Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

4. Tetangga Baru (Part 2)

“Selamat datang dan selamat bergabung untuk Pak Dipta. Semoga kedepannya tim kita akan lebih solid lagi dibawah kepemimpinan Pak Dipta.” Ujar seorang lelaki paruh baya.

“Terima kasih, saya berharap kita bisa bekerja sama dengan baik. Saya juga butuh bimbingan dari kalian semua yang sudah lebih lama berada di sini. Jangan sungkan untuk memberikan ide, saran, maupun masukan yang bisa membangun dan memajukan perusahaan.” Kata Dipta berwibawa namun santai dengan senyum yang mengembang.

Tepuk tangan riuh menyambut akhir kata dari Dipta. Hari ini hari pertamanya bergabung dengan tim barunya di head office Jakarta. Dia punya tim dengan jumlah yang cukup banyak, dua belas orang untuk divisinya saja.

“Nanti siang kita makan siang bersama semuanya, saya yang traktir sebagai perkenallan kita.” Semua orang makin bertepuk tangan gembira. Mereka kira Manajer baru mereka bapak-bapak yang suka menyuruh dan menyeramkan, ternyata malah kebalikannya.

Sebagai perkenalan yang baik tentu saja dia harus mentraktir seluruh timnya. Hitung-hitung supaya mereka bisa lebih dekat dan saling mengenal. Perasaan Dipta mengatakan kalau dia akan berada cukup lama di posisi ini, jadi dia tidak ingin dianggap sebagai atasan yang mengerikan dan angkuh.

Dipta berjalan santai memasuki ruangannya. Ruangan kaca yang tidak begitu besar, namun cukup rapi dan menyenangkan. Dia memiliki komputer dengan tiga layar besar yang bisa dia gunakan untuk bekerja.

Pemandangan dari dalam ruang kerjanya juga langsung menghadap ke gedung-gedung tinggi yang ada di sekitarnya. Kota metropolitan dimana-mana memang tidak jauh berbeda.

Beberapa hari belakangan dia menerima pesan dan telepon dari ibunya yang menanyakan kabarnya. Tentu saja Dipta membalas dengan jawaban kalau dia baik-baik saja. Yang dia tahu ayahnya acuh dengan kepulangannya. Satu lagi, kakaknya juga sudah tahu kalau dia sudah kembali ke Indonesia.

Dia juga menerima telepon dari kakaknya yang berharap agar mereka dapat bertemu. Dipta tidak menghindar, sudah dia katakan kan kalau dia hanya sedang mencari waktu yang tepat, termasuk untuk bertemu dengan kakaknya. Dipta tahu kalau kebodohannya di masa lampau membuat saudaranya itu terkena imbasnya. Sedikit atau banyak, yang jelas Dipta tetap merasa bersalah.

Dipta belum berani bertemu dengan kakaknya setelah terakhir kali satu bogem mentah mendarat di pipinya karena berhasil membuat ibunya pingsan. Sungguh kalau kutukan menjadi batu itu ada, Dipta sudah yakin dia sudah jadi prasasti sejak lama.

Setelah mengurus pekerjaannya di sini dan memastikan kalau semuanya bisa berjalan dengan lancar, perlahan Dipta akan mencari cara untuk memperbaiki hubungannya dengan keluarganya. Dia tidak boleh jadi lelaki pengecut yang lari dari masalah selamanya. Tidak mungkin dia akan bermusuhan dengan keluarganya selamanya.

Dering ponsel Dipta membuyarkan lamunannya. Dengan sigap dia meraih ponsel yang tergeletak di atas meja kerjanya yang menampilkan nomor tidak dikenal. Dia belum lama kembali ke Indonesia, jadi belum banyak orang yang tahu tentang nomor ponselnya. Harusnya panggilan yang masuk adalah panggilan yang penting.

“Halo…,” Sapa Dipta ketika mengangkat panggilan. Mendengarkan sejenak kemudian Dipta mengurut pelipisnya ketika mengetahui kalau dia melupakan sesuatu.

“Maaf sudah merepotkan, saya benar-benar lupa. Kalau menunggu saya kembali bisa memakan waktu. Jadi tolong letakkan di depan saja. Terima kasih.” Dipta menggaruk kepalanya kemudian menatap jam di dinding yang menunjukkan hampir pukul dua belas siang. Dia mengambil beberapa barangnya dan beranjak ke luar ruangan.

“Kita makan siang sekarang saja, sebentar lagi jam dua belas.” Kata Dipta lumayan kencang supaya semua orang yang ada di ruangan bisa mendengarnya. Setelah makan siang ada hal lain yang harus Dipta urus kalau dia tidak ingin ditendang dari tempat tinggalnya.

***

Berada di dalam pesawat untuk jangka waktu yang lumayan lama memang tidak menyenangkan. Pil tidur, obat yang selalu Mila bawa ketika dia harus berada lama di atas udara.

Jangan mentang-mentang dia duduk di business class lalu berpergian menggunakan transportasi udara itu menyenangkan. Percayalah, tidak enaknya sama saja. Bonusnya hanya ada di tempat duduk yang lebih luas dan rasa makanan yang lumayan. Selebihnya ya seperti naik pesawat pada umumnya. Telinga berdengung, kepala pusing, dan kadang-kadang malah mual akibat turbulensi.

Tapi Mila bersyukur karena sekarang dirinya jauh lebih baik dibandingkan dulu. Kalau dulu dia bisa seperti orang mabuk, semenjak mengenal yang namanya pil ajaib untuk tidur di dalam pesawat, Mila bisa tersenyum lebar ketika turun dari pesawat.

Pulang dari Paris wajah Mila jauh lebih segar dari biasanya. Bertemu dengan teman-teman lama dan juga kolega kerjanya di sana jadi liburan tersendiri untuk Mila. Maklum saja, dia tidak punya teman di Indonesia.

Mila turun dari taksi dan mendorong kopernya sendiri setelah dibantu pak supir yang mengeluarkan kopernya dari bagasi. Tidak ada yang menjemputnya di bandara. Mau minta tolong supir ayahnya untuk menjemput juga Mila malas.

Dia memasuki lobby apartemennya dan langsung melenggang menuju ke lift yang membawanya ke lantai dua puluh satu. Mendorong santai kopernya yang tidak begitu berat, Mila berhenti di tengah lorong ketika mendapati keadaan lorong lantai dua puluh satu begitu kacau balau.

Keningnya mengernyit heran. Ada begitu banyak barang berserakan di lorong apartemen, yang pasti barang-barang tersebut baru, fresh dari toko kalau dilihat dari penampilannya.

Mila menghampiri pelan, melihat label toko yang tertera di sana, dia tahu kalau ini adalah toko furnitur. Dia menatap pintu di hadapannya. Pintu unit apartemen yang ada di samping unitnya tepat. Tentu saja barang-barang ini menghalangi Mila untuk bisa sampai ke kediamannya.

Setahu Mila unit di sampingnya ini kosong sudah sejak lama. Dan kalau dia tidak salah ingat, terakhir kali saat dia tinggalkan juga unit di sampingnya tidak berpenghuni. Itu artinya dia mendapatkan tetangga baru yang kalau dilihat dari penampakkannya sedikit menyebalkan.

Lihat saja, belum apa-apa sudah berantakan begini. Kalau menuruti kata hati, Mila ingin menelpon sekuriti untuk membersihkan kekacauan ini. Tapi Mila sadar kalau hal itu terlalu kejam rasanya. Bisa-bisa tetangga barunya ini kabur nanti kalau tahu Mila semenyebalkan itu.

Sungguh Mila malas sekali kalau harus mengangkat kopernya hanya untuk melalui tumpukan barang tersebut. Tapi apa boleh buat dari pada dia harus diam berdiri begitu saja. Mila mengangkat kopernya yang ternyata lumayan berat dengan tenaga yang seadanya yang dia punya.

“Bener-bener ya ini orang, gimana ceritanya ini barang-barang sampai begini sih!” Gerutu Mila sendiri. Tepat ketika dumelannya selesai, dentingan pintu lift berbunyi, mau tidak mau membuat kepala Mila menoleh, memastikan siapa yang keluar dari dalam sana.

Mata Mila bertemu dengan mata legam lelaki tinggi di hadapannya. Dua kancing teratas kemeja lelaki itu terbuka, menampilkan sedikit pemandangan dada bidang miliknya yang menggoda. Rambutnya setengah acak-acakkan, tapi justru menambah kesan menawan. Belum lagi lengan kemejanya yang digulung asal-asalan hingga siku.

Waktu boleh berlalu begitu lama, tapi ingatan Mila tidak mudah lupa sekalipun sosok di hadapannya ini telah banyak berubah. Penampakkannya jauh lebih dewasa dibandingkan terakhir kali mereka bertemu, lima belas tahun lalu.

“Karmila…,” Nama Mila dilantunkan dengan begitu jelas dan lirih, mampu membuat Mila terkesiap seketika dan menghantamkan dirinya kembali pada kenyataan. Mimpi buruknya benar-benar ada di hadapannya sekarang.

Koper yang Mila pegang sekuat tenaga supaya bisa dia angkat terjatuh seketika di samping kakinya. Bibir Mila terkatup rapat, tidak ada raut bersahabat dari Mila. Hanya tatapan datar. Wajah terkejutnya juga sudah hilang entah sejak kapan.

Otak Mila berpikir dengan cepat. Apa yang harus dia lakukan? Pura-pura tidak kenal? Pura-pura lupa? Atau bilang saja kalau lelaki itu salah orang? Mila masih menimbang-nimbang keputusannya.

Pandangan Mila beralih pada tumpukan barang yang menghalangi jalannya, kemudian kembali menatap lelaki di hadapannya. Kalau lelaki itu bisa ada di sini, tepat di hadapannya, artinya dia memiliki akses untuk berada di gedung ini.

Bulu roma Mila langsung merinding disko. Jangan bilang tetangga barunya adalah lelaki menyebalkan yang ada di hadapannya sekarang. Demi apapun juga, secuil ujung kuku pun Mila tidak pernah bermimpi bisa bertemu dengan manusia-manusia yang membuat masa mudanya begitu menyedihkan. Terlebih lagi lelaki di hadapannya sekarang.

“Pradipta…” Ujar Mila menghentikan kebingungan dan keheningan mereka.

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel