah
Sejak malam itu, nama "Zev" menghantui pikiran Lyra.
Ia mencoba tidur—gagal. Mencoba makan—tidak bisa menelan. Bahkan ketika ia duduk di jendela kamar dan memandangi danau hitam yang tenang, bayangan pria bermata biru itu terus menari di matanya.
Dia pernah mencintai ibuku...
Dan ia tahu lebih banyak dari siapa pun—bahkan lebih dari Kael—tentang kebenaran dunia ini.
Tapi Kael…
Kael yang membawanya ke sini.
Kael yang melindunginya. Atau… yang selama ini hanya memanfaatkan darahnya?
“Lama-lama aku gila di dunia ini,” gumam Lyra pelan sambil membenturkan pelan keningnya ke kaca.
Tiba-tiba, suara pintu berderit pelan membuatnya tersentak.
Kael berdiri di sana. Dingin. Seperti biasa. Tapi kali ini, ada ketegangan di garis rahangnya.
“Kau keluar semalam,” katanya, suaranya datar tapi tajam. “Dengan siapa?”
Lyra menatapnya lurus. “Kau tidak berhak mengatur aku.”
“Umbra berhak,” balas Kael cepat. “Dan kau berada di bawah perlindungan kerajaan ini. Jika kau sembarangan keluar, itu bisa membahayakanmu.”
“Atau membahayakan rencanamu?” Lyra berdiri. “Apa kau takut aku tahu kebenaran tentang ibuku?”
Kael menegang. Tatapan peraknya berubah tajam. “Apa yang sudah dia katakan padamu?”
Lyra melangkah mendekat, tak gentar. “Bahwa kau membiarkan ibuku mati demi menyelamatkan Umbra.”
Hening.
Sejenak waktu seperti membeku.
Kael memejamkan mata, lalu berkata lirih, “Dia... memilih untuk mati.”
“Tapi kau bisa menyelamatkannya!” seru Lyra. “Kau mencintainya, Kael! Tapi kau memilih dunia ini. Dan sekarang—kau butuh aku hanya karena darahku bisa menyelamatkan dunia busuk ini juga, kan?”
Kael membuka mata perlahan. Tatapannya tidak marah. Justru… lelah.
“Aku tidak ingin menyelamatkan dunia ini lagi,” katanya lirih. “Aku ingin menebus dosaku.”
“Dengan menggunakan aku?” Lyra tertawa getir. “Luar biasa, Kael.”
Kael menatapnya, lebih dekat dari sebelumnya. “Aku tidak ingin kau menjadi ibumu. Aku... ingin kau selamat.”
Malam itu, Lyra berdiri sendiri di altar ibunya. Di tempat itu, udara terasa lebih berat. Rasa kehilangan membeku di ujung napas.
Ia menaruh sehelai bunga putih dari halaman belakang kastil di atas batu bertuliskan nama “Selena Alleria”.
“Kalau kau bisa dengar aku, Bu...” gumamnya. “Aku nggak tahu harus percaya siapa. Kael... Zev... mereka dua sisi dunia yang sama-sama kelam.”
Ia menunduk. Air matanya jatuh pelan, membasahi jari-jarinya yang menyentuh batu nisan spiritual itu.
“Aku nggak kuat sendirian.”
Tiba-tiba, suara langkah pelan terdengar dari balik bayangan.
Zev muncul. Masih dengan tatapan tenangnya yang menusuk. Tapi malam ini, ekspresinya berbeda. Ada sesuatu yang dalam... terluka.
“Aku tidak ingin menekanmu, Lyra,” katanya pelan. “Tapi waktumu hampir habis.”
“Kenapa?” suara Lyra parau. “Apa yang akan terjadi?”
“Umbra... akan menuntutmu sebagai bagian dari darahnya. Dan jika itu terjadi, kau tidak akan bisa keluar dari dunia ini. Selamanya.”
Deg.
“Dan satu-satunya cara untuk menghentikannya... adalah dengan membuat pilihan.”
Lyra menggeleng. “Aku belum siap.”
Zev melangkah mendekat. Untuk pertama kalinya, ia menyentuh tangan Lyra. Dingin. Tapi anehnya… menguatkan.
“Aku tidak akan memaksamu memilih antara aku atau Kael. Tapi aku ingin kau tahu satu hal.”
“Apa?”
Zev menarik napas, lalu berkata,
“Cinta tidak seharusnya jadi alat tawar-menawar. Tapi aku... akan bertarung, bahkan jika kau tidak memilihku.”
Malam itu, Lyra membuat perjanjian dalam hati.
Dia belum tahu siapa yang bisa ia percaya. Tapi satu hal pasti—ia tidak akan menjadi bidak dalam permainan siapa pun.
Entah Kael. Entah Zev. Entah dunia ini sekalipun.
Dia... akan menulis takdirnya sendiri.
Bahkan jika itu harus dia mulai dengan darahnya.
