Bab 7 Siapa yang Berniat Membunuhku?
“Nona, mohon segera bersiap-siap karena pagi ini ada agenda makan bersama.”
“Makan bersama? Siapa saja yang akan hadir?”
“Hanya para pimpinan wanita yang hadir, Nona. Ada Ibu Suri, Ratu dan para Selir.”
“Raja dan Putra Mahkota apa tidak akan ikut?”
“Tidak, Nona.”
Bibir Arlene langsung cemberut. Padahal dia ingin melihat rupa calon suaminya itu seperti apa. Sayang sekali, sepertinya memang belum waktunya dia bertemu laki-laki itu.
“Baiklah, ayo berangkat.”
“Sebentar, Nona harus merapikan pakaian Anda dulu.”
Arlene pasrah saja saat Olyn membantunya merapikan pakaian, dibantu oleh beberapa pelayan istana. Nantinya mereka akan melayani Arlene selama dia tinggal di istana.
“Nona pasti akan semakin cantik setelah mengenakan mahkota.” Olyn tersenyum memandang majikannya. “Saat ini saja Nona sungguh cantik sekali.”
“Benarkah?” Arlene tampak tidak tertarik. Buat apa memiliki rupa cantik tapi tidak bisa menikah dengan lelaki yang menjadi pujaan hatinya?
“Benar, Nona. Anda adalah calon pengantin paling cantik yang pernah kami layani,” sahut pelayan istana yang setia mendampingi mereka.
Arlene menatapnya dengan tatapan menyelidik. Dia sudah sering melihat pelayan itu tapi belum tahu siapa namanya. Tidak penting juga sih, nanti juga mereka akan saling mengenal.
“Sudah berapa lama kau tinggal di sini?” tanya Arlene kepada pelayan yang terlihat lebih tua darinya.
“Saya sudah tinggal di istana selama kurang lebih 10 tahun, Nona.”
“Memangnya dalam 10 tahun terakhir ini ada pernikahan di istana?”
“Nona, Anda bagaimana? 3 tahun lalu bukankah mendiang Putra Mahkota sudah menikah? Tapi karena musibah itu, Putra Mahkota dan istrinya tidak bisa bersama kita lagi,” jelas Olyn. Sepertinya dia tahu lebih banyak daripada Arlene sendiri.
“Saya sudah membantu menyiapkan pernikahan beberapa kali, Nona. Pernikahan Putri Mahkota terdahulu dan selir Raja. Tetapi, saya mendengar dari Pelayan senior, bahwa Nona adalah calon pengantin tercantik yang pernah mereka lihat,” ujar pelana itu.
Mata Arlene memicing tajam. “Ternyata kalian juga suka bergosip ya?”
“Mohon ampuni saya, Nona. Saya tidak berani!”
“Sudah-sudah! Ayo kita pergi, aku tidak mau ada masalah karena datang terlambat.”
Pelayan tadi berjalan di depan Arlene sebagai petunjuk jalan harus ke mana. Jujur saja, Arlene belum mengenal jelas seluk beluk istana ini. Terlalu luas dan bangunannya mirip satu sama lain.
“Kita akan sarapan di mana? Kenapa harus sejauh ini?” tanya Arlene mulai lelah. Belum lagi gaun yang digunakan, dia terlalu menyulitkannya ketika berjalan.
“Semua telah disiapkan di kediaman Ibu Suri, ada aula kecil yang terbuka, tepat di tengah-tengah danau. Nona akan sarapan di sana,” jelas pelayan tadi.
“Hm, baiklah. Tapi apakah masih jauh?”
“Sudah ada di depan mata kita, Nona.”
“Nona, danaunya indah sekali,” puji Olyn sampai tidak bisa berkedip. Tempat ini benar-benar indah sekali.
“Nona bisa meminta apapun setelah menjadi Putri Mahkota nanti. Bila Nona ingin danau seperti ini, kami akan menyediakannya,” kata pelayan tadi.
“Benarkah? Tapi aku tidak terlalu tertarik dengan itu.” Arlene berlipat tangan di depan dada. “Aku lebih tertarik, ingin tahu siapa dia?”
Mereka semua menoleh ke arah rombongan yang baru saja memasuki tempat. Satu perempuan dengan gaun mewah memimpin di depan, ada banyak pelayan yang berjejer di belakangnya.
“Beliau adalah Selir Aami. Salah satu selir Raja yang punya posisi tinggi di sini, Nona.”
“Wajahnya sangat mencurigakan.” Mata Arlene menyipit curiga.
Firasatnya tidak pernah salah bila menilai seseorang. Tapi, Arlene tidak mau sok tahu. Dia harus berhati-hati terhadap orang itu.
***
“Ini pertemuan kita yang pertama, bukan?” Selir Aami sempat tercengang melihat kedatangan Arlene.
Gadis itu tampak berbeda, auranya khas sekali. Ia yakin, gadis itu akan semakin beraura ketika telah menggunakan mahkota.
Wajahnya punya aura kecantikan yang tak biasa. Baru pertama kali Selir Aami melihat kecantikan semacam itu.
“Benar, Yang Mulia. Ini pertemuan kita yang pertama.”
“Jangan menunduk, kau akan menjadi Putri Mahkota. Seharusnya aku yang menunduk karena aku hanya seorang Selir.”
Arlene tersenyum. “Bagaimana bisa saya melakukan itu terhadap Anda? Saya selalu menghormati orang yang lebih dewasa dari saya. Terlebih lagi Anda adalah Selir Raja. Saya merasa sangat tidak percaya diri.”
Selir Aami mengangkat dagunya. Ucapan Arlene terdengar sangat manis, andai dia tidak menjadi Putri Mahkota, pasti sudah dijadikan istri dari pangerannya. Aih, sayang sekali!
“Untuk kedepannya, mohon ajari saya karena saya masih cukup awam di sini, Yang Mulia,” kata Arlene. Selir Aami semakin tertarik kepadanya.
“Kau sudah punya Ratu yang siap sedia menemanimu.” Ucapan Selir Aami terjeda saat melihat Ibu Suri dan Ratu tiba. Juga disusul oleh beberapa selir yang lain.
Mereka langsung beranjak bangun dan membungkuk hormat. Ibu Suri tersenyum, memerintahkan mereka untuk segera duduk di posisi masing-masing.
“Hidangkan makanannya dan juga minumannya,” perintah Ibu Suri.
Semua makanan pun ditata di atas meja, lalu air minum pun dibagikan kepada masing-masing orang. Arlene sungguh tak sabaran bergegas mengambil air minum, haus sekali dia setelah berjalan cukup jauh untuk sampai ke sini.
Namun, gelasnya langsung ditarik oleh pelayan yang tadi mengantarnya ke sini. Pelayan itu menggeleng pelan, memberitahu bahwa dia tidak boleh minum sekarang kecuali Ibu Suri sudah mempersilahkan.
Perebutan gelas itu tampak dilihat Selir Alami. Bibirnya menyeringai tanpa dicurigai. Lalu, dia melirik Arlene yang sedang melotot tajam ke arah pelayannya.
“Aku sudah haus,” bisik Arlene.
“Tunggu sebentar lagi, Nona.”
Akhirnya Arlene mengalah, dengan sedikit kasar melepas gelas yang tadi menjadi rebutan. Akibatnya, beberapa tetes air itu menetes ke lantai. Arlene semakin kesal saja, pakaianya menjadi agak basah karena terciprat.
Pelayan tadi dan Olyn langsung membersihkan gaun Arlene. Namun, gerakan tangan mereka langsung terhenti setelah melihat semut yang ada di lantai tampak mati seketika.
“No-nona ….”
Arlene menoleh ke bawah. Ekspresi wajahnya yang tadi kesal, berubah menjadi bingung. Di bawahnya, di lantai tempat air tadi tumpah, terdapat semut yang mati secara bersamaan.
Pelayan tadi langsung mencium air tersenyum dan matanya membelalak. “Nona!”
Seketika saja Arlene beranjak bangun dan menimbulkan suara keras. Sikapnya membuat semua mata beralih padanya. Wajah tegang Arlene menjadi fokus mereka saat ini.
“Ada apa?” Ratu Dione mulai bertanya-tanya. “Kenapa ribut sekali?”
“Apa-apaan ini, Yang Mulia? Kenapa bisa ada racun di minuman saya?”
***
Jerick mendongak saat mendengar laporan dari Will. “Racun? Apa kau gila mengatakan itu padaku, Will?”
“Benar, Yang Mulia. Nona Arlene hampir saja meminum racun dari teh yang dihidangkan sebelum makan pagi,” papar Will. Jerick langsung beranjak bangun. “Yang Mulia, Anda mau ke mana?”
Tak peduli dengan panggilan Will, Jerick hanya fokus mempercepat langkah kakinya. Tujuannya sudah pasti akan menemui calon pengantinnya.
Tapi setelah dia sampai di sana, dia dihadang oleh pengawal Raja. Rupanya Raja pun sudah tiba di tempat setelah mendengar laporan bahwa calon Putri Mahkota hampir diracun.
“Minggir! Aku harus masuk!”
“Maafkan kami, Yang Mulia. Raja telah melarang siapapun masuk kecuali yang bersangkutan. Raja tengah menyelidiki masalah racun yang ada di gelas calon Putri Mahkota.”
“Aku harus melihat langsung apa yang terjadi di dalam, jadi minggir kalian semua!”
“Putra Mahkota!”
Tiba-tiba saja Raja keluar dari kediaman Putri Mahkota, menatap anaknya dengan tajam. Jerick langsung menunduk hormat selagi ayahnya berjalan mendekat.
“Yang Mulia Raja.”
“Tunggu saja di kediamanmu.”
Jerick mendongak, menatap Raja dengan ekspresi tidak percaya. “Bagaimana bisa Anda meminta saya kembali sementara—”
“Kau tidak dibutuhkan di sini, kembalilah ke istanamu. Jangan mengganggu proses penyelidikan ini.” Raja melirik ajudan Jerick. “Bawa kembali Putra Mahkota ke istana!”
“Baik. Yang Mulia!” Will melirik sang majikan. “Sebaiknya kita pergi dulu, Yang Mulia.”
Tak punya pilihan, Jerick pun melenggang pergi. Will tahu, majikannya pergi dengan berat hati. Tapi mereka tidak bisa melanggar perintah raja.
***
“Sudah gila! Baru beberapa hari aku tinggal di istana Putri Mahkota tapi nyawaku hampir saja melayang! Olyn, katakan padaku, apakah aku baru saja menciptakan musuhku sendiri?”
“Ma-maksud Anda apa, Nona?”
Arlene menghela napas panjang, lalu berkacak pinggang. “Aku yakin, salah satu dari mereka adalah pelakunya! Tapi kenapa mereka ingin membunuhku?”
“Saya malah khawatir Ibu Suri mendapat masalah, Nona. Apalagi Anda hampir mati keracunan saat berada di tempatnya.”
“Apa menurutmu Ibu Suri ingin membunuhku?”
“Saya tidak berani berpikir begitu, Nona. Kita tunggu saja hasil penyelidikannya.”
Arlene mengerang kesal, lalu tiba-tiba saja dia menangis karena tangannya terluka. Ya, luka ini akibat tetesan air berisi racun itu. Satu luka juga didapatkan oleh pelayan yang mengetahui ada racun di minuman tersebut.
“Bagaimana kondisi pelayan itu?”
“Hm, pelayan itu sedang diobati. Lukanya lebih parah, di bagian tangan karena menyentuh air beracun tersebut, juga di bagian saluran pernapasannya, Nona.”
“Hm, dia malah menghirup aroma racun itu. Aku yakin racun itu sangat berbahaya, baru tersentuh sedikit saja sudah membuatku hampir mati. Untung saja ada semut yang kita lihat di bawah itu.”
Semut itu malang sekali, dia tidak tahu apa-apa tapi malah tewas serentak. Tapi kalau buka karena mereka, pasti saat ini Arlene sudah tidak tertolong.
