Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

2. Diluar Ekspektasi (Part 2)

Makanan rumah memang jadi yang paling menyenangkan, apalagi ketika sudah lama Mila jarang merasakannya. Sebagai seseorang yang tinggal hanya sendiri, benar-benar sendiri tentu Mila jarang memasak. Untuk apa repot-repot masak kalau yang makan hanya dirinya sendiri, toh dia makan juga tidak terlalu banyak.

Maminya memang bukan koki handal yang jago masak, tapi urusan makanan, selayaknya ibu rumah tangga lainnya, maminya juga tidak kalah. Masakan sederhana dengan rasa yang jauh lebih enak ketimbang Mila yang masak.

Jangan heran, setengah hidupnya dihabiskan di Eropa. Sudah pasti masakan yang bisa Mila kuasai tidak ribet seperti masakan Indonesia yang membutuhkan banyak bumbu. Paling-paling juga masakan Mila mentok di pasta atau malah hanya sandwich.

Jauh berbeda dengan makanan yang sudah tersaji di hadapannya. Ayam goreng, tahu tempe, ikan gurame asam manis, udang goreng tepung, cah kangkung, dan sedikit yang tidak nyambung adalah sayur sop. Well, Mila memang tidak suka kangkung, jadi sudah pasti sayur sop itu untuknya.

Mila menggaruk kepalanya. Agak meriah kalau hanya untuk makan malam. Makanannya seperti sedang menyambut tamu penting saja. Mila tahu kalau keluarganya kaya raya sampai sekarang, tapi seingatnya dulu mereka tidak pernah makan dengan segini banyaknya lauk.

”Tumben mami masak banyak, kaya mau pesta aja.” Protes Mila.

“Kan lagi ada anaknya datang. Kamu juga udah lama nggak makan beginian kan pasti. Makannya roti terus sih, udah lupa sama nasi kamu.” Jawab Amanda setengah menyindir.

“Disana mana ada nasi mi, cari beras susah, mahal pula. Ribet, mendingan roti yang dimana-mana ada kan.” Balas Mila cuek. Ibunya tidak mengerti betapa rindunya dia pada nasi saat pertama tiba di Prancis. Percayalah, beras bukan barang yang mudah ditemukan selain di supermarket. Sekalinya ada harganya tidak bisa dibilang murah. Mau tidak mau Mila harus terbiasa makan roti yang ternyata tidak buruk juga.

“Kamu mah apa-apa ribet, dikit-dikit susah…” Mila menutup telinga terhadap gerutuan Amanda. Dia menerima sepiring nasi yang disodorkan Amanda untuknya. Beberapa lauk juga mulai berpindah ke piringnya. Ayam goreng, beberapa potong fillet gurame, dan juga tahu tempe. Tidak lupa semangkuk kecil sayur sop untuknya.

Beberapa suapan sempat masuk ke dalam mulut Mila. Dia menikmati makan malamnya kali ini meskipun sebenarnya belum malam-malam sekali. Jam enam sore juga belum. Rasanya tidak menyesal juga pulang ke rumah.

“Kamu masih belum mau bantuin papi Mil?” Tanya Wirya to the point.

“Bantuin apa pi? Memang perusahaan papi kurang orang? Karyawan udah sebanyak itu masa masih kurang.” Mila sudah tahu, jadi dia tidak kaget. Dia malah menyeruput kuah sopnya dengan bunyi yang lumayan kencang.

“Karyawan papi banyak, tapi papi kan maunya kamu yang nerusin perusahaan. Papi kan mau pensiun juga Mil, mau menikmati hari tua. Jalan-jalan keliling dunia, kalau Tuhan masih kasih ya boleh lah lihat cucu dulu.”

“Mila mana bisa, orang Mila belajarnya gambar perhiasan bukan gambar rumah. Lagian perusahaan kalau dipercayakan ke orang yang tepat kan bagus pi. Kalau Mila mah mana ada yang percaya bisa handle perusahaan.”

Wirya terdiam. Dia lupa kalau keras kepalanya Mila itu sebelas dua belas dengan dirinya. Semakin dia memaksa maka putrinya akan semakin memberontak. Tapi dia juga sudah mulai gatal-gatal melihat hidup Mila yang tidak jelas begitu.

“Kalau nggak bisa nerusin perusahaan paling nggak kasih calon menantu yang bisa nerusin perusahaan. Jadi papi nggak ganggu-ganggu kamu lagi. Kamu bukan anak kecil lagi loh Mil, sudah kepala tiga. Sepantaran kamu sudah pada ada buntutnya.”

Bukan kali pertama papinya membahas tentang “Calon Menantu Potensial Untuk Meneruskan Perusahaan dan Keturunan.” Entah sudah yang keberapa kali, yang jelas semenjak usianya menginjak dua puluh lima tahun. Itu artinya lima tahun yang lalu. Bukan Mila namanya kalau ambil pusing.

Dulu-dulu dia jadi orang yang paling bodo amat kalau sudah disinggung masalah pernikahan, tapi sekarang lain lagi ceritanya. Dia sudah tiga puluh tahun, ya usia yang sangat amat tua bagi orang Indonesia kalau belum berkeluarga.

Hal yang wajar kalau dia masih di Prancis, sayangnya Mila ada di Indonesia, tepat di hadapan kedua orangtuanya. Apa yang harus dia lakukan untuk menikah kalau kekasih saja dia tidak punya. Jangankan kekasih, pacaran pun Mila belum pernah. Bule-bule diluar sana belum ada yang mampu meluluhkan hatinya.

Sekarang, harus Mila akui dia sedikit memikirkan tentang pernikahan. Bukan sedikit, tapi agak banyak. Tidak, lumayan banyak sampai dia khawatir. Siapa yang ingin hidup sendirian di masa tuanya? Mila tidak mau! Tapi siapa yang harus dinikahinya?

“Papi cariin lah buat Mila…” Kata-kata yang dimuntahkan Mila cukup membuat Wirya terkejut, bahkan Amanda sampai menjatuhkan sendoknya diatas piring hingga menimbulkan bunyi berdenting nyaring.

“Papi nggak salah dengar kan?” Tanya Wirya hati-hati sambil melirik istrinya dengan harap-harap cemas. Sementara hembusan berat nafas Mila begitu terasa.

“Mila memilih jalan yang diluar ekspektasi papi sama mami, dan papi sama mami tetap mendukung. Mila pikir nggak ada salahnya kan untuk kali ini Mila setuju sama orang tua sendiri. Masalahnya Mila kan baru balik ke sini, nggak punya banyak teman apalagi pacar. Kalau disuruh married papi mau aku married sama bule?” Wirya langsung menggeleng cepat.

“Yaudah kalau gitu cariin. Aku nggak punya calon soalnya…”

“Yakin mau papi yang cariin? Nggak mau cari sendiri?” Lagi, Wirya berusaha menjaga nada suaranya untuk tidak kelihatan terlalu girang. Putrinya ini ibarat bunglon yang bisa berubah warna sewaktu-waktu. Detik ini merah muda manis, detik berikutnya hitam mengerikan. Namun anggukkan Mila sudah cukup menjadi jawaban.

“Yang bener tapi carinya ya pi! Jangan yang aneh! Papi sama mami orang yang paling ngertiin aku, makanya aku percaya nih.” Jelas Mila sedikit mengancam.

“Ck, kamu kayak nggak tahu selera papi aja,” Wirya berdecak kesal. “Nggak akan menyesal kamu! Siap-siap ketemu sama orangnya. Papi sudah punya kandidat terkuat, dijamin kamu nggak bakalan nolak.” Lanjut Wirya bangga.

Mila memejamkan matanya sambil mengusap kedua pelipisnya. Detik ini dia buka suara untuk minta dicarikan calon, detik ini juga papinya sudah punya. Berarti memang papinya sudah berniat menjodohkannya. Untuk kali ini dia akan jadi anak yang patuh, kali saja mereka berdua memang berjodoh nantinya. Siapa yang tahu kan.

“Kapan kamu bisa ketemu? Papi atur waktunya.”

“Bulan depan, aku mau ke Paris kurang lebih tiga mingguan sampai satu bulan. Ada acara. Nanti aku kabarin papi kalau aku udah balik ke Indonesia.” Semangat Wirya yang menggebu-gebu hilang begitu saja.

“Ke sana lagi? Perasaan baru bulan kemarin kamu ke sana kok sudah balik lagi?”

“Ngaco! Itu lima bulan yang lalu aku ke sana dan nggak sampai dua minggu.” Wirya manggut-manggut sambil mengunyah makanannya.

“Oke, papi tunggu kamu pulang ke Indonesia.”

***

Katakanlah Mila bodoh. Hari gini masih ada yang namanya perjodohan. Bagi sebagian kaum awam memang aneh, tapi percayalah untuk kalangan dengan ekonomi atas seperti dirinya, ini adalah hal yang wajar.

Dia sudah sering dengar maminya bercerita tentang bagaimana putra-putri teman-temannya menikah karena perkenalan kedua orang tuanya. Perjodohan ini memang bukan perjodohan yang ekstrim seperti Siti Nurbaya yang penuh dengan paksaan. Tapi tetap saja kalau ada campur tangan orang tua tetap perjodohan kan.

Mila memandang kamar tidurnya yang tidak berubah sedikitpun sejak terakhir kali dia tinggalkan. Bahkan barang-barang yang ada di atas meja belajarnya juga tidak bergeser dari sana. Masih sama seperti dulu.

Seketika Mila tertawa miris. Pernahkah dia katakan kalau menjadi pintar itu bukan hal yang menyenangkan. Sesuatu yang dianggap anugrah malah berbalik jadi bencana untuk dirinya. Menjadi pintar itu berarti tidak memiliki teman, sama sekali, setidaknya itulah yang Mila rasakan.

Suara ketukan pintu mengalihkan perhatian Mila. Amanda, maminya berdiri di ambang pintu. Wanita lembut itu memasuki kamar Mila dengan senyum yang begitu teduh, ikut duduk di pinggir tempat tidur bersama Mila.

“Tidur di rumah Mil? Nggak kangen kamar kamu yang serba pink ini?” Amanda terkekeh.

“Hari ini Mila mau menginap, sebelum ke Paris. Kangen juga tidur disini. Kamar Mila nggak berubah ya mi.” Tidak ada jawaban dari Amanda selain elusan lembut pada rambutnya yang akhirnya membuat Mila menatap Amanda.

“Kalau kamu nggak mau nggak perlu dipaksa. Jangan dengerin papi, dia cuma lagi sensitif saja. Namanya sudah tua. Jangan menikah kalau kamu memang belum mau menikah. Urusan perusahaan, papi punya segudang karyawan yang mumpuni untuk meneruskan perusahaan. Nggak harus kamu.”

Bagaimana mungkin Mila tidak terharu. Dia punya ibu yang begitu pengertian dan menyayanginya. Kalau mau adu keberuntungan, memiliki ibu seperti Amanda saja dia sudah amat sangat beruntung.

“Siapa yang bilang Mila mau menikah mi? Mila bilang kan Mila setuju dengan ide papi, tapi kalau nggak ketemu orang yang pas gimana Mila mau menikahnya? Lagian kan nggak ada yang tahu, siapa tahu calonnya papi malah cocok sama Mila. Kesempatan nggak datang dua kali kan?” Mila menaik turunkan alisnya menggoda Amanda.

“Mami cuma nggak mau kamu merasa terbebani…”

“Nggak terbebani, kalau jadi beban Mila udah buru-buru kabur. Mami kayak nggak tahu anak manja mami ini aja. Mana bisa aku sedih-sedih sama susah-susah.”

Ibu dan anak itu saling berpelukan, menyalurkan rindu dan kasih sayang yang sudah lama terpendam. Mila terlalu ingin menjadi dewasa dan mandiri hingga lupa kalau pelukkan maminya begitu nyaman dan hangat, suara papinya begitu tenang untuk didengar.

“Pokoknya mami maau anak mami jadi dirinya sendiri, bahagia dengan apa yang dia lakukan. Nggak perlu dengerin omongan orang lain…”

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel