Bab 5 Sang Putri Mahkota
Baru kali ini Arlene menjumpai kehidupannya sangat membingungkan. Harus maju atau mundur? Maju mundur tetap saja menyusahkan!
“Pertanyaan terakhir, untuk tiga kandidat tersisa.”
Ya, hanya menyisakan tiga gadis yang berkemungkinan untuk menjadi Putri Mahkota. Arlene menjadi salah satunya. Bahkan sejak tahapan seleksi yang kemarin-kemarin, dia selalu mendapat nilai tertinggi.
Menjengkelkan sekali bukan? Padahal Arlene sudah berusaha menjawab asal, melakukannya dengan malas-malasan. Tapi dia tetap unggul dibandingkan para gadis lainnya yang jauh lebih serius dan bersemangat.
Arlene bertanya-tanya, apakah para gadis itu sudah mengeluarkan semua kemampuan mereka? Atau jangan-jangan mereka tidak melakukannya sama sekali?
Sekian banyaknya gadis yang ikut seleksi, justru Arlene yang maju dan unggul meskipun dengan setengah hati. Benci sekali dia berada di posisi ini.
“Pertanyaannya, bila dihadapkan dengan dua pilihan. Antara orang tua dan suami, mana yang akan kalian pilih?”
Arlene menghembuskan napas bosan. Pelan sekali, sehingga tidak ada yang mendengarnya. Dia akan menjawab paling akhir saja. Biar dua gadis itu berebut untuk menjawab yang pertama.
Mereka memiliki jawaban yang sama meskipun cukup bertele-tele. Tapi intinya, dua gadis itu memiliki jawaban akan tetap setia kepada orang tua mereka.
“Sejak kecil hingga kini, saya selalu merasa bersyukur telah menjadi bagian dari keluarga saya. Mereka mencintai saya dengan segenap hati. Sudah kewajiban saya untuk berbakti kepada orang tua. Mau bagaimanapun kondisinya, merekalah yang mencintai saya apa adanya.”
“Jawaban yang sangat manis. Kau memang anak yang berbakti kepada orang tuamu. Mereka mendidikmu dngan baik, Nak,” kata Ibu Suri. “Mari kita mendengarkan jawaban yang lainnya.”
“Sesuai dengan aturan kerajaan. Anak perempuan akan mengikuti suaminya. Namun, bukan berarti anak perempuan akan meninggalkan orang tuanya. Untuk beberapa alasan yang valid, anak perempuan tetap berkewajiban berbakti kepada kedua orang tua.”
“Bagus sekali jawabanmu itu, Nak! Kau sangat tahu aturan kerajaan, modal penting dalam kehidupan di istana! Aturan memang tetap mengikat, tapi cinta orang tua tidak bisa kita duakan. Sekarang, ayo kita dengarkan jawaban terakhir.”
Mereka semua langsung menatap Arlene. Dia yang ditatap justru hampir ketahuan sedang menahan kantuk. Oh, hampir saja dia tertidur di tengah-tengah seleksi terakhir.
“Jadi, apa jawaban dari Nona Muda Arlene?”
“Saya akan memilih suami saya,” jawab Arlene dengan mantap. Jawabannya itu lantas membuat mereka semua terkejut.
Raja tersenyum. Ini pertama kalinya Raja menjadi juri di pemilihan Putri Mahkota. “Sepertinya Nona memiliki jawaban yang berbeda. Boleh aku dengar bagaimana pendapatmu?”
Arlene menarik napas panjang, kenapa mendadak gugup saat ditatap Raja? Padahal Arlene sudah terbiasa melihat Ibu Suri dan Ratu, tapi kenapa saat melihat Raja, terasa sangat menakutkan?
“Hm, itu .…” Arlene menggigit bibirnya. Mungkin dia akan dibilang kurang ajar. Sebenarnya, alasan dia memilih suami ketimbang orang tuanya adalah karena ayah!
Ya, karena ayahnya. Sudah tahu kan, Arlene tidak suka bila ayah memaksanya belajar. Jadi, setelah dia menikah nanti, dia akan ikut suami daripada mendengar omelan ayah yang memintanya belajar terus!
“Aturan di istana mewajibkan seorang istri patuh kepada suaminya. Sementara anak perempuan tetap harus berbakti kepada orang tua. Kita harus melihat dari berbagai sisi. Aturan mana yang harus kita tinggalkan demi membuat sebuah keputusan,” kata Arlene pelan.
Semua orang menyimak dengan tegang. Sementara Raja tampak sangat penasaran. “Hm, lalu?”
“Masuk istana, artinya apa yang terjadi di istana tetap akan menjadi rahasia istana. Tinggal di istana akan membuat kehidupan seseorang terkunci di dalamnya. Tidak ada hubungan dengan dunia luar termasuk orang tua sendiri. Bagi anak perempuan yang masuk ke istana, itu artinya mereka telah siap berpisah dengan orang tuanya.”
Arlene dapat melihat perubahan ekspresi Ibu Suri dan Ratu. Dulunya, mereka juga adalah anak perempuan dari orang tua mereka. Tetapi demi aturan istana, mereka harus membatasi hubungan dengan keluarga mereka.
“Tapi, tinggal di istana bukan berarti meninggalkan orang tua di rumah. Sampai kapanpun kita tetap menjadi anak mereka. Hanya saja, kita harus tahu bahwa status telah membedakan kita dengan mereka. Itu artinya, ada tanggung jawab baru yang kita pegang.”
Raja mengernyit. “Tanggung jawab?”
“Benar, Yang Mulai. Yaitu mematuhi aturan istana. Bila tidak sanggup, maka jangan mencoba-coba untuk memasuki istana. Saya yakin, para gadis yang datang bersama saya pun sudah mengerti konsekuensinya.”
Dua gadis yang tadi menjawab dengan mantap, kompak menundukan kepala mereka. Jawaban Arlene memang cukup mengejutkan tapi terdengar sangat tegas dan pasti.
“Jadi, aku bisa menyimpulkan kau akan memilih suamimu?”
“Benar, Yang Mulia. Itu yang harus kita lakukan karena kita sudah tahu resiko tinggal di istana itu seperti apa.”
“Bagaimana jika suamimu kelak membuat kesalahan yang mana membuatmu merasa ingin mati? Atau bagaimana bila terjadi perselisihan antar suamimu dan orang tuamu. Mana yang akan kamu pilih?”
Arlene mengepalkan kedua tangannya. Pertanyaan menjebak! Sialan!
“Saya tetap akan memilih suami saya. Tapi dengan satu syarat, sesuai dengan aturan istana. Saya mendukung penuh suami saya bila memang dia berada di pilihan yang tepat.”
“Bagaimana jika dia ada di jalan yang salah?”
“Maka saya akan meninggalkannya.”
Semua orang tampak terkejut mendengar itu. Arlene sudah tahu, jawabannya akan menjadi bumerang. Kemungkinan besarnya dia akan dianggap sebagai ancaman.
“Kenapa?” Raja bertanya lagi.
“Mendampingi seseorang yang salah akan membuat kita terjerumus juga, Yang Mulia. Itu hanya akan menumbuhkan bibit pengkhianatan. Bukankah di istana ini menjunjung tinggi keadilan dan kejujuran? Keputusan penting harus diambil jika tidak ingin terjadi pemberontakan.”
“Mungkin kau akan dianggap pengkhianat atau pemberontak karena meninggalkan suamimu.”
Arlene menelan ludahnya susah payah. “Saya telah membuat keputusan yang tepat kalau begitu. Saya tidak mungkin meninggalkan orang yang benar. Bila tetap dianggap pemberontak, itu berarti kematian jauh lebih baik.”
Sialan! Jawaban macam apa itu?
Arlene masih ingin hidup! Hei, alam semesta! Dengarkan ini! Arlene masih punya banyak cita-cita. Dia masih ingin bertemu pria tampan itu dan menikah dengannya!
***
“Yang Mulia! Putri Mahkota telah ditetapkan!” Will berlari dengan cepat demi menyampaikan laporannya.
Jerick pun langsung menoleh. “Secepat ini?”
“Tidak juga, bukankah kita sudah menunggu selama hampir 30 hari?”
“Lalu, siapa yang terpilih?”
Will menatap Jerick dengan ekspresi serius. “Ini benar-benar gila, Yang Mulia. Dia memberikan jawaban yang sangat rawan, tapi justru sangat disukai oleh Raja.”
“Siapa orangnya, Will? Jangan bertele-tele! Cepat jawab aku!”
Willa menelan ludahnya kemudian menjawab, “Nona Muda Arlene telah ditetapkan sebagai Putri Mahkota.”
“A-apa?”
“Raja sendiri yang memutuskannya. Dan Yang Mulia harus tahu, semua juri memberikan nilai sempurna untuk jawabannya! Itu artinya Nona Arlene menang dengan suara penuh!”
Jerick terbatuk saking terkejutnya mendengar berita tersebut. “Anak itu memenangkan seleksi ini?”
“Benar, Yang Mulia. Dan Yang Mulia, Anda harus menepati janji dengan menikahinya.”
