Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

4. Tetangga Baru (Part 1)

Suara alunan musik jazz yang menenangkan membuat Dipta terhanyut. Dia memesan minuman yang entah apa tadi namanya dia lupa, yang jelas rasanya bukan selera Dipta. Minuman ini lebih mirip seperti kutek baunya dibandingkan dengan minuman selayaknya.

“My man udah dateng aja…” Dipta melirik setengah kesal mendapati Damas dan Marvo yang tersenyum lebar padahal mereka terlambat hampir setengah jam.

“Jam delapan malam janjinya, sekarang hampir setengah sembilan. Masih bisa lo berdua bilang gue udah dateng aja?” Damas dan Marvo terkikik geli sambil duduk di hadapan Dipta.

“Nih si kunyuk minta dijemput dulu di kantornya, makanya gue telat!” Seru Damas menunjuk gemas pada Marvo.

“Lo aja baru sampai di kantor gue jam delapan kurang sepuluh ya nyet!”

“Makanya nggak usah sok-sok an ganti mobil baru, pusing kan lo sekarang nggak ada kendaraan. Bikin susah gue jadinya.”

Dipta hanya memperhatikan pertengkaran kedua sahabatnya itu tanpa berniat menengahi. Dia sudah biasa disuguhkan dengan pemandangan ini. Damas dan Marvo akan berhenti dengan sendirinya kalau mereka sudah puas.

“Gimana kabar lo Ta?” Damas tidak jadi menjawab Marvo ketika Marvo malah bertanya pada Dipta.

“Seperti yang kalian lihat, gue baik.”

Damas dan Marvo menatap Dipta lekat. Secara fisik lelaki itu benar-benar baik-baik saja. Rapi, tampan, dan begitu terawat. Tapi hati manusia siapa yang tahu.

“Nggak mau tahu kabar Dior Ta?” Tanya Damas yang langsung dihadiahi pelototan dari Marvo. Dipta hanya tersenyum kecil.

“Apa kabar Dior?” Tanya Dipta basa-basi. Dia tidak benar-benar ingin tahu kabar wanita itu.

“Dior baik Ta, sekarang lagi hamil anak keduanya.” Jawab Damas tanpa dosa. Dipta mengangguk mengerti.

“Syukurlah kalau dia baik—baik saja. Gue ikut senang…” Hening. Tidak ada yang bicara lagi. Bagi Damas dan Marvo, mereka mungkin tidak memahami arti dari jawaban Dipta. Namun bagi Dipta dia tulus mengatakannya.

“Kenapa? Gue senang kalau Dior sudah happy dengan keluarganya. Seburuk apapun manusia mereka tetap berhak bahagia…” Kata Dipta berusaha meyakinkan kedua sahabatnya.

“Termasuk lo juga berhak bahagia...” Marvo yang sejak tadi diam akhirnya angkat bicara. Mereka tahu secinta mati apa Dipta pada Dior. Jadi ketika Dipta bilang kalau dia ikut senang, sebagian dari hati mereka tidak bisa mempercayainya, sebagian lagi berharap kalau Dipta memang sudah menganggap Dior sebagai masa lalu saja.

“Kata siapa gue nggak bahagia? Gue udah menganggap semuanya selesai. Gue hanya sedang memperbaiki semuanya satu persatu, bukan berarti gue nggak bahagia…”

Dipta sedang menuju ke fase paling dewasa dalam hidupnya. Mengikhlaskan apapun yang sudah terjadi, menjalani kehidupannya dengan sebaik-baiknya, dan tentu saja tidak lupa untuk bahagia.

Meskipun definisi bahagia untuk lelaki tiga puluh dua tahun itu tidak seperti dulu, dimana dia harus mendapatkan apa yang dia inginkan, atau tertawa puas sampai terpingkal-pingkal. Bagi Dipta kehidupannya sekarang sudah lebih dari cukup.

“Kenapa jadi menye-menye gini sih? Kita kan kesini buat have fun, ketemuan karena udah lama nggak ketemu!” Protes Damas kesal.

“Yang mulai duluan siapa?” Kini giliran Dipta yang angkat suara.

“Nih si kunyuk! Emang lo cocoknya main drama korea anjir! Hidup kok serius amat!” Damas menonjok pelan lengan Marvo.

Perdebatan kecil mereka dimulai lagi, sama seperti yang dulu-dulu. Tanpa kedua orang itu sadari senyum Dipta mengembang. Dia merindukan momen-momen mereka bisa seperti ini. Rasanya hidup yang dijalaninya belakangan ini terlalu serius.

Bangun pagi, berangkat kerja, kerja, pulang kerja, berpikir lagi apa yang mau dikerjakan besok, baru kemudian tidur. Berulang begitu terus keesokan harinya. Dipta jadi tahu kenapa banyak orang dewasa yang merindukan masa-masa sekolah. Sebaik apapun hidup yang kita punya, yang namanya kehidupan itu memang kejam.

“Mau gue kenalin cewek nggak Ta? Tinggal sebut kriteria lo kaya apa, semua gue punya. Asal jangan kaya mantan lo saja. Nggak ada gue stok modelan Dior mah. Langka dia cuma satu di dunia.” Dipta melirik kesal pada Damas, tidak suka lebih tepatnya.

Kalau sahabat-sahabatnya sudah membahas tentang masa lalunya, terutama kisah percintaannya yang miris, bukan sedih yang ada malah menyindir. Dipta tahu dia pernah menjadi lelaki yang dibutakan oleh cinta, tapi yang dia tidak tahu adalah efeknya bisa seumur hidup begini.

“Lo kira cari pasangan segampang itu, tinggal sebut kriteria, ketemu orangnya terus beres?” Jawab Dipta kesal.

“Ya kan nggak perlu serius. Coba-coba aja dulu hitung-hitung main cari hiburan, kalau oke ya lanjut, kalau nggak oke ya stop sampai di sini.” Marvo menyikut Damas kencang, sementara wajah Dipta sudah berubah mengeras ketika mendengar jawaban Damas.

“Terakhir gue coba main-main dan ternyata gue menyesal…” lirih Dipta.

***

Kalau boleh menyombongkan diri, Mila tidak pernah gagal dengan desainnya. Revisi pasti ada, yang paling penting adalah desainnya tidak pernah ditolak di pasaran. Selalu jadi incaran, limited edition yang tentu saja harganya fantastis. Beberapa kali juga Mila melayani pelanggan setia Cartier dan membuatkan desain khusus sesuai dengan permintaan mereka. Kebanyakan malah membiarkan Mila datang dengan desain imajinasi dan kreativitasnya sendiri.

Di dalam negeri, dirinya memang hanya seorang anak konglomerat. Tapi di luar sana tidak ada yang tahu siapa Karmila Haditama, yang mereka kenal hanyalah Mila, the golden hand of Cartier, salah satu aset berharga perusahaan tersebut. Kedatangannya kali ini tentu saja untuk memantau langsung peluncuran desain terbaru Cartier, dan empat desainnya termasuk di sana.

Tiga minggu lebih, hampir satu bulan malah Mila menikmati harinya di Paris. Tidak dengan jalan-jalan karena sepuluh tahun lebih ada di negara itu membuatnya seperti berada di Indonesia. Dia tidak mungkin kan sering-sering mampir ke Monas, sama halnya dengan dia juga tidak mungkin sering mampir ke Eiffel Tower.

Seperti pagi ini, Mila sedang menikmati sarapan paginya di salah satu kedai kopi yang cukup terkenal di sana. French toast dan segelas kopi panas. Mila memilih duduk di luar agar bisa menikmati suasana pagi yang tidak bisa dia dapatkan di Jakarta. Begitu tenang dan tidak ada yang mengganggu.

Senyum Mila hilang ketika dia mengingat kalau sebentar lagi dia akan kembali pulang ke Jakarta. Artinya masa-masa tenangnya akan berakhir, begitu juga dengan masa kesendiriannya mungkin karena dia sudah berjanji untuk mengikuti kemauan ayahnya. Berkenalan dengan lelaki yang punya semua kualitas dan kriteria calon menantu idaman ayahnya.

“Huft…” Mila menghela nafas, mengambil cangkir kopi dan menegak isinya. Seketika dia jadi tidak bernafsu menghabiskan sarapan paginya.

Jujur saja Mila belum siap membina hubungan yang serius, apalagi kalau sampai harus berumah tangga. Bukannya tidak mau, hanya saja dia merasa belum menemukan arti hidupnya yang sebenarnya. Selama ini Mila selalu menjalani kehidupannya selayaknya hidup pada normalnya.

Sekolah, meraih pendidikan, berteman, bekerja, mencoba menjalin dan memiliki hubungan, tapi kenyataannya Mila merasa masih ada yang kurang. Masih ada yang hilang dalam hidupnya, entah apa itu. Sekalipun usianya sudah kepala tiga, tapi dirinya tidak berbeda sama sekali seperti saat baru menginjak usia dua puluhan. Rasanya waktu berhenti begitu saja dan tahu-tahu dia sudah tidak muda lagi.

“Jadi ini yang dilakukan orang kaya saat sedang tidak ada kerjaan? Enak sekali hidupnya...” Karmila menoleh pada suara yang sedikit cempreng yang tentu saja dia kenal dengan baik. Ethan, sahabatnya ketika sama-sama kuliah di Perancis dan lelaki itu memilih menetap di sini.

Mila memutar kedua bola matanya tidak percaya ketika mendapati Ethan sudah menarik kursi di hadapannya dan duduk tanpa meminta persetujuannya lebih dulu. Terlebih lagi dandanannya hari ini begitu mengkhawatirkan. Terlalu mewah hanya untuk sarapan di pinggir jalan seperti ini.

“Seriously? Coat Burberry keluaran terbaru hanya untuk sarapan pagi-pagi begini? Kita nggak lagi makan di Louvre, darling. Lo terlalu mencolok.” Meskipun untuk orang-orang di sana biasa saja, tetap saja menurut Mila ini terlalu berlebihan.

“Tampil prima setiap saat itu nggak dosa Mil, jangan bikin gue kesel pagi-pagi begini. Lagian this is France, everyone is in fashion,” Jawab Ethan santai. Ethan melambaikan tangannya pada pramusaji, memesan makanannya untuk menemani Mila sarapan, padahal sarapan Mila juga sudah mau habis.

“Jadi, lanjut yang kemarin kepotong. Pulang dari sini lo bakalan married?” Tanya Ethan serius.

Mila sempat menceritakan tentang perjodohannya waktu lalu pada Ethan, namun sayang sebelum ceritanya selesai dia harus kembali ke kantor untuk menangani beberapa pekerjaannya. Dan pagi tadi, mereka janjian bertemu sebelum Mila kembali terbang ke Indonesia, meskipun Ethan sedikit terlambat.

“Nggak langsung nikah juga. Lo kira gue Siti Nurbaya apa. Cuma kenalan doang.”

“Ckckck, udah gue bilang dari kapan tahun mending lo nikah sama gue aja, terus kita hidup di Paris. Dari pada kaya gini lo bolak-balik Jakarta Paris, eror otak lo kelamaan di pesawat Mil.” Pesanan Ethan datang tepat ketika lelaki itu menyelesaikan ucapannya. Secangkir teh hangat yang Mila yakin dari baunya adalah english breakfast tea, dan juga sepiring roti panggang dilengkapi dengan egg benedict dan beberapa potong bacon.

“Papi gue bisa mati berdiri kalau kita nikah. Lo kan tahu dia maunya cari menantu yang bisa ngurusin perusahaan. Nah lo, jangankan ngurusin perusahaan, ngurusin gue aja belom tentu bener nanti. Nggak bakalan dikasih, yang ada gue langsung diseret pulang ke Jakarta. Di blacklist gue nggak bisa balik ke Paris lagi nanti.” Sahut Mila kesal. Ethan mengangguk-angguk mengerti sambil menyuapkan sarapan ke mulutnya.

“Ribet ya jadi orang kaya. Gue harus bersyukur karena hidup berkecukupan, nggak berlebihan kayak keluarga lo. Susah salah, kaya raya juga bingung mau jagain hartanya gimana.”

Dalam hatinya Mila membenarkan perkataan Ethan. Lelaki itu datang dari keluarga yang biasa saja, dan hidupnya jauh lebih mudah dibandingkan dengan Mila. Meskipun dalam perjalanan Ethan untuk sampai ada di posisi ini tidak dengan mudah seperti Mila, namun pada akhirnya Ethan bisa menikmati jerih payah dan kerja kerasnya.

Lalu bagaimana dengan Mila? Sudah dia katakan tadi kalau ada kepingan yang hilang dalam hidupnya, entah apa itu. Sebebas-bebasnya kedua orang tua Mila membiarkannya memilih kehidupannya, Mila tetap punya tanggung jawab tak kasat mata seumur hidup. Warisan dan peninggalan orang tuanya. Perusahaan yang bagi banyak orang merupakan mimpi untuk bisa dimiliki, malah jadi beban di pundak Mila.

“Mengeluh juga nggak lebih baik kan? Ada milyaran orang di luar sana yang mau jadi gue. Rasa-rasanya biarpun begini hidup gue masih jauh lebih baik dari orang lain…” Mila menyesap kopinya untuk yang terakhir kali sebelum meletakkan cangkir kosong tersebut di atas meja.

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel