Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

3. Itu-Itu Saja (Part 2)

Percayalah, memulai sesuatu yang baru bukan hal yang mudah. Mengambil keputusan untuk memulainya saja sudah susah, apalagi menjalaninya. Otak kita akan dipaksa berperang dengan situasi dan keadaan, belum lagi suara hati yang dalam kebanyakan kasus akan bertentangan dengan pikiran kita sendiri. Otak dan hati, dua organ yang saling hidup berdampingan namun saling melempar misil satu dengan yang lainnya, menciptakan medan perang mereka sendiri.

Pradipta Mahesa, lelaki tiga puluh dua tahun yang baru kembali menjejakkan kakinya di tanah air setelah dua tahun lamanya menetap di Singapura. Akhirnya dia memperoleh mutasi dan kembali ke Indonesia.

Dua tahun lalu Dipta memohon untuk bisa dipindahkan ke salah satu cabang tempat perusahaannya bekerja yang ada di Singapura, memulai hidup baru dan meninggalkan semua kenangan pahit yang sedikit demi sedikit menggerogotinya. Kali ini dia berada di posisi yang sama. Setelah begitu nyamannya menetap di negara tetangga, promosi jabatan membuatnya harus kembali ke tanah air.

“Huft…” Dipta menghela nafas. Dia membuka kacamata hitamnya, menatap kesekelilingnya dengan pandangan seolah-olah dia sudah dua puluh tahun tidak berada di Indonesia, khususnya Jakarta.

Dipta masih menatap sekeliling, mencari seseorang hingga dia mendapati lelaki setengah baya berjalan ke arahnya.

“Pak Pradipta? Saya Iman yang ditugaskan menjemput Bapak.” Sapa lelaki itu sopan. Dipta mengangguk kemudian mengambil kopernya dan menyeretnya. Dia mencegah Pak Iman mengambil alih.

“Jangan Pak, biar saya bawa sendiri saja. Barang saya tidak banyak, hanya ini saja.” Pak Iman mengangguk dengan patuh. Mereka berjalan menuju ke parkiran dan masuk ke dalam mobil. Alih-alih duduk di kursi penumpang, Dipta lebih memilih duduk di samping kemudi, di samping Pak Iman.

“Kita mau ke mana dulu Pak?” Tanya Pak Iman sambil melirik pada Dipta.

“Bisa tolong antar saya ke rumah Pak? Nanti Pak Iman bisa tinggalkan saya di sana, tidak perlu menjemput lagi. Saya bisa pergi sendiri, cukup kasih aksesnya saja.”

“Bisa Pak.” Pak Iman mengangguk dengan patuh, lelaki paruh baya itu segera melajukan mobilnya setelah Dipta menyebutkan sebuah alamat.

Lama tidak kembali, Jakarta masih sama saja menurut Dipta. Tidak ada yang banyak berubah. Kota ini tetap menjadi Ibu Kota yang ramai dan padat penduduk. Beruntung dia sampai ketika hari masih siang, jadi Dipta tidak perlu berkeluh kesah karena macet yang akan menambah jam perjalanannya.

Satu jam dua puluh menit Dipta sudah sampai di rumah sederhana dengan cat berwarna putih. Minimalis, sangat sederhana malah. Dia menerima sebuah kartu dan beberapa hal lain dari Pak Iman, kemudian mempersilahkan Pak Iman untuk pergi.

Dengan langkah tidak begitu bersemangat Dipta tetap masuk ke dalam sana. Paling tidak dari sekian banyak tempat, tempat inilah yang memang harusnya dia kunjungi lebih dulu. Pintu pagarnya tidak terkunci, Dipta hanya perlu mendorongnya. Rumah ini punya pekarangan yang luas, terawat dan begitu asri.

Dipta mengetukkan pintu kayu bercat hitam itu beberapa kali. Tidak ada bel di rumah ini, lagipula rumah ini tidak besar. Jadi hanya dengan ketukan pintu saja penghuni di dalamnya tentu bisa mendengar.

Seorang wanita berusia enam puluhan keluar dari sana. Mata wanita itu sempat terkejut, namun berbinar bahagia mendapati Dipta di hadapannya. Tanpa perlu di komando, wanita itu menghambur memeluk Dipta.

“Adek pulang nggak kasih kabar? Mama nggak tahu kalau adek mau pulang.” Lirih wanita itu sambil mengusap pipi Dipta.

Liyana, wanita yang usianya sudah kepala enam itu masih terlihat cantik di usianya. Jangan tanya betapa terkejut sekaligus bahagianya dirinya ketika mendapati putranya ada di hadapannya. Berdiri dengan gagah dan baik-baik saja.

Dua tahun tidak bertemu membuat rindu yang sekian lama dipendamnya menguap begitu saja. Menyaru menjadi bulir-bulir air mata yang mengembang di pelupuk matanya. Buru-buru Liyana menyeka air matanya supaya tidak tumpah.

“Masuk dek, kamu nggak bawa barang? Cuma ini saja?” Dipta menatap sendu ibunya tanpa menjawab apapun. Dia merindukan wanita yang sudah melahirkannya ini.

“Dipta nggak bawa banyak barang ma, semua barang-barang sudah Dipta paketin dari Singapura.” Ibu dan Anak itu berjalan beriringan memasuki rumah.

Dipta mendudukkan tubuhnya di sofa ruang keluarga. Ketika masuk tadi dia sempat melihat-lihat seisi rumah yang nyaris tidak berubah, kecuali ada beberapa perabotan baru. Selebihnya semua masih sama saja. Dalam hati Dipta bersyukur ketika melihat foto keluarga yang terpampang di ruang tamu. Paling tidak dirinya masih ada di foto itu.

“Kamu kembali ke Indonesia dek?” Tanya Liyana penuh harap karena mendengar penjelasan Dipta tadi. Mau tidak mau Dipta mengangguk yang tentu saja membuat senyuman di bibir Liyana merekah.

“Aku dipromosikan jadi Manager, tapi untuk wilayah Indonesia. Jadi mau nggak mau aku balik ke sini lagi. Mama nggak perlu bilang papa, aku sudah ada apartemen dari perusahaan. Keperluanku juga sudah diurus perusahaan, jadi aku nggak akan tinggal di sini. Aku ke sini cuma karena kangen mama saja.” Ujar Dipta tulus.

Tanpa perlu bertanya dia juga sudah tahu kalau ibunya kecewa dengan penjelasannya barusan. Apa boleh buat, dia belum berbaikan dengan ayahnya, tidak mungkin mereka tinggal di satu atap yang sama.

“Kamu kayak bukan anak mama. Pulang nggak kasih kabar, tinggal nggak di rumah. Datang sudah seperti tamu,” Bibir Liyana tersenyum, namun pandangannya menerawang ke masa lalu. Masa dimana anak-anaknya masih kecil dan menggemaskan, bukan seperti sekarang yang sibuk dengan urusan dan ego masing-masing. “Papa kamu memang masih marah, kalau kamu nggak mencoba bicara duluan ya kalian nggak akan bisa baikan dek.” Lanjut Liyana lagi.

Hal ini juga yang memisahkan Liyana dengan putranya. Kepergian Dipta untum menenangan diri membuat kemarahan suaminya semakin menjadi, bahkan melarang Liyana untuk mengunjungi Dipta. Liyana juga tidak berani pergi ke Singapura dan menentang suaminya. Jadinya selama dua tahun belakangan ini mereka bagaikan orang asing yang hanya bisa berkomunikasi menggunakan telepon.

“Mama yang paling tahu papa seperti apa, dan semarah apa dulu. Aku yakin papa juga nggak akan mau bicara sama aku ma…”

***

Hanya satu jam lebih Dipta bertemu ibunya. Buru-buru dia meninggalkan rumah itu sebelum ayahnya pulang. Dia belum siap bertemu ayahnya, paling tidak Dipta masih lelah karena mengurus kepindahannya kembali ke Indonesia. Dia belum siap kalau harus berdebat dan adu mulut dengan ayahnya.

Di sinilah Dipta berada. Salah satu apartemen di kawasan Jakarta yang jaraknya lumayan dekat dengan kantornya. Lantai dua puluh satu dengan pemandangan yang langsung menghadap ke jalanan.

Ketika memasuki apartemen, Dipta bisa bernafas lega karena semuanya sudah rapi. Barang-barang yang dia kirim dari Singapura memang belum tertata, tapi kardus-kardusnya sudah ada di sana, bertumpuk dengan rapi, jadi dia tidak susah ketika membongkarnya nanti.

Dipta berkeliling tempat barunya. Ada dua kamar tidur yang keduanya sudah lengkap dengan kasur. Mungkin nanti Dipta akan minta tolong untuk menyingkirkan tempat tidur di kamar yang kecil. Lumayan bisa dia jadikan ruang kerja.

Apartemen ini sudah lengkap dengan perabotan dasar, jadi Dipta tidak perlu merogoh kocek sendiri untuk melengkapi apartemennya. Dapurnya pun sudah lengkap dengan kitchen set, bahkan peralatan masaknya juga ada.

Setelah puas berkeliling, Dipta melepaskan kancing atas kemejanya, melonggarkan sedikit supaya bisa mendapatkan udara lebih banyak. Hal pertama yang akan dia lakukan adalah pergi belanja kebutuhan sehari-harinya. Paling tidak kulkasnya perlu diisi. Tapi untuk saat ini Dipta ingin bersantai sejenak.

Dia beranjak masuk ke dalam kamar utama, menjatuhkan tubuhnya pasrah pada tempat tidur begitu saja. Kemudian tanpa Dipta komando matanya terpejam begitu saja. Tidak tidur, otaknya masih berkerja memikirkan banyak hal, namun dengan memejamkan mata dia bisa sedikit mengendurkan syaraf-syarafnya.

Dua tahun terakhir ini terlalu banyak hal yang sudah dia lalui. Kebanyakan sendirian dengan dalih melupakan, tapi ternyata masih muncul juga di ingatannya. Dipta dan Dior, dia kira hubungan mereka bisa bertahan, tapi ternyata tidak. Cinta menjadi hal yang paling sulit Dipta mengerti.

Entah sudah berapa banyak cacian yang dia terima dari sahabat-sahabatnya karena terlalu buta jatuh cinta pada Dior. Pada akhirnya perempuan yang dia cintai tidak pernah mencintainya. Dior memilih laki-laki lain dan mencampakkannya begitu saja. Membiarkannya mencinta sendiri, dan juga menderita sendiri.

Bukan hanya Dior yang pergi, hubungannya dengan keluarga juga ikut merenggang. Hingga saat ini Dipta dan ayahnya belum berbaikan. Bahkan selama di Singapura pun ayahnya tidak pernah menghubunginya, melarang seluruh keluarga untuk meneleponnya walaupun hanya sekedar untuk menanyakan kabar.

Dua tahun di negeri orang tanpa ditemani siapa-siapa membuat Dipta menjadi seorang workaholic tanpa obat. Pekerjaan jadi satu-satunya hal yang ada di kepala Dipta. Tidak heran dia hanya membutuhkan waktu dua tahun untuk bisa dipercayai menjadi Area Manager dan kembali ke Indonesia.

Kalau Dipta boleh mengulang waktu, dia tidak ingin menjatuhkan hatinya pada wanita itu. Terlalu banyak yang telah Dipta lakukan hanya untuk dicampakkan seperti sekarang. Katakanlah dia menyesal pernah memiliki hubungan dengan Dior, tapi tidak sepenuhnya juga.

Bagaimanapun mereka telah bersama sejak kecil, Dipta adalah orang yang paling mengenal Dior; menurutnya. Tapi ternyata Dior punya berbagai macam kejutan yang membuat Dipta merasa tidak benar-benar mengenal wanita itu.

Dior hanya memanfaatkannya, menjadikannya tempat pulang ketika tidak ada lagi tempat yang bisa wanita itu singgahi. Dan dengan bodohnya Dipta senang hati menyambut Dior ke dalam pelukannya, apapun itu keadaannya.

Satu kesalahan fatal yang Dior lakukan membuat Dipta mundur seribu langkah. Dia tidak ingin lagi Dior ada di dalam hidupnya. Kalau sekarang wanita itu sudah bahagia, maka dengan senang hati Dipta juga turut bahagia. Tidak ada dendam, Dipta sudah memaafkan Dior sepenuhnya, hanya saja dia sendiri yang belum mampu untuk berdamai dengan dirinya.

Getaran kecil di ponselnya membuyarkan kenangan masa lalu Dipta. Dia memang tidak memberitahu keluarganya kalau dia akan kembali, tapi bukan berarti dia tidak memberi kabar pada sahabat-sahabatnya.

“My man… Akhirnya pulang juga setelah sombong begitu nggak mau menginjakkan kaki di negaranya.” Suara Damas yang renyah terdengar nyaring di telinga Dipta. Dia bisa mendengar tawa lepas salah satu sahabatnya itu. Paling jago Damas kalau urusan menggoda Dipta.

“Tukang fitnah apa kabar? Gue bukannya nggak mau balik, memang gue kerja dan sibuk di sana. Kalau nggak mana bisa gue dapat promosi dan balik lagi ke sini.” Jawab Dipta sedikit sengit. Lagi-lagi tawa Damas menggema di seberang sana.

“Yaelah Ta, begitu aja sensitif. Udah cepetan nanti malem cabut deh. Gue udah bilang Marvo juga. Tempat biasa. Kangen deh lo pasti sama kita. Marvo dua bulan lagi mau married, sebelum di pantek mati sama komitmen mending kita happy-happy dulu.” Dipta geleng-geleng kepala sendiri mendengar celotehan Damas. Dari antara mereka bertiga, Damas memang terkenal sebagai Don Juan ulung. Tidak ada wanita yang tidak bertekuk lutut dengan pesona Damas. Humble, humoris, tampan, dan jangan lupakan kalau keluarganya cukup terpandang. Bisnis kuliner turun temurun milik keluarganya diwariskan seluruhnya untuk Damas, anak lelaki satu-satunya.

“Ketemu di sana langsung ya, jam delapan nanti gue nyampe sana. Jangan telat lo pada!” Dipta tersenyum, kemudian memutuskan sambungan begitu saja dengan Damas. Dia masih punya waktu beberapa jam sampai nanti malam.

Minggu depan dia sudah harus mulai bekerja. Tidak ada salahnya menghabiskan waktu beberapa saat bersama sahabat-sahabatnya sekaligus beradaptasi lagi dengan hiruk pikuk kota Jakarta yang luar biasa.

Lagi pula Dipta juga perlu membeli beberapa barang kebutuhan lainnya, juga beberapa perabotan untuk melengkapi apartemennya. Meja kerja dan seluruh peralatannya yang pasti. Dipta butuh itu semua. Dia yakin tidak di Singapura, tidak di Indonesia, waktunya akan lebih banyak dia habiskan untuk bekerja.

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel