Bab 3 – Rahasia Darah Ibu
Lyra berdiri membeku di depan jendela. Suara yang baru saja terdengar… terlalu nyata untuk diabaikan, tapi terlalu asing untuk dipercaya. Siapa pria itu? Dan mengapa ia menyebut ibunya?
Dengan napas tertahan, ia melangkah mundur, lalu menutup jendela perlahan. Bayangan pria bermata biru itu menghilang dalam kabut malam. Tapi kata-katanya menggema di kepalanya tanpa henti:
"Kael akan menghancurkanmu… seperti ia menghancurkan ibumu."
Ibunya.
Nama itu menusuk seperti paku dingin di dada Lyra.
Selama ini, semua orang bilang ibunya menghilang karena depresi. Polisi tidak pernah menemukan jejaknya. Ayahnya menyerah setelah bertahun-tahun mencari. Tapi Lyra… selalu merasa ada sesuatu yang tidak beres. Dan sekarang, di dunia asing ini, nama sang ibu kembali muncul.
Apakah ibunya pernah ke sini?
Atau lebih buruk—apakah ibunya berasal dari dunia ini?
Keesokan paginya, Lyra terbangun di ranjang batu dengan selimut sehalus bayangan. Cahaya bulan merah masih menyinari langit, karena di Umbra… tidak ada siang. Hanya malam, senja, dan fajar kelam yang datang sesekali.
Pintu kamarnya terbuka tanpa suara. Seorang pelayan berjubah hitam datang membawa nampan makanan. Roti hitam, buah berdarah, dan teh biru tua yang menguap seperti kabut.
“Kami tidak makan makanan manusia,” kata suara Kael tiba-tiba dari balik pintu.
Lyra menoleh. Ia berdiri di ambang pintu, rambutnya basah seperti habis mandi, tubuhnya dibalut jubah panjang dengan lambang kerajaan Umbra di dada.
“Aku tidak lapar,” jawab Lyra kaku.
Kael masuk ke ruangan, langkahnya tenang. “Tapi kau punya banyak pertanyaan.”
“Apa kau mengenal ibuku?” potong Lyra tajam.
Kael berhenti melangkah. Untuk pertama kalinya, sorot matanya berubah—tidak dingin, tapi kosong. Ia memejamkan mata sesaat, seolah menahan sesuatu.
“Namanya…” bisik Lyra. “Selena Alleria. Apakah kau pernah mendengarnya?”
Kael menatapnya lama. “Selena... adalah alasan Umbra nyaris hancur dua dekade lalu.”
Lyra tertegun. Napasnya tercekat. “Apa maksudmu?”
Kael berjalan ke arah jendela, lalu membuka tirai lebar. Dari sana, terlihat hamparan tanah hitam dan pepohonan yang tak berdaun, dan di kejauhan—reruntuhan benteng raksasa yang tampak seperti pernah terbakar.
“Dia datang ke Umbra saat usianya sama denganmu,” kata Kael pelan. “Dia menyelamatkan kami… lalu mengkhianati kami.”
“Tidak,” Lyra menggeleng. “Ibuku bukan pengkhianat.”
“Dia mencintai seseorang yang seharusnya tidak dicintai,” gumam Kael. “Dan darahnya… darahmu… berasal dari dua dunia yang saling membenci.”
Lyra duduk di atas ranjang, tangannya gemetar. Semua ini… terlalu banyak. Terlalu cepat.
“Kalau dia bukan manusia biasa, kenapa tidak ada yang tahu?” tanya Lyra, lirih.
Kael menoleh. Matanya tidak lagi dingin. Kali ini, penuh luka.
“Karena siapa pun yang mencintai makhluk Umbra… akan dihapus dari sejarah manusia.”
Lyra menggigit bibirnya. Setengah dari dirinya ingin berlari sejauh mungkin. Tapi separuh lainnya—yang mulai mengenali getaran aneh di tubuhnya sejak datang ke sini—tahu bahwa ini bukan kebetulan.
Ia ditarik ke dunia ini bukan untuk jadi penonton. Ia bagian dari takdir yang lebih besar.
Kael melangkah mendekat. “Aku tidak tahu kenapa kau kembali ke sini, Lyra. Tapi jika darah ibumu masih mengalir dalam tubuhmu… maka waktumu sangat terbatas.”
“Kenapa?”
Karena bayangan lain sedang bangkit.
Dan mereka memburumu.
