2. Diluar Ekspektasi (Part 1)
Lima belas tahun kemudian…
Apa yang diharapkan dari seorang jenius dengan IQ seratus tiga puluh lima, pemenang olimpiade matematika dan fisika sejak sekolah menengah pertama selain menjadi orang yang luar biasa. Setelah mengharumkan nama bangsa, tentu semua orang menaruh harapan bukan? Paling tidak si jenius mungkin akan meraih nobel penghargaan dalam bidang apapun itu, atau menjadi Ilmuwan atau Dokter yang tentu kepintarannya menjadi begitu berguna bagi banyak orang.
Kenalan dengan Karmila Haditama, si jenius yang disebut barusan. Akselerasi dua tahun, lulus sekolah menengah atas di usia lima belas tahun. Belum lagi sederet prestasi yang membanggakan. Kurang apa hidupnya hingga dia menyia-nyiakan bakat yang sudah Tuhan titipkan untuknya.
Orang-orang diluar sana begitu berharap menjadi seorang Karmila. Mari kesampingkan latar belakang keluarganya yang kaya raya, atau wajahnya yang menurut sebagian orang biasa saja. Tapi coba bayangkan kepintaran dan prestasinya. Karmila bisa menjadi orang paling sukses yang nama dan fotonya terpampang di majalah Internasional.
Kurang sempurna apa hidupnya. Lelaki akan silih berganti mengantri untuk bisa menjadi pasangannya. Putri tunggal Wirya Haditama, pengusaha real estate sukses di Indonesia. Otomatis Mila yang nanti akan mewarisi seluruh bisnis keluarganya.
Tapi bukan Mila namanya kalau tidak melakukan hal bodoh yang membuat semua orang geleng-geleng kepala. Alih-alih memilih profesi bergengsi, atau paling tidak menekuni perusahaan yang dipimpin oleh papinya, Mila malah memilih jalan yang jauh berbeda.
Lulus dari sekolah menengah atas, Mila menata kembali hati dan pikirannya yang sudah hancur berkeping-keping karena masa paling suram dalam hidupnya. Mila berhenti mengandalkan dirinya sendiri. Niat awalnya yang tidak ingin memanfaatkan nama besar papinya dia kubur dalam-dalam.
Tidak ada yang akan menghargai Mila sebagai makhluk hidup kalau bukan karena gelar Haditama. Manusia tidak sebaik itu, kalaupun sampai bisa bertemu orang-orang baik, perbandingannya adalah satu banding seratus juta di dunia ini, alias sulit.
Jadi Mila menyerah. Menggunakan nama Haditama dan memanfaatkannya toh tidak dosa. Memang sudah rejekinya terlahir di keluarga Haditama. Menggunakan nama itu Mila bisa meraih segalanya, semua yang dia inginkan.
Rencana Mila kuliah di kampus yang sama dengan cinta masa lalunya juga ikut dia kubur dalam-dalam. Lelaki yang menorehkan luka paling dalam sekaligus melemparkan kotoran tepat ke wajahnya. Masih bagus dia tidak meminta papinya memberikan pelajaran pada lelaki itu.
Mila pergi ke Prancis, melanjutkan pendidikannya di bidang desainer perhiasan di salah satu Universitas terbaik di Perancis. Setelah lulus, Mila menetap di sana. Bekerja sebagai salah satu desainer perhiasan untuk brand Cartier.
Sebuah hal yang melenceng jauh bukan. Padahal papinya berharap Mila bisa menjadi penerus perusahaan, tapi Mila sama sekali tidak memiliki ketertarikan mengurusi perusahaan milik papinya.
Tiga belas tahun menetap di Perancis, dua tahun yang lalu Mila kembali ke tanah air. Apalagi alasannya kalau bukan karena orang tuanya yang mulai cerewet dan tidak tenang membiarkan putri semata wayangnya berkeliaran di negara orang.
Untung saja kontrak kerja Mila dan Cartier bisa di negosiasi. Dua tahun belakangan Mila masih menjadi desainer untuk Cartier, hanya saja dia lakukan dari Indonesia. Dia hanya akan berangkat ke Prancis jika memang pekerjaannya mengharuskannya untuk hadir langsung.
Pulang ke Indonesia, Mila mulai menempati apartemen yang dia beli dengan uang hasil kerja kerasnya sendiri. Sebuah apartemen dengan dua kamar tidur yang tidak terlalu mewah, tapi berada di pusat kota.
Bayangkan betapa kesalnya orang tuanya ketika tahu kalau Mila tidak akan tinggal bersama dengan mereka. Prancis telah mengubah segalanya. Mila jadi lebih mandiri, cuek, dan terbiasa tinggal sendiri. Mila butuh tempat untuk dirinya sendiri, tempat bersembunyi ketika dia sedang malas menghadapi hari-harinya. Tinggal bersama orang tuanya tentu bukan ide yang bagus.
Orang tuanya seperti cctv dua puluh empat jam yang kelihatannya biasa saja tapi selalu mengawasi. Perubahan mood sedikit saja pasti langsung bisa mereka deteksi, dan Mila tidak mau hal itu terjadi. Hidupnya di Perancis adalah hari-hari terbaik yang pernah dia miliki. Tidak ada lagi Mila yang manja.
Apalagi belakangan ini papinya menjadi begitu gencar menanyakan perihal kekasih Mila. Itu malah tambah membuatnya tidak nyaman. Dari pada bertengkar dengan papinya, lebih baik Mila yang menghilang. Yang penting dirinya masih berada dalam radar NKRI, papinya pasti bisa mentoleransi karena dirinya masih dapat terdeteksi.
“Haaahhhh…” Mila menghela nafas sambil merenggangkan otot-otot lehernya yang terasa pegal. Empat jam lebih sudah dia tidak beranjak dari tempat duduknya, menggambar desain terbaru yang entah dari mana tiba-tiba saja muncul di kepalanya.
“Kalau begini terus lama-lama bisa mati kejang-kejang di kursi.” Keluh Mila pada dirinya sendiri.
Pekerjaannya memang tidak mengharuskannya bekerja seperti orang kantoran dari jam delapan pagi hingga jam lima sore. Dia bebas bekerja dimana saja dan kapan saja. Bagi sebagian orang di jaman sekarang itu adalah hal yang menyenangkan. But remember, every action comes with the consequences. Disaat orang lain bisa sedikit bernafas lega setelah melewati sehari penuh, Mila kadang malah baru akan memulai aktivitasnya.
Ide bisa datang kapan saja, termasuk tengah malam ketika dia sedang enak-enaknya bermimpi. Kalau sudah begitu tentu saja dia akan bangun dan mencatat semuanya, atau bahkan langsung menuangkannya dalam bentuk gambar. Ujung-ujungnya kalau dihitung dia malah bekerja lebih banyak ketimbang orang kantoran. Begitulah Mila, dia akan tetap senang hati melakukan apa yang dia sukai.
Mila bangkit berdiri, keluar dari ruang kerjanya dan berjalan ke arah dapur, menuangkan segelas penuh air mineral ke dalam gelas dan meneguknya. Disela-sela acara minumnya, dia sempat mendengar suara ponselnya yang bergetar.
Dia memang sengaja meninggalkan ponselnya di ruang tamu atau di kamar ketika sedang berada di ruang kerjanya. Alasan klise, pekerjaannya sedang tidak boleh diganggu. Apalagi sebentar lagi akan ada peluncuran koleksi baru. Mila sudah bersiap untuk terbang ke Paris minggu depan, dan akan berada disana kurang lebih selama satu bulan.
Tanpa perlu melihat juga dia sudah tahu siapa orang yang berani membombardirnya dengan telepon begitu banyaknya. Dua orang manusia dengan kasta tertinggi di kehidupannya. Kalau bukan papinya, maka sudah pasti maminya. Selebihnya tidak akan ada yang berani mengganggu Mila sampai segitunya.
Melirik sebentar ponselnya dengan malas, Mila malah kembali ke ruang kerjanya alih-alih mengangkat panggilan telepon tersebut. Dia kembali duduk di kursi panas, mengambil tabletnya dan mulai sibuk mencoretkan sketsa di sana.
“Biarkan saja mereka telepon terus, kurang kerjaan…” Keluh Mila menggelengkan kepala tidak habis pikir.
***
Rambut coklat panjang Mila berkibar tertiup angin. Sore ini dia punya janji dengan orangtuanya. Setelah menyelesaikan sketsanya, dia mengalah dan menerima telepon dari papinya yang berujung disinilah Mila sekarang. Rumah mewah di kawasan Menteng Jakarta Pusat.
Celana kulot panjang berwarna putih membungkus kaki jenjang Mila dengan sempurna, dipadukan dengan blouse berwarna krem muda yang sedikit kebesaran. Sederhana namun tetap terlihat anggun. Dia menatap sebentar rumah tersebut sebelum melangkah masuk setelah mengucapkan salam basa-basi pada satpam yang membukakan pintu untuknya tadi.
“Akhirnya mau datang juga…,” Amanda menyambut putrinya dengan sumringah. Dia merentangkan tangannya yang langsung memeluk Mila. “Mami tuh kangen, tapi kamunya nggak mau datang-datang, tinggal satu kota juga padahal. Kenapa sih harus pakai acara tinggal sendiri begitu Mil?” Serbu Amanda sedikit kesal pada putrinya.
“Mami kan tahu aku sudah dewasa, masa harus sama mami papi terus. Aku di Prancis juga terbiasa sendiri kan mam. Malu sama yang lainnya kalau masih tinggal sama orang tua. Papi mana mi?” Mila melongok ke dalam, mencoba mencari keberadaan papinya yang sama sekali tidak kelihatan.
“Papi masih di kantor, lagi di jalan. Sebentar lagi pulang. Ini kan hari kerja Mil, cuma kamu aja yang nggak punya hari kerja sama kerjaannya.” Mila menepuk jidatnya lupa. Tentu saja papinya masih di kantor, ini baru jam setengah lima sore. Mila memang sengaja berangkat lebih pagi untuk menghindari kemacetan di jam pulang kerja., tipikal Ibukota Indonesia.
Melangkah masuk ke dalam, rumahnya memang tidak pernah berubah. Isinya selalu minimalis dan tidak banyak yang aneh-aneh. Maminya bukan orang yang suka dengan sesuatu yang berbau mewah. Satu-satunya yang terlihat mewah di rumah ini hanyalah lampu kristal raksasa yang menggantung di atas ruang keluarga.
Mila tersenyum kecil kalau mengingat dia begitu membenci lampu tersebut. Dulu dia selalu protes pada maminya untuk menyingkirkan lampu tersebut dengan alasan dia bisa mati tertimpa lampu kalau ada gempa. Dan rupanya lampu itu panjang umur karena masih ada di sana sampai sekarang.
“Coba sering-sering pulang Mil, jangan harus di telponin terus, di kejar-kejar terus baru deh mau pulang. Padahal dulu kamu lengket banget sama mami, sekarang mami rasanya kayak nggak punya anak.” Mila menghela nafasnya. Entah sudah sesering apa ibunya berkata demikian, bahkan sudah sejak Mila masih di Prancis. Tapi makin kesini rasanya orang tuanya makin gencar.
“Bukannya Mila nggak mau sering-sering mampir. Mila kan kerja juga mi bukannya pengangguran. Ya, nggak ada jam kerjanya sih tapi yang pasti Mila juga sibuk. Kalau sering-sering kesini kapan Mila kerjanya? Disini Mila mana bisa kerja? Yang ada suruh temenin mami jalan-jalan sama arisan.”
Amanda tersenyum mendengar jawaban putrinya. Tidak salah memang, dia akan dengan senang hati menyeret putrinya untuk pergi bersama dengannya, seperti ketika Mila kecil dulu.
Kadang dia lupa kalau waktu begitu cepat berlalu. Putrinya yang dulu selalu menempel kemana-mana sekarang sudah tidak lengket lagi. Dulu Mila yang selalu minta diperhatikan, sekarang gantian dirinya yang meminta perhatian.
“Mami suka lupa kalau anak mami udah gede, nggak kecil lagi.” Gumam Amanda sembari mengelus rambut panjang Mila.
Mila hanya diam. Menghadapi maminya bukan hal yang sulit. Yang dia pikirkan sekarang adalah bagaimana nanti menghadapi papinya. Dia tahu betul apa yang papinya inginkan. Ini juga yang membuatnya malas pulang ke rumah, karena tentu saja Mila tidak bisa mengabulkan keinginan papinya.
Papinya pebisnis lawas, tahu betul cara terampuh menghadapi lawannya. Kelihatannya tidak memaksa, tapi papinya selalu sanggup membuat Mila merasa tidak enak hati karena menjadi anak yang selalu melawan keinginannya.
“Eh itu papi sampai kayaknya…” Amanda bangkit berdiri, berjalan ke luar meninggalkan Mila untuk menyambut suaminya. Mila sendiri tidak mau repot-repot menyambut kepulangan papinya. Dia yakin setelah ini tanpa diminta pun dia akan sangat kerepotan dengan sendirinya karena menghadapi papinya. Dalam hati Milla berdoa semoga saja dia bisa melewati hari ini dengan baik-baik saja
***
