Bab 2 – Dunia Tanpa Bayangan
Gelap.
Hening.
Tidak ada suara, tidak ada waktu.
Lyra membuka matanya pelan, dan saat itu ia sadar—ia tidak lagi berada di dunia yang dikenalnya.
Udara di sekitarnya terasa lebih berat, seperti mengandung sihir yang hidup. Langit di atas kepalanya gelap pekat meski tidak sepenuhnya malam. Hanya bulan merah yang menggantung rendah, membasahi tanah dengan cahaya suram yang membuat semuanya terlihat seperti mimpi buruk.
Ia duduk perlahan, masih bingung, masih merasa seperti mimpi. Tapi udara itu nyata. Dingin menyentuh kulitnya. Aroma tanah, dedaunan asing, dan darah samar tercium dari kejauhan. Dunia ini... hidup. Tapi bukan kehidupan seperti yang dikenalnya.
"Selamat datang di Umbra,"
Suara itu lagi.
Kael.
Pria dengan mata perak dan langkah sunyi itu berdiri di balik bayangan, tubuhnya nyaris menyatu dengan kegelapan. Kali ini ia lebih dekat, dan sorot matanya tak lagi penuh ancaman… melainkan penuh pengamatan. Seolah Lyra adalah teka-teki yang telah lama ia tunggu untuk dipecahkan.
"Umbra?" tanya Lyra. Suaranya pecah. "Apa ini? Dunia lain?"
Kael tidak langsung menjawab. Ia melangkah mendekat, dan seperti sebelumnya, tanah yang ia injak terbakar perlahan, lalu padam kembali.
"Umbra adalah dunia bayangan," katanya tenang. "Tempat bagi mereka yang dibuang, dikutuk, dan dilupakan oleh terang."
Lyra menggeleng. "Aku tidak seharusnya ada di sini. Aku hanya membuka buku..."
"Buku yang telah menunggumu selama dua abad." Kael mendekat sampai hanya berjarak beberapa langkah darinya. "Kau bukan manusia biasa, Lyra. Darahmu… membawa kunci untuk membuka pintu antara terang dan gelap."
"Bagaimana kau tahu namaku?"
Kael menunduk, seolah menyembunyikan senyum. "Namamu tertulis di langit Umbra sejak kau lahir."
Jantung Lyra berdetak kencang. Ia ingin melarikan diri, tapi tubuhnya tak mampu. Entah karena sihir… atau karena tatapan pria itu yang terlalu dalam, terlalu menusuk, dan anehnya… terlalu familiar.
"Apa yang kau inginkan dariku?" tanyanya.
Kael menatapnya lekat-lekat. "Kau adalah penjaga yang hilang. Dan aku adalah pewaris takhta yang terkutuk. Jika takdir kita bertemu, maka satu hal akan terjadi..."
"Apa?"
"Salah satu dari kita akan menghancurkan dunia."
Lyra dibawa ke benteng bayangan—tempat tinggal Kael. Bangunan tinggi menjulang dari batu obsidian hitam, mengambang di atas danau yang tak memantulkan bayangan siapa pun. Dindingnya bernafas, dan suara-suara bisikan terdengar dari tiap sudut.
Pelayan-pelayan tak bersuara datang dari kegelapan, mengenakan tudung dan membawa lilin yang menyala dengan api biru.
Kael memerintahkan mereka untuk menyiapkan kamar bagi Lyra. "Dia tamuku," katanya tegas. "Jangan ada yang menyentuhnya. Kalau sampai satu helai rambutnya hilang... aku akan memusnahkan seluruh penjuru kastil ini."
Mereka mengangguk dan menghilang dalam sekejap.
Lyra hanya bisa berdiri di sana, bingung. Kael menatapnya sesaat sebelum akhirnya berkata, “Istirahatlah. Kau akan membutuhkan kekuatanmu saat matahari merah terbit.”
Tengah malam, Lyra terbangun. Suara bisikan dari jendela kamarnya memanggil namanya.
Ia bangkit perlahan dan membuka jendela.
Dan di sana, dalam bayangan pohon hitam jauh di bawah, seseorang berdiri. Bukan Kael.
Matanya menyala biru.
Dan ia berkata pelan,
"Jangan percaya pada Pangeran Bayangan. Ia akan menghancurkanmu… seperti ia menghancurkan ibumu."
