Bab 5: Bukan Karena Tak Sayang, Tapi Tak Bisa Bertahan
Matahari sore menyorot lembut ke sela jendela kamar Valesca. Ia menatap langit, mencoba mencari jawaban dari warna jingga yang berubah perlahan jadi kelabu. Sejak malam perpisahan itu, hatinya seperti diputar kembali ke semua momen yang pernah ada. Ada yang masih hangat, tapi sebagian sudah mulai terasa asing.
Hari-hari setelahnya terasa aneh. Tak ada lagi notifikasi dari Nicho. Tak ada pesan singkat menanyakan apakah ia sudah makan, atau cerita konyol tentang hari Nicho yang berantakan. Valesca tidak sedang menanti, tapi juga belum sepenuhnya bisa mengabaikan. Seperti duduk di antara dua kursi—capek, tapi belum bisa pindah.
Teman-temannya mulai menyadari perubahan sikapnya. Aura ceria yang biasa ia bawa, kini lebih banyak digantikan dengan senyum yang dipaksakan. “Kamu baik-baik aja, Les?” tanya Sherly suatu hari saat mereka duduk di kantin.
Valesca mengangguk pelan. “Baik, cuma… masih menyesuaikan diri.”
Sherly diam sejenak, lalu berkata, “Kalau kamu mau cerita, aku di sini.”
Kebaikan itu membuat Valesca nyaris menangis. Tapi ia tahan. Ia hanya menunduk, bermain dengan sendoknya. Karena tak semua luka bisa dijelaskan. Kadang bahkan kita sendiri tak tahu, luka ini sebenarnya karena kehilangan… atau karena harapan yang tak sempat tumbuh utuh.
---
Malamnya, Valesca membuka folder foto di ponselnya. Matanya jatuh pada satu gambar—foto mereka berdua, yang diambil saat acara sekolah, dengan ekspresi ceria yang kini terasa asing.
Ia menarik napas panjang, lalu menulis satu catatan:
“Aku bukan gagal melupakan. Aku hanya belum siap menghapus kenangan yang dulu pernah jadi alasanku tersenyum.”
Beberapa menit kemudian, ia menghapus foto itu. Tapi menyimpannya sekali lagi di galeri tersembunyi. Lucu, pikirnya. Katanya mau melepaskan, tapi masih menyisakan ruang untuk berjaga-jaga. Berjaga kalau-kalau ingin mengenang lagi. Berjaga kalau-kalau hati kembali lemah.
---
Satu minggu berlalu sejak terakhir kali mereka bicara. Hingga suatu siang, Valesca mendapat pesan tak terduga dari Nicho. Bukan kata manis. Hanya satu kalimat pendek: “Maaf kalau aku bikin kamu nunggu hal yang gak akan datang.”
Tangannya gemetar saat membaca itu. Ia tak tahu harus senang karena diberi kejelasan, atau sedih karena kalimat itu menutup semua kemungkinan.
Ia membalas pelan:
“Aku gak pernah benar-benar nunggu. Tapi aku juga gak pernah benar-benar siap kamu pergi.”
Tak ada balasan setelah itu.
Dan Valesca tahu, itu adalah akhir.
---
Sejak hari itu, Valesca mulai menulis lebih sering. Bukan hanya diari, tapi puisi-puisi kecil yang berisi potongan perasaan. Ia merasa lebih ringan setelah menuliskan semuanya, seolah huruf-huruf itu menyerap kesedihan yang tak bisa ditangisi.
“Kalau suatu saat kamu membaca ini, ketahuilah: aku gak marah. Aku cuma kecewa, karena pernah berharap terlalu banyak dari seseorang yang bahkan gak pernah berjanji akan tinggal.”
---
Ia mulai mencoba kembali ke rutinitas. Bangun pagi, bantu Ibu di rumah, ikut les, dan menata ulang meja belajarnya. Di tengah semua itu, ada ruang kecil di hatinya yang masih menyesak, tapi tidak lagi menghancurkan.
Kadang, saat hujan turun, ia kembali memutar lagu-lagu yang dulu sering dikirim Nicho. Tapi kali ini bukan untuk mengingat, melainkan untuk menutup bab.
“Aku pernah mencintaimu dengan tenang. Kini, aku belajar melupakanmu tanpa dendam.”
