Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 4 – Luka yang Tak Pernah Mati

Entah kenapa, sejak malam itu Lyra nggak bisa tidur.

Matanya terbuka lebar, tapi bukan karena dia segar. Tubuhnya letih, jiwanya remuk. Tapi otaknya… kayak nggak bisa diajak kompromi. Terus muter, terus nanya-nanya sendiri.

Ibuku mencintai Kael?

Kael yang dingin dan misterius itu?

Dan... dia mati karena cinta itu?

Atau karena Kael?

Lyra duduk di kursi batu sudut kamar, sambil memeluk lutut. Selimutnya jatuh di lantai, tapi dia nggak peduli. Udara dingin Umbra menggigit kulit, tapi dingin itu kalah jauh dari apa yang lagi beku di dalam dadanya.

Ketukan pelan terdengar.

Bukan. Bukan ketukan. Langkah.

Ia tahu siapa itu.

“Kael,” gumamnya, nyaris tak bersuara.

Benar saja. Sosok tinggi berbalut jubah hitam itu muncul di ambang pintu, seperti biasa—tanpa suara, tanpa ekspresi.

"Ayo ikut aku," katanya datar.

Lyra mengerutkan dahi. “Kenapa?”

“Karena kau butuh tahu yang sebenarnya.”

Perjalanan mereka sunyi. Langit masih merah darah, dan tanah Umbra seperti selalu basah padahal hujan tidak turun. Udara dingin tapi tidak menggigil. Justru membuat kulit terasa sepi.

Mereka sampai di tempat yang aneh. Kayak reruntuhan kuil atau altar. Batu-batunya retak dan diselimuti lumut gelap. Tapi di tengahnya... ada sesuatu yang membuat jantung Lyra berhenti berdetak sejenak.

Nama itu.

SELENA ALLERIA.

“...Ibuku?” bisik Lyra, lututnya nyaris lemas.

Kael berdiri diam di belakangnya. Tidak menjawab langsung.

“Apa-apaan ini? Kenapa namanya ada di sini?!”

Kael menarik napas. “Karena dia... dikuburkan di sini. Roh-nya. Bukan tubuhnya.”

Lyra tertegun. “Dikuburkan secara... spiritual?”

Kael menunduk pelan. “Jiwanya tidak pernah kembali ke dunia asal. Dan tubuhnya... hilang.”

“Jadi dia mati?”

Kael memalingkan wajah. “Tidak sepenuhnya. Tapi juga bukan hidup.”

Lyra nyaris tidak percaya. Ini terlalu banyak. Terlalu cepat. Terlalu... sakit.

Dan seperti menambah garam di luka, Kael bicara lagi. Pelan.

“Dia mencintaiku.”

Lyra mengangkat wajahnya tajam. “Lalu kenapa dia berakhir begini?! Kalau kau mencintainya juga, kenapa kau nggak menyelamatkannya?!”

Kael tidak menjawab. Tapi matanya… hancur. Ia memandang reruntuhan itu seperti sedang menghidupkan kenangan yang bahkan tidak ingin ia kenang.

“Cinta di Umbra... adalah kutukan,” katanya akhirnya. “Dan dia memilih mati... demi menyelamatkanmu.”

Malam itu, Lyra berdiri di balkon kamarnya. Angin gelap menghembus, menggoyang rambutnya. Tapi yang dingin bukan hanya udara. Hatinya jauh lebih beku.

Ia memikirkan semuanya. Tentang ibunya. Tentang Kael. Tentang dunia yang memaksanya memilih antara darah dan nyawanya sendiri.

Ia tidak tahu apa yang lebih menakutkan—fakta bahwa ibunya mencintai Kael, atau kemungkinan bahwa ia juga sedang jatuh ke arah yang sama.

Dan untuk pertama kalinya, Lyra bertanya dalam hati:

Apakah cinta memang layak diperjuangkan, jika akhirnya hanya membawa kehancuran?

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel