Pustaka
Bahasa Indonesia

Ternyata Kita Tetangga

32.0K · Tamat
itselle
22
Bab
199
View
9.0
Rating

Ringkasan

Karmila ingin menenggelamkan dirinya ke dalam Samudra Atlantik, tenggelam dan mati membeku ketika tahu kalau tetangga baru di samping unit apartemennya adalah Pradipta. Ya, Pradipta yang lima belas tahun lalu menolak cintanya mentah-mentah dan mempermalukannya ketika mereka masih berseragam putih abu-abu. Lima belas tahun, dan semuanya sudah berubah kecuali Pradipta. Lelaki itu masih tengil, kurang ajar, dan sialnya juga masih tampan, tidak berkurang sedikitpun malah semakin bertambah. Dipta menganggap dirinya bertemu dengan teman lama, sedangkan Mila tidak pernah menganggap lelaki sebagai itu teman. Dipta tidak tahu saja kelakuannya ketika menolak Mila mentah-mentah sambil mempermalukannya di depan seluruh kelas dulu menjadi trauma tersendiri untuk Mila. Mila kira bertetangga dengan Dipta sudah merupakan kutukan yang dia terima, tapi ternyata masih ada hal yang lebih mengerikan lagi selain itu. Benar-benar mengerikan karena bisa membuat Mila yang tidak punya riwayat asma jadi sesak nafas seketika.

RomansaMetropolitanBillionaireDewasaCinta Pada Pandangan PertamaSweetWanita Cantik

1. Awal Mula Semuanya (Part 1)

“Aku suka sama kamu!” Ungkap Mila dengan tegas dan lugas. Matanya sama sekali tidak berkedip menatap lelaki di hadapannya sekarang. Senyum culas sedikit tersungging di bibir lelaki itu.

Mila harus mendongak agar bisa tetap menatap lelaki tersebut karena tingginya hanya sebatas dada lelaki itu saja. Harap-harap cemas, Mila menanti jawaban dari lelaki yang amat disukainya itu sejak pertama kali mereka bertemu di bangku sekolah menengah atas.

Pradipta, kakak tingkatnya yang kini menjadi teman sekelas Mila di tahun terakhir sekolah menengah atas berkat kecerdasan otak Mila yang memungkinnya naik dua tingkat dari seharusnya. Dan kali ini Mila tentu saja tidak menyia-nyiakan kesempatan yang dia punya.

Mila masih menatap Dipta, berharap lelaki itu memberikan jawaban untuknya. Mila ingin tahu apakah Dipta juga memiliki perasaan yang sama untuknya atau tidak. Kalaupun tidak juga Mila tidak akan memaksa. Paling tidak dia tidak akan menyesal karena memendam perasaannya dalam-dalam ketika lulus nanti.

Dipta begitu menarik perhatian Mila sejak lelaki itu menolong dirinya yang terkunci di dalam toilet. Bukan terkunci, tapi dikunci lebih tepatnya oleh segerombolan anak-anak nakal yang menyebalkan.

Disaat Mila hampir lemas karena lelah berteriak minta tolong, Dipta tiba-tiba mendobrak pintu dan mengulurkan tangannya membantu Mila berdiri dan keluar dari sana. Dipta adalah definisi pangeran berkuda putihnya Mila.

Hari-hari selanjutnya dijalani Mila dengan banyak pertolongan dan kejahilan Dipta. Lelaki itu orang yang humoris, terkadang suka mengganggu Mila tapi mampu membuat Mila tersenyum. Boleh dibilang Dipta dengan kenakalannya malah mencerahkan hari Mila.

Jangan tanya seberapa sering Mila curi-curi pandang memperhatikan Dipta di sekolah. Saat di kantin, saat sedang main basket, bahkan saat Dipta hanya bengong dan melamun di pinggir lapangan juga jadi pemandangan yang menarik bagi Mila.

Kebetulannya lagi, Dipta selalu ada di saat Mila sedang dalam kesusahan. Entah mengapa lelaki itu selalu datang tepat waktu, menyelamatkan Mila dari kejahilan-kejahilan yang dibuat oleh anak-anak lain. Bagaimana Mila tidak menjatuhkan hatinya pada lelaki itu.

“Jangan karena gue suka nolongin lo terus lo jadi besar kepala. Gue kira lo pinter, beda dari yang lainnya. Nggak taunya sama aja. Ada begonya juga.”

Wajah Mila kaku ketika mendengar perkataan Dipta. Untuk pertama kalinya dia mendengar Dipta bicara seperti itu. Mereka memang jarang bicara, hampir tidak pernah kalau tidak ada perlunya. Tapi kali ini kata-kata Dipta cukup menghantam Mila.

Otak cerdasnya bekerja lebih keras untuk mencerna semuanya. Dipta mungkin melihat Mila hanya sebatas kaget biasa, tapi sebenarnya Mila tengah berpikir keras harus melakukan apa.

Dipta membungkukkan sedikit tubuhnya, mencoba mensejajarkan pandangannya dengan Mila dan membuat jarak mereka sedikit lebih dekat. Mila yang masih diam sejak tadi mengedip-ngedipkan matanya beberapa kali, berusaha memperoleh kesadarannya yang sejak tadi sudah menguap entah kemana.

“Gue jadi kasian sama lo. Ckckck…” Dipta menggelengkan kepalanya tidak habis pikir. Kemudian dia pergi meninggalkan Mila begitu saja. Mila hanya terdiam menatap punggung Dipta yang makin menjauh. Lelaki itu bahkan tidak mau repot-repot lagi menoleh ke belakang untuk melihatnya.

Sekuat tenaga Mila menggigit bibirnya, menahan air mata yang sebentar lagi akan tumpah. Dia sudah berjanji tidak akan marah ataupun sedih jika Dipta memang tidak membalas perasaannya. Tapi ini, lain lagi ceritanya.

Dia tidak menyangka kalau laki-laki yang dia anggap sebagai pangeran berkuda putihnya itu ternyata memiliki mulut sampah seperti tadi.

***

BRAKKKK…

Suara pintu toilet yang dibuka dengan kasar menggema. Mila memicingkan matanya, mendapati tiga orang perempuan yang sudah berdiri menghalangi jalannya. Dia menghela nafas, siapa lagi kalau bukan Dior, siswi paling menyebalkan yang selalu mengganggu anak-anak lainnya, dan paling seringnya mengganggu Mila.

Dior tersenyum lebar mengejek, tentu saja diikuti oleh dua orang lainnya yang menurut Mila lebih mirip pembantu Dior dari pada sahabat karena sering disuruh-suruh oleh Dior.

“Gue nggak nyangka nyali lo berani juga, kutu buku…,” Dior berjalan pelan mendekati Mila, namun sanggup membuat Mila merinding seperti melihat setan. Dia hanya berharap untuk hari ini dia tidak akan berakhir terkunci di toilet lagi.

“Hebat banget bisa suka sama Dipta.” Kata-kata Dior seperti tamparan telak yang menghantam Mila. Wajah Mila yang sedari tadi menunduk langsung terangkat menatap Dior yang tersenyum mengejek. Senyum yang tidak asing di ingatan Mila. Senyum yang sama seperti yang Dipta berikan saat dia menyatakan perasaannya.

Seketika wajah Mila memucat. Dia yakin hanya tinggal dirinya dan Dipta yang ada saat itu karena mereka memang ada jadwal piket bersama. Sumpah demi apapun hanya tinggal mereka berdua, lalu bagaimana Dior bisa mengetahui semuanya.

“Dipta dan gue bukan sekedar teman dari kecil, cowok yang lo suka itu tergila-gila sama gue. Lo pikir kenapa dia mau repot-repot nolongin lo dari gue? Karena dia nggak mau lo buka mulut dan bikin gue susah nantinya. Memang sialnya aja gue hobi gangguin lo soalnya lo bego sih, diem aja kalau digangguin.” Lanjut Dior lagi dengan wajahnya yang mengejek Mila habis-habisan.

Mila kembali tertunduk, tidak berani menghadapi Dior dan antek-anteknya. Lagi pula dia juga tidak punya tenaga lagi untuk melawan. Patah hati tidak sampai membuatnya menangis meraung-raung, tapi cukup untuk membuatnya malas melakukan apa-apa.

Terlebih lagi sekarang dia baru tahu kalau Dipta menyukai perempuan yang suka mengerjainya habis-habisan ini. Lalu kebaikan Dipta selama ini, palsu. Hanya untuk melindungi Dior.

Mila pasrah, Dior masih mencaci makinya dengan segala perkataan yang tidak dia dengarkan. Masuk kuping kiri keluar kuping kanan. Sampai ketika lengannya digenggam Dior sedikit keras mengakibatkan Mila merintih kecil.

Sesuai prediksi, Dior mendorongnya masuk ke dalam salah satu toilet, mengunci pintunya dari luar, dan yang lebih parah lagi mereka menyiram Mila dengan air dari atas toilet. Entah air apa yang mereka gunakan, tapi dari baunya Mila tahu ini bukan air keran biasa.

“Selamat bersenang-senang di dalam!” Dari luar Dior dan teman-temannya tertawa terbahak-bahak. Dia bisa mendengar suara pintu dibanting ketika mereka keluar.

Tanpa bisa Mila cegah, bulir-bulir air matanya jatuh. Mila menangis dengan diam, tanpa suara, tanpa kata. Kali ini dia yakin kalau Dipta tidak akan menolongnya. Lelaki itu tidak akan datang.

Untuk beberapa saat, Mila hanya akan menangis meluapkan semua perasaan yang sejak kemarin dia pendam sampai dia puas. Baru nanti ketika rasa sesak di dadanya berkurang dia akan berteriak meminta pertolongan.

***

Dipta menatap kursi kosong yang berada tiga baris di depannya, tempat duduk Mila. Sudah dua hari Mila tidak masuk sekolah karena sakit, padahal sebentar lagi ujian kelulusan. Ada perasaan bersalah ketika mengetahui Mila sakit.

Dia bukannya tidak tahu kalau dua hari yang lalu Dior merundung Mila dan mengunci perempuan itu di kamar mandi. Dipta hanya diam membiarkan, tidak menolong Mila. Canggung rasanya berada di hadapan Mila setelah kejadian saat itu.

Dipta akui dia salah karena meminta Dior berhenti mengganggu Mila hingga membuat Dior curiga, dan mau tidak mau Dipta menceritakan semuanya. Selama ini Dipta hanya tidak ingin Dior mendapatkan masalah karena terlalu sering mengganggu Mila si siswi cerdas dan berprestasi yang menjadi kesayangan guru-guru. Karena itu sebisa mungkin Dipta selalu menolong Mila.

Jujur saja dia tidak menyangka kalau Mila malah menyukainya dan membuat semuanya menjadi runyam. Dior marah besar, dan Dipta sudah tidak ingin terlibat dengan semuanya lagi.

Secara tidak langsung dia sudah membuat Mila berharap lebih dengan semua perlakuannya, dan sekarang Mila sakit. Harusnya kemarin Dipta bisa menurunkan egonya dan menyusul Mila ke toilet.

Dari penjaga sekolah Dipta tahu kalau Mila baru pulang sekitar pukul lima sore, dengan baju setengah basah dan badan yang menggigil. Itu juga karena penjaga sekolah sedang berkeliling memeriksa setiap sudut sekolah sebelum pulang. Kalau tidak mungkin Mila baru bisa ditemukan besok paginya entah dengan kondisi yang seperti apa.

Dipta selalu tidak berdaya di hadapan Dior. Dia terlalu mencintai perempuan itu. Dipta selalu membereskan kenakalan-kenakalan yang Dior buat. Secara tidak langsung, Dipta akan dengan senang hati menjadi tameng bagi Dior.

Dior, perempuan itu adalah perempuan paling manis yang pernah Dipta temui. Perpisahan kedua orang tuanya membuat Dior berulah demi mendapatkan perhatian kedua orang tuanya. Dipta memahami itu karena mereka tumbuh besar bersama. Dipta yakin kalau seiring dengan berjalannya waktu Dior akan kembali seperti dulu. Ceria, manja, dan baik hati.

Sementara Mila, Dipta hanya bisa meminta maaf dalam hati. Nanti ketika mereka sudah lulus, dia akan mendatangi Mila dengan sangat amat menyesal dan rendah hati untuk meminta maaf atas semuanya. Baik perkataannya yang menyakitkan maupun tindakan Dior yang tidak menyenangkan hingga membuat masa-masa sekolah perempuan itu seperti di neraka.

***