Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

3. Itu-Itu Saja (Part 1)

Kebanyakan perempuan menyukai bunga. Kebanyakan, bukan berarti semuanya, termasuk Mila. Malam semakin larut, tidur di rumah orang tuanya, di kamarnya yang dulu selalu menyenangkan. Senyum Mila merekah, bukan karena bunga-bunga mekar yang ada di hadapannya sekarang.

Dia sedang duduk di taman belakang milik Amanda, memandang hamparan taman bunga yang lumayan luas. Sesekali Mila menggosok tangannya menghilangkan hawa dingin dari angin yang berhembus. Sebuah gerakan di sampingnya mengalihkan lamunan Mila. Papinya, Wirya duduk di sampingnya.

“Kamu biasanya nggak suka ada di sini…” Ujar Wirya pelan. Dia tahu putrinya tidak suka taman belakang yang sudah disulap oleh istrinya dengan berbagai macam bunga.

“Cari angin pi…” Tidak ada pembicaraan lagi. Ayah dan anak itu sama-sama terdiam dengan pikiran mereka masing-masing.

“Mil, kalau kamu nggak mau papi kenalkan nggak masalah kok. Jangan jadi beban kamu.” Wirya memang pemaksa, tapi bukan berarti dia buta kalau itu akan menyakiti putrinya dia jelas akan mengalah.

Lelaki itu tidak bodoh untuk mengerti kalau pernikahan bagi anak-anak jaman sekarang tidak semudah pada masa dia melaluinya dulu. Sekalipun Mila memiliki segalanya, mengenai pendamping hidup siapa yang tahu akan bagaimana. Sebagai orangtua dia hanya mengusahakan yang terbaik yang dia bisa.

“Jadi ceritanya papi berubah pikiran nih? Nggak takut Mila berubah pikiran juga?” Goda Mila pada Wirya.

“Kalau kamu nggak mau kan papi mana bisa maksa. Iya kan? Kita sama-sama tahu sekeras kepala apa kamu.” Wirya mengetuk beberapa kali kepala Mila yang berakhir dengan kekehan mereka.

Kalau dipikir-pikir, beberapa tahun terakhir ini pembahasan Mila dengan Wirya hanya seputar itu-itu saja. Wirya yang ingin dirinya segera menikah, atau meninggalkan pekerjaannya sekarang dan meneruskan perusahaan.

“Untuk kali ini aku mau percaya sama pilihan papi, tapi ending nya tetap ada di Mila juga kan mau apa nggak. Memang siapa yang mau papi kenalin ke aku? Anak teman bisnis papi?” Wirya menggeleng dengan cepat sambil memanyunkan bibirnya.

“No no no.., kamu pasti nggak mau kalau sama anak kolega bisnisnya papi.” Jawab Wirya percaya diri. Kening Mila berkerut. Dia pikir papinya akan menyodorkan selusin lelaki dari kolega bisnisnya.

“Terus siapa?”

“Karyawan papi…” Kerutan di kening Mila makin menjadi. Dia memejamkan mata sambil menggelengkan kepalanya tidak habis pikir. Karyawan papinya itu banyak, ribuan. Dia yang jarang ikut campur atau sekedar menginjakkan kakinya di kantor mana mungkin tahu karyawan papinya. Satu pun tidak.

“Karyawan? Papi lagi bercanda sama aku? Jangan bilang papi sengaja mau nikahin aku sama karyawan papi supaya dia bisa nerusin perusahaan? Bisa disuruh-suruh, diatur-atur semaunya begitu?” Tanya Mila curiga. Kalau benar begitu dia tidak akan setuju. Masih mending menikahi salah satu anak teman bisnis papinya saja.

Realita dan dilema yang sebenarnya Mila yakin dirasakan seluruh anak perempuan kaya raya di luaran sana. Dilema kalau punya pasangan yang dibawah mereka. Lelaki makhluk penuh ego, mereka akan tetap terluka pada pasangan yang ada di atas mereka sekalipun kita sudah mengiba di kaki mereka. Menikahi karyawan sendiri, Mila sudah bisa membayangkan kekacauan apa yang akan terjadi di masa depannya nanti.

“Bagian meneruskan perusahaannya benar, tapi kalau bagian diatur sama disuruh ya nggak dong. Papi kan cari suami buat kamu, bukan asisten pribadi. Lagian dia lebih segala-galanya dari kamu kok,” Tatapan Mila makin menyelidik.

“Pintar, luar biasa mengagumkan di bidangnya, tinggi, tampan, dari keluarga baik-baik, bertanggung jawab, dewasa, pokoknya panutan. Jauh kalau dibandingin kamu yang nggak jelas begini. Dia lelaki idaman, mengingatkan papi sama papi muda dulu. Masalah uang jelas dia lebih dari cukup, tapi jangan dibandingkan sama papi loh.” Mila memutar matanya kesal.

Siapa juga yang mau membandingkan kekayaan. Mila tidak pernah mencari lelaki kaya raya untuk dinikahi. Hidupnya tidak boros, sekalipun dia perancang perhiasan ternama, tapi dia sendiri malah jarang memakai perhiasan.

“Memangnya dia mau sama perempuan dengan pekerjaan nggak jelas kayak aku? Yakin dia nggak mengincar perusahaan saja? Papi bisa percaya sama dia?” Kata Mila memanas-manasi papinya.

“Yakin, orang papi setengah mati meyakinkan dia supaya mau kenalan sama kamu. Baru papi ceritain soal kamu saja dia sudah ogah begitu. Kamu harus berterima kasih loh sama papi yang sudah susah-susah mengamankan calon masa depan kamu ini.”

“Katanya tadi belum tentu, sekarang malah udah menggebu-gebu gitu bilang calon masa depan aku.” Sungut Mila setengah kesal.

“Pokoknya kamu kenalan dulu. Papi sih berharapnya kalian bisa cocok, tapi kalau nggak juga nggak apa-apa. Belum jodoh namanya. Namanya Yoga, tiga puluh empat tahun. Dia sudah kerja di perusahaan selama sepuluh tahun terakhir. Tiga tahun belakangan dia bantuin papi jadi Wakil Direktur.” Mila manggut-manggut mengerti mendengar penjelasan Wirya. Memang tidak buruk kedengarannya mengingat betapa perfectionist nya papinya itu kalau urusan pekerjaan.

“Oke, bulan depan habis aku pulang dari Paris, papi sama dia atur saja nanti tempat ketemuannya. Masuk yuk pi, udah malam, dingin, nanti kita sakit.”

Mila bangkit berdiri diikuti oleh Wirya bersamanya. Ayah dan anak itu berjalan beriringan masuk ke dalam rumah sambil sesekali tertawa dan bercanda. Di luar sana mungkin Wirya adalah sosok yang tegas dan menakutkan. Tapi bagi Mila dia adalah lelaki yang selalu ada di depannya, ayah yang paling manis yang pernah ada.

***

Mila menatap sebuah koper besar berwarna coklat yang sudah siap dari kemarin. Jam menunjukkan pukul setengah lima pagi dini hari. Mata Mila saja masih setengah sayu karena mengantuk.

Sepulang dari rumah orang tuanya setelah menginap semalam, Mila bergegas kembali ke apartemen untuk mengemasi barang-barangnya. Sambil sesekali menyempurnakan sketsa rancangan terbarunya.

Tidak banyak yang dia butuhkan selama di sana. Pakaian formal dan kebutuhan-kebutuhan dasar lainnya bisa dia dapatkan saat di sana. Mila hanya mengisi kopernya dengan beberapa potong pakaian santai, dua buah coat untuk melindungi tubuhnya dari udara dingin, serta keperluan lainnya. Kurang lebih tiga minggu disana Mila akan melaundry pakaiannya saja ketimbang membawa banyak pakaian.

Pesawatnya berangkat pukul delapan lewat empat puluh lima menit pagi hari. Mila menarik kopernya, menyeretnya keluar dan menunggu di lobby apartemen, berharap taksi yang sudah dipesannya segera datang.

Selama beberapa hari terakhir pikirannya mulai berkelana kemana-mana. Harus dia akui kalau sekarang dia jadi lebih serius memikirkan tentang hidupnya. Usianya kepala tiga, tepat tiga puluh tahun. Kalau dulu dia begitu santai, sekarang entah mengapa hanya dengan mendengarkan orang tuanya menggerutu sedikit hatinya jadi tersentil.

Tidak secara gamblang memang. Kalau Mila dengan tegas menolak juga ayahnya akan mengalah, yang terpenting adalah kebahagiaannya. Dia harus bersyukur karena bisa terlahir di tengah keluarga ini. Yang terpenting bagi kedua orang tuanya adalah kebahagiaannya, sekalipun itu harus mengorbankan kebahagiaan mereka sendiri.

Yang Mila inginkan selama ini hanya menjadi dirinya. Bebas dan tidak terikat dengan nama besar keluarganya. Mila pikir dengan menjadi gadis pandai yang baik dan rendah hati maka semua orang akan menerimanya dengan baik. Tapi dunia tidak berjalan seperti apa yang Mila pikirkan.

Orang-orang membenci dirinya, atau lebih tepatnya semua yang dia miliki karena dari kacamata mereka kehidupan Mila adalah idaman semua orang meskipun memang begitu kenyataannya. Nama Haditama juga yang akhirnya menyelamatkannya dari semua pem-bully nya.

Sementara ketika Mila di Paris dulu dia bisa merasa menjadi dirinya sendiri. Tidak ada yang peduli dengan Karmila Haditama, yang mereka tahu dia hanya seorang Karmila yang suka menggambar dan menciptakan desain-desain unik pada perhiasan, pendiam dan biasa saja. Jauh dari kata kemewahan yang selama ini disematkan orang-orang padanya.

Di sana pun dia hanya tinggal di apartemen sederhana pinggir kota yang ada di gang sempit. Tidak ada fasilitas khusus. Untuk sehari-harinya Mila hanya berjalan kaki, menggunakan bus atau transportasi umum lainnya. Dia bahkan jarang naik taksi di sana.

Taksi yang Mila tunggu-tunggu datang juga. Buru-buru Mila bangkit berdiri, petugas keamanan di lobby buru-buru membantunya mengangkat koper dan memasukkannya ke bagasi taksi.

“Terima kasih pak…” Ucap Mila tulus kemudian masuk ke dalam taksi.

“See you Jakarta, Hi Paris…” Kata Mila dalam hati sambil menikmati perjalanannya ke Bandara Internasional Soekarno Hatta pagi ini.

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel